Guru sebagai pendidik merupakan agen perubahan bagi bangsa melalui sentuhan mereka terhadap generasi muda yang potensial. Bukan hanya sebatas pengetahuan, namun juga gaya hidup yang menjadi didikan bagi mereka yang mau dididik dan mengubah paradigma lama menjadi baru dan berwawasan. Sebab kita sadar tanpa keberadaan guru maka tidak akan pernah ada pembangunan dan kemajuan. Oleh karena itu, sedemikian krusialnya peran seorang guru terhadap eksistensi suatu bangsa maka guru perlu juga untuk lebih lagi dalam mengupgrade diri untuk senantiasa menjadi yang terdepan demi pengetahuan dan perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu metode yang dapat dilakukan oleh para guru dalam mencari, mengamati dan memberi masukan yang berkualitas bagi diri sendiri maupun orang lain adalah dengan menulis. Seperti yang sedang galakkan oleh Sukanto Tanoto melalui yayasannya Tanoto Foundation. Menulis tak harus rumit, karena esensinya menulis adalah menuangkan ide pikiran dalam bentuk tulisan. Ide bisa datang darimana saja, apalagi kita sebagai guru. Ada begitu banyak hal disekitar kita yang harus kita angkat demi kebaikan dikemudian hari. Dengan demikian, setiap fenomena masalah pendidikan yang dituangkan menjadi rangkaian tulisan mungkin akan mempu menjadi pembelajaran bersama bagi kita para guru.
Sebab bila guru mau menuangkan semua ide yang berkaitan dengan fenomena pendidikan yang ada disekitarnya, maka bukan hanya membantu dirinya mengeluarkan unek-unek tetapi juga menjadi pembelajaran dan pembanding bagi guru-guru lain yang memang mungkin memiliki atau akan mengalami masalah sedemikian rupa.
Saya sendiri mulai menulis sejak lima tahun silam. Itu dimulai dari kesadaran akan pentingnya bagi profesi saya untuk selalu menulis. Karena dengan demikian tanpa disadari akan semakin membuat saya lebih termotivasi untuk berbagi dan manjalin koneksi dengan para guru lain di belahan nusantara ini. Ada pembelajaran yang baik saat para guru lain mau berbagi pengalaman mereka melalui tulisan dan menjadikan hal tersebut sebagai masukan bagi diri sendiri.
Lagi pula banyak karakter baik yang dapat kita ambil apabila para guru mau meluangkan sedikit waktunya untuk menulis. Karena guru yang menulis mengindikasikan dirinya adalah guru yang cerdas dan mau berbagi. Terbuka untuk masukan dan pembelajaran dari luar. Guru yang menulis sudah pasti tekun, karena untuk menuangkan unek-unek yang berkualitas pasti dibutuhkan ketekunan demi kebaikan mereka yang membacanya.
Guru yang menulis juga merupakan pribadi yang rajin dan jujur. Rajin melatih diri untuk terus mengasah kualitas tulisan yang akan dibagi. Mencari berbagai referensi bacaan tentunya bukan hal yang mudah, namun dengan kerajinan akan membuahkan hasil. Dengan menuangkan unek-unek seputar pendidikan dengan jujur, maka akan mambantu perbaikan fenomena pendidikan yang diangkat melalui tulisan tersebut. Setidaknya siapapun yang membacanya akan mengerti realita yang terjadi di lapangan.
Namun sangat disayangkan masih sedikit guru yang mau menulis. Entah itu alasan waktu ataupun alasan “tidak pintar” dalam menulis, yang jelas intinya adalah kurangnya motivasi untuk menulis. Padahal untuk berbagi melalui tulisan itu tidak sesulit yang dibayangkan. Hanya perlu kesadaran akan peran kita sebagai pendidik. Dengan menulis maka kita sedang memberi ruang kepada diri sendiri untuk selalu mencari dan menemukan, memberi dan mempertanggungjawabkan, memperbaiki dan bersemangat. Apa yang kita cari dan temukan? Apa yang kita beri dan pertanggungjawabkan? Mengapa harus diperbaiki dan tetap semangat?
Semua pernyataan dan pertanyaan sederhana itu dapat menjadi pemicu sederhana untuk mulai menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan. Semakin banyak yang kita tanyakan tentang fenomena pendidikan sebagai guru, maka semakin dekat kita dengan solusinya. Kecuali kita ingin menjadi guru yang cuek, tidak peduli apapun yang terjadi dalam dunia pendidikan, bahkan dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah sekalipun. Bila sikap tak mau tau seperti ini terus dipupuk, maka tidak akan pernah ada solusi untuk jawaban-jawaban seputar fenomena masalah pendidikan yang terjadi.
Sebaliknya, semakin kuat motivasi guru dalam menulis maka semakin rajin pula guru tersebut akan membaca. Ada keseimbangan sirkulasi antara semangat belajar, menulis dan mengajar. Dengan demikian biarpun rambut sudah mulai memutih, karena melatih diri dibarengi rasa haus untuk belajar dan berbagi, tidak akan membuat kecerdasan itu terbuang percuma. Seperti rantai yang tetap berkesinambungan, tulisan yang terbit akan tetap menyentuh orang lain.
Pun saat guru akan mengurus kenaikan golongan, saat ini syaratnya adalah melakukan penelitian tindakan kelas yang laporannya tak lain adalah karya ilmiah. Hal ini mengharuskan si guru harus menulis dan membuat sendiri karya ilmiah tersebut. Kecuali bila si guru adalah pemalas dan kurang berkualitas maka sudah tentu akan memilih untuk mengemis pihak lain untuk menyelesaikan laporan tersebut dengan bujuk dan rayu bahkan mengeluarkan materi. Tentu kita tidak ingin menjadi guru gampangan yang bobrok seperti itu bukan?
Menulis itu gampang, bila terus dilatih dan itu penting. Sedikit demi sedikit akan mampu memberi perubahan besar. Jadi suatu saat bila akan disuruh untuk mengerjakan karya ilmiah oleh dinas, maka akan mampu menghasilkan yang karya yang berkualitas. Pun esensi menulis bagi seorang guru tadi sangat penting, yakni demi mencari dan memecahkan masalah pelik seputar dunia pendidikan, lebih melek teknologi, pengembangan wawasan dan memajukan pendidikan Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI