Mohon tunggu...
Jeffrendsky Ngama Kolong
Jeffrendsky Ngama Kolong Mohon Tunggu... Mahasiswa - Orang Utara

Leitstar/motive

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wacana Populisme dan Pemilu 2024 (Jalan Terjal Menuju Puncak Kekuasaan)

7 Mei 2023   02:18 Diperbarui: 13 Mei 2023   15:23 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Pemilu kita sering mendengar kata populisme. Saya membaca bahwa kata populisme berasal dari kata populum yang berarti rakyat, muncul di abad ke-19 dan mau mengungkapkan persepsi "rakyat yang murni" berhadapan dengan "elit yang korup" (Suseno 2021, 6). 

Lebih lanjut, dalam kamus sosiologi, populisme diartikan sebagai "suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantara lembaga-lembaga politik yang ada" (Abercrombie et. Al., 1998: dalam Muhtadi, 2019). Jadi, konteks populisme hari ini adalah suatu gerakan massa rakyat sebagai akibat dari akumulasi kemarahan dan kemuakan atas perpolitikan formal yang hanya dikuasi oleh segelintir elit, serta dilakukan hanya demi kepentingan elite yang korup. Populisme merupakan sikap etis untuk berani mengatakan sudah "cukup" dan menuntut elit politik untuk melakukan perbaikan, perubahan bagi kemajuan bersama

"Populisme merupakan sikap etis untuk berani mengatakan sudah "cukup" dan menuntut elite politik untuk melakukan perbaikan, perubahan bagi kemajuan bersama"

Dalam literatur politik Barat, populisme mulai dikenal pasca berakhirnya Perang Dunia I. Italia dengan Benito Mussolini (1883-1945) yang khas populis. Ia mengambil alih kekuasaan Italia tahun 1922 melalui slogan "make Italia grate again", slogan ini membangkitkan memori rakyat Italia akan kejayaan masa lampau Bangsa Romawi yang berjaya lebih dari seribu tahun. Begitu juga Jerman ketika mengalami krisis pasca Perang Dunia I, demokrasi lahir menggantikan pemerintahan monarki. Adolf Hitler yang merasa bangsanya dihina, direndahkan dan dituduh penyebab perang Dunia I tidak mengakui demokrasi karena merasa dipaksakan oleh sekutu Barat kepada bangsa Jerman yang kalah perang. 

Janjinya untuk mengembalikan harkat dan martabat bangsa Jerman dan menghancurkan sekutu Barat menghantarkan Adolf Hitler sebagai pemimpin (der Fuhrer) tahun 1933. Di Amerika Latin muncul gerakan populis baru yang bernama "peronistas" pasca Perang Dunia II dan kemudian melahirkan Juan Domingo Peron sebagai presiden yang terpilih sebanyak tiga kali (1946-1955). Juan dipilih oleh gerakan "peronistas" yakni dukungan dari pihak tertindas; rakyat pekerja di sektor pertanian dan industri.

Crista Deiwiks dalam bukunya Muhtadi (2019), memetakan krisis dalam tiga bentuk. Pertama, kondisi krisis ekonomi, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pertumbuhan, dampak globalisasi, eksploitasi sumber daya alam. Kedua, populisme merupakan kritik tajam atas kegagalan representative democracy. Ketiga, kesenjangan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat ditambah janji-janji demokrasi untuk yang kemudian dimanfaatkan oleh pemimpin populis sebagai retorika politik. Dengan demikian titik tolak populisme menjadi terang benderang. Populisme mendapat persemaian yang subur ketika ketidakadilan dan krisis dirasakan masyarakat.  

Di Indonesia sendiri, jalan panjang resim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto berakhir dengan penyematan sebagai resim terlama yang memimpin Republik ini, yakni kurang lebih 32 tahun. Rakyat Indonesia melalui mahasiswa dan pemuda/i, melalui ketajaman visi dan pergerakan yang Revolusioner berhasil menumbangkan resim Soeharto yang otoriter dan korup. Salah satu semangat Reformasi pasca jatuhnya Presiden Soeharto adalah memperpendek masa kekuasaan. Sebab kekuasaan yang lama akan cenderung menciptakan pemimpin dan rezim yang otoriter, diktator dan korup seperti dalam dalil Lord Acton "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely".

Semangat inilah yang pada akhirnya melahirkan satu lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan memperkuat peran, fungsi dan strukturnya. KPU mempunyai tugas yang mulia, secara teknis berfungsi untuk menyelenggarakan pemilu dan secara etis berfungsi untuk mencerdaskan masyarakat dalam iklim demokrasi. Penguatan peran, fungsi dan struktur inilah yang membedakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang lahir pasca Orde Baru tumbang dan Lambaga Pemilihan Umum (LPU) yang didirikan presiden Soeharto ketika tahun 1970.

Sebagai lembaga negara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemilu. Maka, landasan KPU dalam menyelengarakan Pemilu tahun 2024 adalah Pasal 167 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang pada prinsipnya mengatur bahwa Pemilu dan Pemilihan serentak nasional akan diselenggarakan pada tahun 2024.

Indonesia pada Pemilu pertama tahun 1999, yang saat itu menerapkan demokrasi liberal tidak tercium bau-bau munculnya populisme agama. Parpol-parpol yang berasaskan Islam kalah dari parpol berasaskan Pancasila. Kemenangan parpol Nasionalis atas Parpol Islam lebih dipertajam dengan gagalnya parpol Islam mengusung Paslon Capres-Cawapres hingga dianggap hanya pelengkap "bunga-bunga demokrasi" saja.

Baru dibawah kepemimpinan Presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo Istilah Populisme agama mencuat diikuti dengan sejumlah aksi massa kalangan "pembela Islam" pada akhir tahun 2016-2017. Gelombang aksi "bela Islam" yang begitu kental dengan massa yang besar diikuti dengan narasi kebencian terhadap Ahok digelorakan lewat aksi massa yang berjilid-jilid itu. 

Kasi bela Islam 14 Oktober 2016, 28 Oktober 2016, 4 November 2016, 2 Desembaer 2016, 11 Februari 2017, 21 februari 2017, 31 Maret 2017, dan 5 Mei 2017. Buntut dari aksi massa ini dikarenakan Ahok dianggap menghina Islam pada saat itu. Gerakan ini tidak bebas kepentingan melainkan sebagai upaya menghalangi Ahok terpilih menjadi Gubernur. Puncaknya ketika momentum Pilkada 2017, Anis Baswedan-Sandiaga Uno keluar bak pahlawan bagi kalangan Islam fundamental. Kemenangan Anis-Sandi adalah kemenangan kelompok massa "pembela Islam" dengan strategi populisme Politik Islam.

Dikotomi Psikis (kami vs mereka)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun