Mohon tunggu...
Jeffrendsky Ngama Kolong
Jeffrendsky Ngama Kolong Mohon Tunggu... Mahasiswa - Orang Utara

Leitstar/motive

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wacana Populisme dan Pemilu 2024 (Jalan Terjal Menuju Puncak Kekuasaan)

7 Mei 2023   02:18 Diperbarui: 13 Mei 2023   15:23 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Prancis tahun 2018, secara mendadak meledak sebuah gerakan yang bernama yellow vest movement. Dalam gerakan itu, sebanyak 30 % rakyat kelas bawah mendadak mengatakan sudah cukup masa kepemimpinan Presiden Macron, cepat turun dari jabatan Presiden! Gerakan ini lahir dari kondisi faktual yang dirasakan masyarakat Perancis, bahwa perpolitikan dan orientasi kesejahteraan hanya di Paris saja sehingga "kami" dilupakan. Meskipun akhirnya redup, setidaknya kemarahan rakyat melalui aksi massa tersebut menyisahkan kerusakan sepanjang jalan Paris.

Di tengah perkembangan politik, kebijakan pemerintah (public policy) yang timpang, orientasi pembangunan yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat, maka pada akhirnya yang tertindas dan yang teralineasi akan menemukan kesamaan identitasnya. 

Maka dalam perasaan yang bergejolak seperti "kami dilupakan" kami dimanfaatkan, sekarang kami tak mau lagi, kami tidak menerima lagi, kami dibodohi, kami dibohongi, semua kekejian ini dilakukan oleh "mereka". Kata "kita" diganti "kami" selanjutnya dipisahkan dengan "mereka" bermuara pada kesimpulan "kami bukan "mereka". pada titik ini populisme tumbuh dengan kesan sebagai suatu gerakan progresif ketika menyatakan diri secara berani untuk memperjuangkan sesuatu yang dibela dalam satu gelombang besar dan kokoh. Populisme saya sebut sebagai "sang pembela". Romo Magnis menyebutnya sebagai identity obsession. Persolan-persoalan diatas menjadi bahan bakar gerakan politik populisme baik dikancah nasional maupun dipakai dalam Pemilu di daerah.

Isu dan gerakan populisme menjadi lebih tajam dan progresif disaat komposisi etnik, kesukuan dan agama di suatu daerah/wilayah mengalami ketimpangan. Mulai dari timpangnya komposisi lembaga Triaspolitika (eksekutif, legislatif, yudikatif), orientasi pembangunan yang sentralistik, konsolidasi kebudayaan yang sentralistik, serta distribusi sumber daya manusia (SDA) yang berdasarkan privilege tertentu dst. Semua wajah ini tersketsa dengan jelas di beberapa daerah tidak terkecuali kabupaten/kota di rpovinsi Maluku Utara. Seperti "bom waktu" tinggal menunggu momentum dan populisme "kami" akan keluar sebagai pemenang.

Senjata "Mereka" sudah tidak mempan

Jalan populisme sengaja dipilih untuk menegaskan keberpihakannya kepada golongan masyarakat tertentu. Paling tidak sejak masa kampanye narasi-narasi keberpihakan itu mulai disuaraka hingga terpilih dan dalam menjalankan kekuasanpun narasi dan kebijakan populis genjar dipromosikan. 

Tidak mengherankan apabila paslon tertentu berkampanye di tempat basis massanya (kedekatan primordial) dan kemudian memberikan janji politik dengan narasi populisme. Tidak terbatas pada basis massa saja, cerdiknya para politisi mampu melakukan improvisasi dilapangan ketika berada di luar basis massa dengan melihat realitas sosial, ekonomi dan kondisi politik di tempat itu. Isu-isu seputar realitas sosial tersebut yang kemudian dipakai dan dimanfaatkan untuk disusupi narasi populis sehingga massa tergerak dan memilih paslon tersebut. Paul Taggart menganalogikan populisme seperti (hewan) bunglon yang bisa berubah-ubah warna kulitnya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Muhtadi 2019, 2)

Mereka dipilih bukan karena benar-benar bisa merealisasikan janji akan kemajuan ekonomi, kesejahteraan, kualitas pendidikan yang baik, bodoh amat dengan infrakstruktur jalan dan jembatan yang akan dibangun (bukan untuk "kami") atau karena lebih mempunyai kapasitas dan keunggulan program, melainkan semacam keegoisan kelompok "mereka" agar tetap di pucuk pimpinan. Asalkan jangan "kami" yang terpilih, itu kalimat yang sudah biasa "kami" dengar.

Perilaku memilih merupakan satu hal yang sangat kompleks. Faktor primordial menjadi faktor utama dan bisa jadi mengikat kelompok tertentu. Paslon dengan identitas primordial yang mayoritas, maka akan dengan mudah mengkonsolidasi gerakan politik dan akan mendulang bayak suarah. 

Sebaliknya strategi Paslon yang lemah dari sisi identitas primordial akan memakai cara apapun untuk membalikan kemenangan berpihak padanya. Salah satunya dengan "Money Politics". Politik bayar suara menjadi senjata ampuh bagi "mereka" yang secara kuantitas dan kualitas adalah minoritas. Strategi "mereka" sampai sekarang terbukti berhasil, tapi tidak pada Pemilu tahun 2024 nanti. Kita lihat nanti!!!

Untuk semakin memperteguh idealisme, kutipan berikut mungkin masih relevan untuk ditaati.

"Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksadirinya dengan berbagai-bagai duka"
(1 Timotius 6:10)
 

"hoye dika manga tiwi, uha manyawa
(anonym)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun