Waktu kecil, bahkan hingga kini sering terdengar kisah dari orang lain tentang hebatnya skill beladiri si bapak. Pengakuannya pada masa itu orang yang punya skill seperti dia bisa terus dipake kerja. Ya memang paling-paling jadi bodyguard atau tukang pukul. Apalagi pendidikannya yang tak lulus SMA. Itupun dari sekolah dasar sudah merantau berhadapan dengan kehidupan malam dan subuh yang keras. Cuma si bapak beruntung punya skill lain selain itu, yakni kelistrikan beserta jaringannya. Sehingga membuatnya pernah duduk di bangku staff dari anak tangga bodyguard. Dan itu jadi kenangan hidup yang pernah hadir dalam kisahnya.
Sampai suatu saat si bapak menasehatkan, “masa lalu itu memang seperti itu adanya. Kalau kita gak keras, tahan banting dan punya ilmu beladiri maka gak bisa bertahan hidup. tapi itu dulu. Sekarang yang jago-jago beladiri tidak lagi sebanyak dulu untuk dipake kerja. Sekarang yang penting otak bukan otot. Jadi belajarlah, jadilah orang pandai yang bijak dan rendah hati. Karena apapun yang kamu kerjakan nanti Tuhan pasti memperhatikannya dan menjaganya, supaya dapat apa yang kamu cita-citakan.”
Itulah sebabnya ilmu beladirinya tak diturunkan kepada kami secara intensive, hanya beberapa teknik pada saat itu yang dirasa perlu untuk diketahui. Pernah suatu saat saya mendesak si bapak untuk latihan intensive, masih SMP pada saat itu. Karena pada saat itu sering juga di bully teman-teman sekolah. Cuma bentuk latihannya cukup keras dan saya memilih tidak melanjutkannya lagi. Mungkin beladiri karate memang begitu kerasnya. Adik saya si bungsu juga dititip kepada temannya untuk ikut tae kwon do. Tidak kurang dari 2 tahun si bungsu keluar, padahal jika lanjut dia bisa jadi atlit pon atau sejenisnya saat ini. Cuma memang si kawan yang satu ini bukan tipikal “darah panas”, jadi tidak terlalu minat dalam bidang beladiri tersebut. Tapi kalau bidang kasmaran...hmm, terikut imbas anak alay jaman sekarang.
Saya sendiri hampir seperti si bapak, suka hal-hal yang berbau olah raga full contact seperti tinju, ufc, mma, atau dulunya K-1. Film-film laga lainnya yang dibintangi Van Damme, Steven Seagel, Jet Li dan lainnya jadi salah satu kesukaan kami berdua. Bedanya hanya, si bapak sudah master di bidang tersebut, lah saya Cuma jadi pengagum dadakan non-skill dan non-experience.
Pernah teringat pesan moral si bapak, bahkan sempat sharing tentang hal tersebut kepada teman-teman lainnya. Hingga akhirnya pemberitaan kriminal mulai membanjiri isi kepala. Perampokan, penodongan, pemerasan, pemukulan, bully dan laiinya semakin membuat diri tersadar ternyata kejahatan itu memang terus ada. Mungkin hampir semua orang pernah mengalaminya.
Saya terpukul saat melihat tindak pemerasan dan bully terhadap teman namun tak bisa melakukan apa-apa untuk membelanya. Bahkan mungkin untuk menolong diri saya sendiri lepas dari cengkraman kriminal seperti itu belum tentu mampu. Akhirnya saya berpikir bahwa “ilmu bela diri itu perlu”, melihat tingginya angka kriminalitas saat ini. Memang sekarang otot tidak terlalu relevan untuk cari makan, melainkan otak. Namun sesekali otot yang dilatih sangat berguna jika suatu saat tindak kriminal menghampiri. Sehingga pembelaan diri yang benar dapat meluputkan diri dari bahaya kecelakaan dan maut.
Akhirnya saya bergabung dalam seni beladiri Jiu-Jitsu. Sebuah seni beladiri yang memiliki philosophy “rise and fall”, menggunakan kekuatan lawan untuk kembali melawannya lagi. Tidak sekasar jenis beladiri lainnya, namun berbahaya, melumpuhkan dan mematikan. Sangkin berbahayanya sewaktu melihat demonya buat jantung dagdigdug.
Seni beladiri Jiu-Jitsu yang saya minati beraliran Kito-ryu, memiliki empat teknik yakni teknik pukulan (te-waza), tendangan (ashi-waza), kuncian (kansetsu-waza), dan bantingan (nage-waza). Dan saya juga melihat tak ada unsur okultisme dalam aliran ini, murni seni dan latihan. Paling Cuma ada latihan pernafasan. Tidak ada istilah semedi-semedi, jadi tak bertentangan dengan keyakinan saya.
Memang jenis beladiri ini belum sepopuler beladiri lainnya di Indonesia, namun yang penting ilmu dan seninya. Memang ada naungannya bernama Institut Jiu Jitsu Indonesia (IJI) yang telah masuk di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Polri dan berbagai kesatuan militer seperti Kopassus, Kostrad, Paspampres, Marinir dan lainnya.Juga naungan internasionalnya bernama Ju-Jitsu International Federation (JJIF) anggota dari International World Games Association (IWGA) dan General Association of International Sport Federations (GAISF). (id.wikipedia.org/wiki/Jujutsu).
Kalau di pusat IJI mereka beraliran I Kyushin ryu, sementara kami di sini aliran Kito ryu. Meskipun demikian tetap saling menghargai dan menghormati sesama Ju-jitsan. Belum pernah ada berita perusakan dan pembakaran dojo Kito ryu walau mereka mayoritas..hehehehe,,:D
Jadi sekedar membela diri saat ada masalah yang mengharuskan menghindar dan full contact, sudah ada persiapan sejak dini. Bukan Cuma fokus ke situnya aja, melainkan seni melatih tubuh untuk tetap sehat dan bugar, memantapkan rasa percaya diri, sikap sportif dan open minded. Karena hanya pembelajar arogan dungu yang tidak mau membuka diri akan pengetahuan dan pembelajaran. Namun bagaimanapun ilmu mengalah untuk menang tetap jadi prioritas, pengendalian diri dan berjiwa besar tetap jadi kunci kedamaian terhadap berbagai jenis masalah. Karena saya pun seorang pembelajar yang masih belajar dan mungkin berdampak bagi orang lain.
Well, setidaknya warisan keluarga petarung tak terputus hanya sampai si bapak saja...walau beliau karateka dan saya ju-jitsan tetap kompak. :D
salam
[caption id="attachment_274499" align="aligncenter" width="300" caption="Gashuku Ju-Jitsu Kito Ryu Sumut at Sibolangit July 2013"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H