Mohon tunggu...
Jefry Go
Jefry Go Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Learning by Reading & Learning by Writing

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Mengatasi Kemacetan dengan Transportasi Publik: Sebuah Keniscayaan atau Kenaifan?

20 Januari 2015   19:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu terakhir, sejumlah kota besar di Indonesia berlomba-lomba membangun sistem transportasi massal, dengan harapan kemacetan dan kepadatan kendaraan di ruas jalan bakal menurun.

Jakarta tampil dengan busway-nya. Tidak hanya itu, ibukota terus berbenah dengan rencana pembangunan proyek MRT. Yogyakarta, sebagai kota destinasi wisata mengusung bus trans Jogja. Baik busway maupun transJogja sudah pernah saya jajal. Hasilnya? Hmm… cukup lumayan lah untuk menjawab kebutuhan publik terhadap transportasi massal. Dari sisi jaringannya, kedua moda transportasi tersebut sudah cukup terintegrasi. Buktinya, saya tidak merasa kesulitan berganti moda hingga tujuan yang saya kehendaki. Kini tinggal membenahi sarana-prasarana pendukung informasi agar penggunanya tidak binggung. Sebab, saya memutuskan untuk observasi lebih awal melalui internet untuk mengetahui rute dan dengan bus mana saya harus naik. Bagi yang tanpa persiapan di lapangan, tentu harus mengandalkan ‘jurus tanya’, karena papan penyedia informasi rute di tiap halte masih minim.

Surabaya? Kota Pahlawan juga tak ingin ketinggalan. Melalui komunikasi intens dengan Kementerian Perhubungan, Pemkot Surabaya berencana menghidupkan kembali trem yang sempat punah. Trem akan menghubungkan Surabaya bagian Utara dengan Selatan. Sementara, Surabaya Barat dan Timur akan dikoneksikan dengan moda transportasi monorel.

Pertanyaannya: Apakah angkutan massal cepat (AMC) yang digagas di sejumlah kota besar tersebut dapat menjamin kondisi jalan bebas macet?

Menurut saya tidak. AMC sifatnya hanya memberikan alternatif bagi masyarakat agar tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi dalam setiap aktivitas yang menuntut mobilitas. Berarti, jika demikian, pemerintah tidak punya kewenangan apa pun untuk memaksa masyarakat meninggalkan kebiasaannya.

Mari mengambil contoh dari Bangkok. Di ibu kota Thailand tersebut, AMC telah terbangun dan terintegrasi. Ada BTS Skytrain, MRT, angkutan dari dan ke bandara serta bus-bus penghubung antar stasiun. Hasilnya? Bangkok tetap macet. Pada akhir 2013 ketika saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat kemacetan tak beda jauh dengan Jakarta. Namun saya masih bisa bersyukur karena hanya melihat kemacetan tersebut tanpa harus terjebak di dalamnya, karena sedang naik BTS Skytrain.

[caption id="attachment_392004" align="aligncenter" width="640" caption="Meski sudah ada AMC, Bangkok tetap saja macet"][/caption]

Lantas apa yang harus dilakukan?

Kuncinya terletak pada kebijakan pemerintah. Kita tentu tidak bisa hanya mengandalkan AMC saja. Bukan berarti AMC kurang baik, namun bila penyelenggaraan transportasi massal tidak dibarengi dengan kebijakan pemerintah yang mensupport visi AMC, maka proyek tersebut tidak akan maksimal outputnya.

Beberapa negara maju telah berani mengambil langkah antisipasi kemacetan. Selain tentunya menyelenggarakan AMC, pemerintahnya berani mengambil kebijakan tegas. Kebijakan yang diambil sifatnya harus sedikit ‘memaksa’ publik berpikir dua kali jika hendak menggunakan kendaraan pribadinya. Jepang dan Singapura menerapkan pajak kendaraan bermotor yang tinggi. Bahkan Negeri Sakura memberlakukan pajak semakin tinggi bagi usia kendaraan yang makin tua. Aturan itu sengaja dibuat di samping membatasi kendaraan pribadi juga untuk menjaga emisi kendaraan. Pasalnya, semakin tua kendaraan, semakin berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Dengan demikian, pemilik kendaraan memiliki dua opsi, yakni membeli kendaraan baru yang lebih ramah lingkungan atau menghancurkan mobil uzur guna didaur ulang. Dengan pola seperti itu, warga akan menganggap mobil tua sebagai duri dalam daging yang cepat atau lambat harus dikeluarkan dari kehidupannya (bila tak ingin terbeban pajak tinggi).

Pengenaan biaya parkir tinggi juga menjadi bagian dari strategi di kedua negara maju tersebut. Tarif parkir di Jepang berkisar 2.000-2.500 yen per bulan atau sekitar Rp 2,5-3 juta. Bila dikonversikan dalam hitungan jam, menjadi Rp 25.000 per jam. Sementara di Singapura, biaya parkir mencapai SGD 200.

Kesimpulannya adalah:

1)AMC pada hakekatnya baik. Ramah lingkungan dan mengurai kepadatan lalu-lintas. Namun, jika tidak dibarengi dengan kebijakan frontal dari pemerintah, AMC berpotensi kurang optimal. Kemacetan akan terus membayangi kendati AMC sudah beroperasi.

2)Diperlukan kampanye ramah lingkungan yang solid dan berkesinambungan guna menggugah kesadaran publik agar mau beralih ke transportasi massal. Karakteristik mayoritas masyarakat yang enggan beralih dari zona nyaman (menggunakan kendaraan pribadi) menjadi handicap tersendiri bagi pemerintah dalam menyelenggarakan AMC.

3)Selama kendaraan pribadi tidak ditekan/dibatasi oleh regulasi yang tegas, maka kendaraan pribadi hampir pasti akan terus bertambah, memadati ruas jalan. Lihat saja data pertumbuhan kendaraan pribadi dari tahun ke tahun! Berkurang, stabil atau meningkat pesat? Bangkok menjadi salah satu contoh beroperasinya AMC sekaligus kemacetan lalu lintas. Hasilnya, tetap saja macet dan polusi. (jf)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun