Apa itu bahagia? Apa itu cukup? dan apa itu berhikmat? Ketiga pertanyaan eksistensial ini merupakan pertanyaan yang sederhana namun sulit dijawab bahkan memiliki jawaban yang berbeda-beda bagi setiap orang. Bahagiaku belum tentu menjadi bahagiamu, cukupku belum tentu cukup untukmu dan hanya perlu hikmat untuk menyatukan frekuensi keduanya.
Bahagia menurut KBBI ialah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Demi mencari kebahagiaan tersebut berbagai cara dilakukan seseorang untuk mengejarnya. Baik secara halal maupun haram, baik secara legal maupun illegal terus dikejar asal bisa bahagia.Â
Sewaktu SD, saya sangat menyukai sepak bola sehingga saya ikut sekolah sepak bola dan mulai mengoleksi poster pemain dan tim sepak bola beserta jerseynya. Memasuki SMP, saya sangat menyukai playstasion 2 dan gunpla sehingga saya mengoleksi gunpla.Â
Di tingkat SMA, saya sangat menyukai musik dan membentuk band. Dari ngeband ini saya mengoleksi kaset dan jaket. Pada jenjang perkuliahan, saya terkena sindrom Tsundoku, suatu sikap yang suka membeli buku namun tidak membacanya. Semangat mengoleksi ini saya lakukan hanya untuk memuaskan ego dan mengejar kebahagiaan.
Pada waktu saya pergi ke Gramedia Slamet Riadi Solo, saya melihat buku kecil berwarna kuning yang cukup mencolok dimata yang membuat saya terpikat untuk melihatnya. Buku bersampul kuning tersebut berjudul Seni Hidup Minimalis karya Francine Jay. Sewaktu membaca pendahuluan buku tersebut, saya terasa tertampar dan malu sendiri dengan apa yang sudah saya lakukan selama ini.
Di pendahuluannya, Jay menjelaskan bahwa banyak orang menganggap kata "minimalism" sama dengan "kosong". Sayangnya, "kosong" tentu tidak menarik karena berkaitan dengan rasa kehilangan, kehampaan, dan kesunyian. Namun, kita bisa melihat "kosong" dari sudut pandang yang berbeda. Bayangkan makna "kosong" dari sudut pandang berbeda. Bayangkan makna "kosong" secara apa adanya dan buang kesan lain sehingga bisa melihat "ruang". Ruang! Kita semua perlu ruang! ruang di lemari pakaian, ruang di garasi, ruang di jadwal, ruang untuk berpikir, bermain, berkarya, dan bersenang-senang dengan keluarga. Disitulah letak keindahan hidup minimalism (Jay, 2018:ix).
Dari pembacaan seni hidup minimalis ini saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam lagi untuk saya terapkan dalam aktivitas sehari-hari. Dalam memperdalam ilmu baru ini, saya menemukan literatur-literatur yang bagus untuk dipelajari seperti Marie Kondo dengan judul bukunya The Life Changing Magic Of Tidying Up, Fumio sasaki dengan judul bukunya Good Bye Things: Hidup minimalis ala orang Jepang, Desi Anwar dengan judul bukunya Hidup Sederhana, Dokumenter Netflix yang berjudul Minimalism: A Documentary About the Important Things, Channel Youtube Marie Kondo, Matt D'Avella, Raditya Dika, dan Fany Sibayang serta website www.theminimalists.com.
Setelah mendalami teori hidup minimalis ini, secara tidak langsung cara pandang saya berubah. Saya merasa sumpek melihat barang-barang yang berantakan, nafsu membeli barang yang diinginkan berkurang, mengkilokan buku-buku yang saya rasa kurang relevan bagi study saya, membuang baju yang dirasa tidak atau jarang terpakai, mensortir koleksi-koleksi yang masih saya simpan. Setelah melakukan declutter ini, saya merasakan bahwa dengan sedikitnya barang-barang yang kita miliki akan mengurangi stres, merasa cukup, lebih berhikmat dalam membeli barang, lebih bahagia dan merdeka.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya mengutip pernyataan Jay (2018:ix) bahwa menerapkan konsep hidup minimalis berarti kitalah yang mengendalikan barang-barang yang kita miliki. Kita yang menentukan ruang, fungsi, dan potensi rumah kita. Kita mengubah rumah menjadi tempat terbuka, penuh udara segar dan mampu menampung hal-hal bermakna dalam hidup ini. Kita menyatakan kebebasan dari kondisi yang serba berantakan dan rasanya begitu membebaskan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H