Selanjutnya dengan kasus kedua saya akan coba membaui paradoks geliat industri dan perampasan ruang hidup (ekonomi vs ekologi)
Saya akan mulai dengan cerita pasangan Hairani dan Turaji. mereka diusir paksa keluar dari hutan mereka oleh masuknya perusahan pertambangan, kini mereka tinggal di belakang perkampungan Desa Loleba, Halmahera Timur. Mereka terpaksa bergeser lantaran lokasi sebelumnya di Moleo Ma Bohuku (Tofu), tidak lagi nyaman karena air sungai dan hutan sudah rusak.
“Saya punya, saya pemiliknya. Coba perhatikan saja kalau bukan saya yang tanam, sedangkan di sana ada bekas tempat rumah saya. Saya tidak izinkan mereka mengambilnya” Kata Hairani dalam rilis berita yang ditulis Christ Belseran.
Orang Tobelo Dalam, yang hidup di hutan Halmahera terus terusik. Hutan mereka perlahan-lahan hilang dan berubah menjadi Kawasan pertambangan nikel maupun kawasan industri nikel. Sebagian orang Tobelo dalam masih bertahan, tetapi sebagian terpaksa pindah mencari tempat hidup baru. Ketakutan akan hilanggnya ruang hidup tersebut tidak hanya dirasakan dan dialami oleh Orang Tobelo Dalam, tetapi juga dirasakan oleh masyarakat adat.
Protes akan hutan yang kian hilang, September lalu, Orang Tobelo Desa Saolat dan Minamin melakukan aksi pemalangan aktivitas pertambangan PT IWIP di hutan adat Tofu, Kabupaten Halmahera Timur. Buntutnya pemerintah dalam hal ini Forkopimda Halmahera Timur melakukan pertemuan dengan masyarakat adat Minamin Saolat. Dalam kesempatan itu Wakil Bupati, Anjas Taher mengatakan bahwa PEMDA pada posisi memediasi untuk mengakomodir kepentingan kedua belah pihak sebagaimana dalam rilis berita yang ditulis Christ Belseran, Oktober 2022.
"Kita memediasi, yang jelas pemerintah daerah di tengah untuk menjembatani dua kepentingan ini. Kepentingan masyarakat juga harus kita lindungi dan kepentingan perusahaan juga harus kita jaga. Kedua-duanya akan kita pertemukan untuk memediasi," kata Anjas Taher.
Pada kesempatan itu juga pemerintah melalui Wakil Bupati, Anjas Taher mengakui eksistensi Orang Tobelo dalam.
“Pemerintah mengakomodir aspirasi masyarakat. Dan mengakui, hutan tempat aktivitas tambang ini dari dulu sudah ada penghuninya, yaitu, Suku Togutil atau Orang Tobelo Dalam”. Lanjut Anjas Taher.
Dari persoalan diatas, terkonfirmasi bahwa geliat untuk meningkatkan pendapatan negara melalui perusahaan pertambangan Nikel di daerah, khususnya di Kabupaten Halmahera Timur masih problematik. Di satu sisi tingginya geliat para investor yang bercokol pada industri pertambangan tetapi disisi lain terjadi perampasan dan perusakan lingkungan hidup masyarakat yang mendiami kawasan tersebut. Ketidakseimbangan antara pendapatan ekonomi yang terus digenjot dan ketidakseriusan dalam upaya merawat ekologi adalah dilema paradoks yang perlu menjadi perhatian serius untuk diatasi oleh PEMDA maupun pihak investor.
Pemerintah memang punya dasar hukum yang kuat berupa Undang Undang dan turunan Peraturan lainnya sebagai pegangan untuk bertindak, juga dengan semua kuasa yang dipegang. Tetapi itu semua hanya akan melahirkan konflik yang berkepenjangan antara PEMDA, pihak Perusahan dengan masyarakat apabila sukses kemunikasi diabaikan. Sukses komunikasi harus dikedepankan dalam setiap langkah yang diambil, sosialisasi kebijakan pemerintah (public policy) harus dilakukan lebih dini dan harus melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya dalam hal ini masyarakat. Jika tidak, maka pemerintah lagi-lagi akan diperhadapkan pada konflik panjang dengan masyaraat. sebab persoalan ini menyangkut ruang hidup dan masa depan masyarakat itu sendiri.