[caption id="attachment_396026" align="aligncenter" width="420" caption="Berbagi kebahagiaan dalam semangkuk ramen. (dok. pribadi)"][/caption]
Sore itu hujan turun dengan derasnya. Hawa dingin menggelayuti tubuh mengiringi sinar mentari yang tenggelam di ufuk barat. Sepasang kekasih menerobos tirai hujan. Mereka lantas memasuki kedai mie ramen yang terletak di kawasan Surabaya Timur.
Sambutan dalam bahasa Jepang oleh para pelayan menyabut dua sejoli tersebut. Menemani ayunan langkah menuju meja dan kursi di bagian tengah. Sekelompok muda-mudi saling melontarkan canda pada sisi ruangan sebelah kiri. Saling ber-selfie ria mengiringi detik demi detik waktu menyantap ramen. Sementara pada sisi sebelah kanan, sekeluarga terlihat lebih tenang menyantap pesanannya.
Tak berselang lama, pelayan menyodorkan buku besar berisi pilihan menu berbagai macam ramen. “Di sini yang paling banyak dipesan apa ya mbak?” tanya Isabella Juliana yang datang bersama sang suami.
“Biasanya orang pesan mie ramen babi tam-tam, ayam tam-tam atau red dragon. Kalau red dragon rasanya paling pedas di antara pilihan menu di sini,” terang sang pelayan dengan seragam sekilas mirip celemek ini.
Akhirnya pasangan suami-istri tersebut menjatuhkan pilihan masing-masing pada mie ramen babi tam-tam dan ayam tam-tam. Tak berselang lama, dua mangkuk mie ramen tersaji dengan asap masih mengepul di atasnya. Bawang goreng, bawang putih, saos tiram, irisan lombok, serbuk merica dan minyak wijen disediakan di atas meja sebagai teman bersantap ramen.
Tangan kanan Isabella “memainkan” sumpit sementara sebuah sendok setia bersama tangan kirinya. Di sela-sela menikmati mie dengan sumpitnya, perempuan 26 tahun tersebut menyeruput kuah ramen. Memang, kebanyakan para penikmat ramen berpendapat bahwa kekuatan utama makanan khas Jepang itu terletak pada kuah kaldunya. Di samping tekstur mie yang juga memegang peranan indikator cita rasa ramen.
Setelah puas menyantap semangkuk ramen, Isabella dan suaminya kompak menyebut dua kata: “kenyang” dan “mantap”. “Harga bukan masalah buat kami, asalkan bisa merasakan mie ramen dengan kualitas terbaik,” pungkas Bella -sapaan akrab Isabella-.
*****
Mie ramen memang mulai menyita perhatian publik nusantara beberapa dekade terakhir. Namun, tampaknya tidak banyak yang memahami seluk-beluk makanan tersebut. Kenno Robby salah satunya. Mahasiswa semester empat jurusan teknik mesin ini mengaku mengenal istilah ramen dari kartun Jepang yang ditontonnya. Sebelumnya, Kenno buta informasi soal ramen.
“Saya hobi nonton serial Naruto Shippuden. Di film tersebut dijelaskan bahwa tokoh Naruto gemar makan Mie Ramen Ichiraku. Saya jadi penasaran ingin tahu lebih dalam tentang makanan favorit Naruto itu,” katanya.
Kendati telah mencicipi beragam jenis ramen, Kenno belum tahu betul latar belakang makanan yang disantapnya. Buktinya, pemuda 20 tahun ini terkejut begitu mengetahui fakta bahwa ramen bukan berasal dari Jepang, melainkan dari Tiongkok.
Sejumlah literatur memang menyatakan bahwa asal mula mie ramen berasal dari dataran Tiongkok. Sekitar tahun 1910, para imigran Tiongkok yang berdomisili di Jepang mulai memperkenalkan ramen yang kala itu dikenal dengan sebutan “soba” yang berarti mie. Perpaduan tekstur mie dan kaldu ternyata berhasil menggugah selera warga Negeri Matahari Terbit. Akhirnya, pada zaman Taisho, ramen mulai berkembang pesat di berbagai pelosok Jepang, termasuk sentra bisnis saat itu di kawasan Hokkaido.
Perkembangan ramen telah menyentuh taraf tertinggi bagi penikmat kuliner. Sampai-sampai, tiap daerah di Jepang memiliki ramen khasnya masing-masing. Ciri khas ramen erat kaitannya dengan komoditi, filosofi serta kearifan lokal. Perbedaan ciri ramen di Jepang bahkan menyentuh tekstur mie, lauk, aroma, hingga kekentalan kuah dan bumbu yang terkandung di dalamnya.
Ramen dari daerah Aomori cenderung memiliki rasa yang lebih asin dengan mie buatan tangan dan kaldu ikan sebagai “senjata” utamanya. Hal ini dikarenakan wilayah Aomori merupakan penghasil ikan lantaran berbatasan dengan laut lepas. Beberapa kota yang termasuk kategori ini antara lain Hirosaki, Sendai, Sakata, Yanezawa, Shirakawa dan Kitakata.
Cita rasa asin juga diusung ramen dari daerah Kinki. Bedanya, ramen di wilayah ini memberi porsi lebih kepada “ornamen-ornamen” pelengkap seperti chasiu yang terbuat dari daging babi. Kota-kota yang termasuk wilayah Kinki yakni Kyoto, Kobe, Tenri, serta Nishiwaki. Tak ketinggalan Kota Wakayama yang memang terkenal dengan industri kecap asin.
Di luar Aomori dan Kinki, masih banyak daerah-daerah di Jepang yang mempunyai cita rasa ramen yang khas. Misalnya, Hokkaido, Kanto, Shinetsu, Tokai, Chogoku/Shikoku, dan Kyushu.
*****
[caption id="attachment_396029" align="aligncenter" width="420" caption="Mie ramen menyimpan filosofi dibalik kenikmatannya. (sumber: wallpho.com)"]
Hidangan ramen tergolong makanan kompleks nan rumit. Meski sekilas hanya terbagi ke dalam tiga unsur utama (mie, kuah dan lauk), namun filosofi yang terkandung di dalamnya turut menjadi penentu kualitas ramen. Hal tersebut diungkapkan Henry Chandrawidjaja, chef restoran ramen di Surabaya Barat.
Dikatakan Henry, dalam rangka menghasilkan ramen yang berkualitas, penyaji perlu memperhatikan detail pembuatannya. Mulai dari racikan dan takaran bumbu, kualitas tekstur mie, hingga cara mengaduk kuah kaldunya.
“Jika sekadar memproduksi ramen saja mungkin outputnya mie ramen yang enak. Tapi, kalau menambahkan passion ke dalamnya, hasilnya adalah mie ramen yang enak dan mengena di hati penikmatnya. Itulah filosofi ramen: Membawa Kebahagian di Hati Anda Lewat Setiap Helai Mie dan Sejengkal Kuah,” tutur Henry.
Pria yang sudah 15 tahun malang-melintang di dunia kuliner ini menambahkan, kuah memang memegang kendali penting. Untuk itu, kuah kaldu perlu persiapan dan sentuhan khusus. Bahkan, beberapa restoran ramen di Jepang, lanjut Henry, sangat memperhatikan cara mengaduk kuah ramen. Sampai-sampai, antara koki dan ramen tercipta chemistry. “Kapan kuah itu sudah maksimal dan siap dihidangkan? Ya hanya sang koki dan kuah ramen itu sendiri yang tahu,” terang Henry sembari menyiratkan bahwa kuah ramen bisa berbicara.
Apa yang disampaikan Henry tersebut menguatkan asumsi bahwa makanan bukan sekadar pengisi perut di kala lapar. Hidangan yang tersaji dengan nilai-nilai dari sang penyaji bermakna sebagai pembawa pesan kebaikan. Layaknya tulisan di atas secarik kertas, atau pun lirik lagu dalam sepenggal nyanyian, hidangan ramen menyimpan filosofi pesan kebahagian yang hendak disampaikan kepada para penikmatnya. Setidaknya, kekayaan alam yang disediakan Tuhan terangkum dalam cita rasa "lautan" kaldu mie ramen. Dengan demikian, penikmat ramen bisa lebih menghargai karunia Tuhan di daerah masing-masing. Ayo makan ramen! Itadakimasu! (jf)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H