Foto.Rm.YustuNipu.com
Selasa, 14 Desember 2021
PW. St. Yohanes dari Salib
Zef. 3:1-2.9 -- 13
Mat. 21:28-32
Kita sering dengar atau bahkan sudah berulang-ulang mengatakan ungkapan ini: menyesal kemudian tiada guna. Ungkapan ini mau menyatakan bahwa penyesalan sesungguhnya tiada artinya lagi karena semuanya telah terjadi. Maksudnya sejak awal segala sesuatu sudah seharusnya diantisipasi supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak direncanakan atau tidak diinginkan. Tentu ini benar adanya.Â
Namun kita juga dapat menemukan sebuah inspirasi yang sangat menarik melalui bacaan-bacaan suci hari ini. Kita diberi sebuah pemahaman yang lain atau sebuah pemahaman yang baru tentang penyesalan. Bahwa tidak ada yang namanya terlambat untuk sebuah penyesalan. Masih lebih baik menyesal daripada tidak sama sekali. Penyesalan adalah ungkapan jiwa seseorang yang lahir dari sebuah refleksi bahwa yang ia lakukan sebelumnya adalah sesuatu yang salah. Sekurang-kurangnya dengan penyesalan ia tahu dan sadar bahwa ada sesuatu yang salah yang sudah ia lakukan.
Berbanding terbalik dengan orang yang tidak biasa menyesal dalam hidup. Yang merasa sok suci, sok benar, sok tahu, lalu mapan dengan kesalahan, dst. Orang-orang seperti itulah yang ditentang oleh Tuhan. Melalui Nabi Zefanya, Allah menentang kota Yerusalem sebagai "si pemberontak dan si cemar, kota yang penuh penindasan". Kota Yerusalem yang dari zaman kuno seharusnya menjadi simbol perdamaian bagi dunia, menjadi simbol keagungan Allah, kota surgawi, tetapi justru dicemari. Kota itu berakhlak najis, berontak melawan Allah, dan menindas warga Negara yang telah berusaha membangun kehidupan yang damai dan kebenaran. Kota itu sedemikian rupa arogan sehingga tidak akan mendengarkan teguran dan tidak menerima kata-kata perbaikan. Padahal kota itu didirikan di bumi yang suram ini sebagai simbol di mana kehadiran Allah bisa dirasakan, tetapi mereka telah meninggalkan kepercayaan kepada Allah yang memberikan kenyamanan, sukacita, dan keagungan bagi kota ini. Tuhan mengecam kota ini lantaran tidak pernah mendengar atau peduli/peka terhadap nasehat, teguran, dan nubuat dari para nabi. Mereka telah mapan atau nyaman dengan kesalahan/kebablasan/kejahatan mereka sendiri.
Ada  kabar baik dan buruk melalui kecaman ini. Kabar baiknya: bahwa kehancuran kota yang baru diproklamasikan tidak akan menjadi akhir dari segala akhir, sesudah penghakiman terdapat pemulihan dan kehidupan baru. Akan tetapi berita buruknya: kehancuran mau tidak mau akan datang. Ada kualitas visioner untuk bagian pesan nabi ini. Nuansa hitam dan putih berbaur sekaligus, menyampaikan gambar yang mengerikan dan penuh harapan pada saat yang bersamaan. Tujuan dari perkataan itu untuk menanamkan keberanian bagi segelintir umat yang tetap setia kepada Tuhan. Nabi Zefanya memberikan pandangan masa depan yang merupakan sepenggal putus asa dan sepenggal harapan. Sumber keputusasaan nabi adalah saat menemukan pemahaman tentang sifat manusia dan bangsa manusia. Sedangkan sumber harapannya adalah menemukannya di dalam Allah.
Gambaran sifat manusia jelas sekali digambarkan oleh Yohanes dalam injilnya. Sifat manusia selalu ada dalam pertentangan antara: terang dan gelap, baik dan buruk, benar dan salah, roh dan daging. Sifat manusia selalu ada dalam situasi minus-malum, situasi dilematis, situasi maju kena-mundur kena, "situasi ya tapi tidak-tidak tapi ya". Itulah gambaran sifat manusia yang selalu kurang di hadapan Tuhan. Kita masih jauh dari kesempurnaan.
Anak sulung adalah gambaran tipe manusia yang sudah bersedia menerima tawaran keselamatan dari Allah tetapi tidak menghidupinya dalam tindakan nyata. Sama seperti kita semua pada saat permandian kita telah menjawab "ya" untuk menjadi murid Tuhan. Tapi dalam kenyataannya tidak mau menghidupinya dalam tindakan nyata. Lalu kita mulai berpaling kepada hal-hal yang menjanjikan kebahagiaan semu. Kita berpikir bahwa keselamatan itu datang secara otomatis dan tidak perlu lagi diperjuangkan. Sedangkan anak kedua adalah gambaran orang berdosa yang sejak awal mula tidak terbuka terhadap tawaran keselamatan dari Allah. Ia juga berada dalam posisi salah karena membangkang terhadap permintaan Bapanya. Namun justru ia dibenarkan karena penyesalannya lalu melaksanakan apa yang dikehendaki Bapanya.Â
Penyesalan adalah pintu menuju pertobatan dan perubahan hidup. Penyesalan langkah awal menuju keselamatan.