Mohon tunggu...
Jefry Go
Jefry Go Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Learning by Reading & Learning by Writing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Integritas Marka Jalan

31 Januari 2015   18:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INTEGRITAS BERLALU LINTAS

Suatu pagi ketika hendak berangkat ke kantor, saya berhenti di satu perempatan lantaran saat itu lampu merah sedang menyala. Sekian detik setelah saya berhenti, tiba-tiba….. jeduk!!!!, motor saya “dicium” oleh motor lain dari belakang. Tanpa meminta maaf, si pengendara motor itu langsung melewati saya dan mengambil posisi di depan marka jalan.

Sejenak, saya merenung dan berpikir: sebenarnya di antara saya dan pengendara motor tadi, siapa yang salah? Setahu saya, sesuai aturan bila lampu merah menyala, berhentilah di belakang garis marka jalan. Apakah saya mengerem terlalu mendadak? Saya rasa tidak.

Bak terbangun dari “mimpi” singkat renungan di perempatan tadi, kenyataan bahwa berhenti di depan marka jalan saat lampu merah sudah menjadi hal yang lumrah. Khususnya bagi pengendara sepeda motor. Kalau mobil sih cenderung lebih taat marka jalan.

Fenomena yang saya sebut BDMJ (berhenti di depan marka jalan) ini dilakukan secara “berjamaah”. Seolah ada kesepakatan tidak tertulis antara satu pengendara motor dengan lainnya. Jika lampu merah mulai menyala, sebisa mungkin harus mendapat posisi terdepan (meski harus menabrak aturan). Hal ini mengingatkan saya istilah saat duduk di bangku sekolah : “posisi menentukan prestasi” hehehe…..

Deretan motor yang berhenti di depan marka tersebut tentu mengganggu pejalan kaki yang hendak menyeberang. Pasalnya, posisi mereka tepat di atas zebra cross. Alhasil, para penyeberang harus berjalan zig-zag, menghindari motor-motor itu. Hak para penyeberang direduksi dengan perilaku tak berintegritas. Bukankah hal tersebut bertentangan dengan konsep negara hukum dimana hak setiap individu dilindungi oleh hukum yang berlaku.

*****

[caption id="attachment_394190" align="alignnone" width="700" caption="Pengendara motor berhenti di depan marka jalan saat lampu merah menyala. (dok. pribadi)"][/caption]

Saat masih mengenyam pendidikan kuliah, saya pernah sekali ditilang polisi gara-gara berhenti di depan marka jalan saat lampu merah. Kebetulan perempatan “tempat kejadian perkara” (TKP) saat itu tepat di depan pos satlantas. Saat ditilang, saya sempat bertanya dalam hati, apakah pelanggaran yang saya lakukan cukup layak diganjar hukuman yang mengharuskan saya membayar denda sanksi tilang? “Yang penting kan saya tidak menerobos lampu merah. Dengan posisi saya yang diam statis di depan marka jalan, saya tidak akan membahayakan siapa pun,” kata saya dalam benak.

Setelah kejadian itu, saya memilih memaknainya dari sudut pandang yang lebih positif. Mungkin polisi ingin memberikan efek jera bagi mereka yang kebiasaan berhenti di depan marka (termasuk saat itu saya hehehe). Dengan cara begitulah negara ini bisa teratur. Sayangnya, penerapan ketegasan itu belum merata di seluruh titik perempatan. Traffic light (TL) di pusat kota saja yang dipelototi oleh petugas. Namun, bodoh amat. Sejak saat itu (hingga sekarang), saya berkomitmen berhenti di belakang marka saat lampu merah. Masa bodoh dengan mayoritas pengendara motor yang lain.

Setidaknya saya menekankan pada diri saya sendiri alasan-alasan kuat mengapa harus taat marka jalan. Pertama, ini soal integritas bro. Sesuatu yang membedakan kualitas manusia satu dengan lainnya adalah integritas. Integritas muncul dari dalam diri seseorang. Tak perlu menunggu waktu atau petugas yang mengawasi baru dilakukan. Masa depan bangsa ini ditentukan oleh integritas masyarakatnya. Ketika tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum meningkat, maka di situlah ada harapan negara ini menjadi lebih baik. Sayangnya, jika mengacu pada ketaatan terhadap tata tertib berlalu lintas, hal itu masih “jauh panggang dari api” di negeri ini. Coba bandingkan di negara maju seperti Singapura maupun Jepang dan Korsel. Adakah pengendara yang berhenti di depan marka jalan saat lampu merah?

Kedua, saya meyakini ketika saya memegang teguh integritas pada hal-hal kecil yang sepele, maka Tuhan akan memperhitungkan itu sebagai suatu kebenaran. Ini motivasi pribadi sobat. Anggap saja kalau saya taat marka, nanti penilaian Tuhan: “oke, kamu sekarang layak mengendarai mobil”. Amiiiiin J

Saat ini memang saya masih mengandalkan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. Maklum, masih menabung. Namun, tidak punya mobil bukan berarti tidak boleh tertib kan? Sembari menunggu, alakah baiknya sejak dini saya mulai memupuk “mentalitas mobil” dan memposisikan diri sebagai pengguna jalan yang tertib. Sehingga, sewaktu-waktu Tuhan memberi saya mobil, secara skill dan mental, saya sudah siap. (mohon maaf, asumsi saya ini bukan berarti mendiskreditkan atau menggeneralisir bahwa semua pengendara motor ugal-ugalan dan pengemudi mobil tertib. Pengemudi mobil juga ada yang seenaknya, sedangkan di luar sana juga masih banyak pengendara motor yang memiliki integritas)

*****

[caption id="attachment_394198" align="alignnone" width="700" caption="Tidak sulit mendapati kondisi seperti ini karena memang sudah lazin terjadi. (dok. pribadi)"]

1422677899270943388
1422677899270943388
[/caption]

Melihat fenomena BDMJ, pertanyaan yang melintas di benak adalah, sejak kapan pelajaran di SD atau SMP menyatakan bahwa ketika lampu merah menyala, berhentilah di depan marka jalan? Seingat saya ya pelajaran yang disampaikan oleh guru saat itu yang berhentilah di belakang garis. Lantas, siapa yang mengajari sekian banyak pengendara motor itu menerabas garis marka?

Fakta ini membuktikan bahwa pelajaran akademik yang diperoleh di sekolah tidak dapat menyelamatkan kita dari perilaku tak berintegritas. Memang, kebiasaan BDMJ bisa saja dipengaruhi oleh semakin meningkatnya volume kendaraan di ruas jalan. Akibatnya, pengendara motor tidak sabar menunggu jika harus terkena lampu merah lebih dari sekali. Oleh karenanya, mereka berbondong-bondong mencari tempat yang terDEPAN. Paling DEPAN. DEPAN sendiri. Di DEPAN marka jalan. Hahaha.

[caption id="attachment_394195" align="aligncenter" width="700" caption="Mereka yang berhenti melewati garis marka jalan tidak punya integritas. (dok. pribadi)"]

142267783071141501
142267783071141501
[/caption]

Di samping itu, merebaknya budaya BDMJ bisa juga didorong oleh faktor latah. Pelaku BDMJ pendatang baru, yang biasanya berusia muda, baru pegang motor dan berstatus pelajar, mulanya tidak berani berhenti di depan marka. Mereka umumnya masih malu-malu kucing. Jinak-jinak merpati. Tapi, karena melihat ada “rekan-rekannya” yang kurang lebih jumlahnya di atas lima motor, berhenti di depan marka, jadilah si pendatang baru itu mulai memajukan motornya pelan-pelan melewati batas marka. Selanjutnya, ya menjadi kebiasaan karena dia merasa tidak ada konsekuensi serius yang harus dibayar saat berhenti di depan marka.

Salah satu solusinya memang pemberlakukan aturan dan himbauan yang sekiranya bisa mengubah pola pikir pelaku. Menurut hemat saya, pengendara motor di Yogyakarta lebih tertib untuk urusan taat marka jalan ketimbang di Jakarta maupun Surabaya. Pengalaman saya pada 2010, saat saya berlibur ke Kota Pelajar, saat itu pukul 2 pagi. Saya bersama teman kuliah yang juga berasal dari Surabaya mengendarai motor dan berhenti di sebuah perempatan kecil, jauh dari pusat kota. Kami berhenti bersama beberapa pengendara motor lain. Karena kebiasaan, kami berhenti di depan marka. Bahkan, sempat berniat menerobos lampu merah karena di Surabaya pukul 2 pagi lampu merah sudah tinggal menyala kuningnya saja. Lagipula, kondisi saat itu sepi sekali. Sementara, kami menengok, lima motor (yang kemungkinan dikendarai warga Yogyakarta), semua tertib berhenti di belakang marka. Meski, saya tahu dan yakin, saat itu tidak ada petugas yang berjaga di perempatan tersebut. Perasaan malu bercampur bingung mulai menggelayuti pikiran kami.

Keesokan harinya, saya dan teman kuliah saya tadi masih membahas mengapa warga Yogyakarta bisa begitu tertib. Jawabannya baru kami peroleh setelah perjalanan pulang menuju Surabaya. Di salah satu ruas jalan, kami membaca tulisan di pohon yang berbunyi kurang lebih “Sri Sultan Hamengkubuwana X Mengucapkan Terima Kasih Atas Kesadaran Anda Taat Marka Jalan dan Tertib Berlalu Lintas”. Wow, tampaknya pendekatan hubungan pemimpin daerah yang sangat dihormati masyarakatnya ini cukup berhasil menyelenggarakan atmosfer tertib berlalu lintas. Salut buat Yogyakarta. Dan kesan liburan terakhir saya ke kota tersebut pada 2014 tetap sama. Warga Yogyakarta tetap tertib dan bertahan pada integritasnya mematuhi marka jalan.

Bagaimana daerah lain? Tanpa bekal seperti yang dimiliki Yogyakarta, satu-satunya jalan ya penegakan kedisiplinan oleh aparat. Begitu melihat motor berhenti di depan marka, langsung tilang saja. Kebiasaan BDMJ penting untuk di-cut, daripada merisikokan anak-cucu kita mewarisi budaya yang tidak benar ini. Malu donk kalau warga negara lain menilai kita dari perilaku tak tertib di jalanan. Apalagi, saat ini sudah mulai masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sedikit-banyak, mereka akan membandingkan perilaku berlalu lintas di Indonesia dengan negaranya. (jf)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun