Mohon tunggu...
Jefri Supratman Harefa
Jefri Supratman Harefa Mohon Tunggu... lainnya -

Saya adalah "Ono Niha" (anak nias) yang lahir di "Tano Niha" (pulau nias) sekarang lagi menyibukkan diri untuk menggali makna hukum dan kehidupan menuju pada pemahaman tentang KEBENARAN dan KEADILAN serta laku "memanusiakan manusia"... semoga Kasih Karunia dan Damai Sejahtera yang dari Bapa Sorgawi Menyertaiku dan seisi DUNIA ini... Amin...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Anak? Sebuah Pergulatan Paradigma

8 Mei 2014   00:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

“Menulislah selagi kamu bisa berpikir”

Anak menjadi perbincangan serius (nasional) akhir-akhir ini. Pemicunya adalah Anak yang menjadi korban kejahatan seksual baik yang terjadi di JIS maupun di Sukabumi. Apa yang membuat kasus ini menjadi isu nasional? Pertama, kasus ini terjadi di institusi sekolah (pendidikan); dan Kedua kasus ini bertalian dengan korban yang tidak sedikit (bukan tidak mungkin jika kasus ini hanya terhadap seorang Anak saja, kemasannya (bagi media) kurang mendapat porsi yang menguntungkan).

Kasus di atas seakan menghentakan kesadaran nasional betapa pentingnya untuk menjaga dan melindungi Anak dari berbagai faktor eksternal demi pertumbuhan dan perkembangan Anak menuju peradaban yang lebih baik. UURI No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) mnentukan bahwa pemerintah (negara), orang tua (keluarga), dan masyarakat mempunyai tanggung jawab bersama untuk terus menerus (tanpa henti) dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan Anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.

Namun, kenapa kejadian demi kejadian dan kasus demi kasus semakin menjerat Anak dalam posisinya yang seharusnya nyaman menjadi posisi yang serba salah? Salah berada di sekolah, salah berada di rumah, salah berada di jalanan, salah berada di tempat-tempat sacral-keagamaan, salah si tempat sepi, salah juga di tempat ramai, salah dekat orang tua, salah dekat tetangga, salah dekat masyarakat dan salah lagi dalam negara?

Di atas kertas UUPA sudah menjamin secara yuridis terhadap hak-hak Anak. Tapi, apakah ketika suatu aturan sudah menjadi UU maka semuanya akan selesai? Belum tentu! Demikian juga suara keras belakangan yang kemudian muncul yaitu “Status Darurat Terhadap Anak”. Apakah dengan status darurat tersebut akan menyelesaikan masalah Anak? Juga belum tentu!

Belum lagi para pakar diberbagai bidang menginginkan agar hukuman (pidana) bagi pelaku kejahatan seksual terhadap Anak diberatkan, dari 15 tahun menjadi 20 tahun. Bahkan adapula yang mengusulkan jika pelaku kejahatan seksual terhadap Anak tersebut disuntik kimia. Tetapi apakah kita berpikir bahwa dengan terlalu fokus kepada penghukuman bagi pelaku di satu sisi kita telah sedang menelantarkan perhatian terhadap Anak? Bukankah UUPA bertujuan untuk melakukan segala sesuatu demi kepentingan terbaik bagi Anak?

Kepentingan Terbaik Bagi Anak

Kepentingan yang terbaik bagi Anak mewujud dalam pemenuhan hak-hak Anak yang menjadi tanggung jawab bersama pemerintah (negara), orang tua (keluarga), dan masyarakat. Hak-hak tersebut menyangku hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk selalu merasa nyaman, hak untuk selalu diperhatikan, hak untuk tidak disakiti, dll. Anak tidak dapat memenuhi hak-haknya tersebut tanpa adanya peranan pemerintah (negara), orang tua (keluarga), dan masyarakat.

Kerentanan Anak menjadi korban kejahatan seksual merupakan akumulasi dari kurangnya perhatian bersama antara pemerintah (negara), orang tua (keluarga), dan masyarakat. Anak hanyalah dianggap sebagai pelengkap saja. Dengan pemahaman yang seperti ini maka sangatlah beralasan jika Anak berada dalam kondisi pembiaran.

Tidaklah disalahkan untuk meninjau ulang terhadap potensi hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap Anak. Itu juga penting agar ada efek jera dan sekaligus menakut-nakuti pelaku potensial (calon pelaku) untuk melakukan kejahatan seksual terhadap Anak. Namun, yang lebih penting dari hal tersebut adalah Pertama, pencegahan komprehensif terhadap Anak yang berpotensi menjadi korban berikutnya; dan Kedua,pemulihan terhadap kondisi kejiwaan (psikis) Anak yang telah menjadi korban kejahatan seksual tersebut karena hal ini akan menentukan tentang bagaimana Anak tersebut memandang dan malanjutkan masa depannya kelak.

Meninjau ulang tentang pemahaman selama ini yang hanya menempatkan Anak sebagai bagian pelengkap saja baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam negara, kita dituntut untuk membuka pemahaman baru bahwa Anak berada di posisi sentral dalam keluarga, masyarakat maupun negara. Posisi Anak dalam suatu negara mencerminkan peradaban negara tersebut. Jika posisi Anak berada dalam posisi sentral suatu negara maka peradaban negara tersebut menuju pada kemajuan tetapi jika posisi Anak hanya sebagai pelengkap dalam sebuah negara maka peradaban negara tersebut sedang mendekati kehancurannyaa. Anak adalah harga mati suatu peradaban!

Jefri S. Harefa (Pembelajar Filsafat Anak)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun