Fenomena ini sering kita jumpai dalam lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Pun para pendidik dan orang tua sadar akan hal ini, yakni betapa rendahnya etika anak (dalam usia didik) saat ini.
Anak didik sekarang lebih berani dalam hal tak beretika bila kita lihat fakta-fakta tentang hal itu. Walau tau terdapat banyak masyarakat yang lebih tua dari mereka, tak ada rasa segan untuk tawuran, membuat onar, menghabisi temannya sampai babak belur, ngumpul-ngumpul merokok sambil minum miras, bahkan tak segan-segan kembali melotot pada orang tua yang mencoba untuk mengingatkan sikap buruk mereka. Itu yang terjadi di lingkungan.
Beda lagi yang terjadi di sekolah. Entah udah berapakali guru teriak-teriak mengatur siswa untuk tertib bila upacara tetap tak digubris. Dilakukan pendekatan lain juga mempannya Cuma sebentar. Belum lagi di kelas, saat ini mereka tak segan-segan untuk berlagak “suka-suka” di kelas. Akibatnya mereka bebas untuk jalan kesana-kemari dan berbicara dengan teman-temannya meski tau guru ada di kelas tersebut. Mereka tak lagi mempan dengan himbauan untuk tertib. Mereka tau kalau guru saat ini tidak bisa bertindak “lebih” untuk mendisiplinkan siswa, Cuma sekedar nasehat dan nasehat. Bahkan dengan pendekatan BP pun masih keluar statement, “kok kepo kali sih pak/bu? Suka-suka saya dong!” keluar dari situ, ngulah lagi. Surat panggilan orang tua udah seakan hiasan keseharian yang rutin.
Beberapa hal menarik tentang penyebab kurang beretikanya anak (usia didik) saat ini adalah:
1. Si anak Kesadaran kurang/self motivation
Entah karena asupan didikan karakter usia dini yang kurang didapatnya dalam keluarga, menjadikan pribadinya menjadi “kreak” dan haus perhatian. Yang jelas apapun yang dilakukan guru untuk membantunya menjadi pribadi yang unggul sepertinya belum ada titik temu. Terjadi pembatasan nilai karakter yang hendak ditanamkan, justru seperti tak punya semangat juang untuk melakukan yang terbaik.
2. Guru yang kebablasan menjadi guru yang cuek
Entah terbawa dengan pola didik jaman jepang, mungkin ada aja guru yang kebablasan dalam mendisiplinkan anak didik. Tak jarang anak yang mengadu disambut hangat oleh orang tua dan oknum lain untuk melaporkan si guru. Akhirnya jadi pelajaran untuk si guru dikemudian hari untuk tidak menuntut “banyak” dari si anak, ya cukup sekedarnya aja. “Jadi kalau mau belajar ya belajar, kalau tidak ya monggo, toh saya masih banyak yang mesti dipikirin selain kamu!” Sehingga yang terjadi adalah berkurang sikap care si guru yang dulu pernah ada meski kebablasan walau sebenarnya demi kebaikan si anak. Tapi sudut pandang si anak, orang tua dan oknum berbeda pula. Kejadian tersebut secara sporadis mampu mempengaruhi guru secara global untuk tak lagi membentuk si anak menjadi lebih baik, melainkan biasa saja. Dengan demikian lahirnya kebanyakan guru “cuek” yang tak lagi peduli dengan sikap dan karakter si anak, yang penting tujuan pembelajaran (materinya) terselesaikan, pulang kerumah, tanpa beban. bagaimana dengan di rumah? para orang tua masing-masing yang paling paham.
3. Orangtua yang kebablasan menjadi orang tua monyet
Seperti kata saudara Bain, anak dididik di sekolah itu Cuma sekitar 6-8 jam (standar negeri). Sementara si anak menghabiskan sisa waktu 16-18 jam itu bersama orangtuanya di rumah (seharusnya). Namun dengan waktu yang terbatas di sekolah tadi, si orang tua berharap “lebih” dari pihak sekolah untuk membuat anak menjadi “super human”, cerdas, baik dan berprestasi. Hampir semua orang tua murid menginginkan hal itu. Mereka menampik kenyataan bahwa para pendidik di sekolah itu adalah “the best partner” yang saling berkordinasi. Guru bukan superman/superwoman yang serba bisa dan gak pernah salah. Dengan tuntutan lebih sang guru harus menghandel sekitar 480 anak tiap minggunya (rata-rata 24 jam perminggu), sepanjang tahun. sementara orang tua yang menghandel 2 anak di rumah saja belum tentu becus.
Itu pun masih saja guru tak luput dari objek sebagai kambing hitam atas ketidakberhasilan si anak dalam belajar, berkarakter dan berakhlak. Seolah-olah mencari kesalahan, bila si anak kena hukum atau nilainya rendah maka keluar statemen, “kok gitu gurumu?” lalu berbondong-bondong dengan muka yang sangar untuk menuntut pertanggungjawaban si guru mengapa anaknya seperti itu. Seakan-akan saat si anak salah/gagal, si orang tua muncul dengan tiba-tiba untuk promosi menjadi “orang tua baik” yang ada “membela” saat si anak dihukum ataupun nilainya rendah. Padahal itulah yang akan menjadi bom waktu saat ini dan ke depan. Kebanyakan orang tua sudah berubah jadi monyet, artinya sayang-sayang monyet. Suatu sikap yang nantinya mematikan si anak itu sendiri.
4. Pembelaan Komnas PA yang mematikan
Perhatikan bila terjadi disiplin terhadap si anak dengan hukuman tertentu (bukan hukuman fisik gila-gilaan), mendapat laporan seperti itu Komnas PA juga sudah imbang dengan pendekar tanpa tanding di siang bolong. Tidak tahukah mereka bila pembelaan habis-habisan tepat dimata siswa yang bersangkutan hanya akan memperparah keadaan generasi ini? Dengan bangga mereka menyerukan kalau anak didik tidak boleh dihukum, bahkan dimarahin pun tidak boleh. Hal ini mematikan karakter banyak pendidik yang ingin menerapkan disiplin demi pembentukan karakter baik si anak. Tentu bukan dengan tindakan disiplin yang kebablasan tadi. Sampai ada kepala sekolah mengatakan, “anak didik sekarang tu udah kayak dewa aja, kagak bisa disentuh, dimarahin pun tidak. Kalau gitu serahin aja ke orangtuanya, kalau dengan cara seperti itu bisa berhasil!”. Makanya sanksi yang dibenarkan seolah-olah sanksi ecek-ecek.
Memang perlakuan terhadap anak didik oleh pendidik itu berbeda-beda tentunya. Para pendidik paham akan hal ini, ada istilah ilmu jiwa yang harus dikuasai pendidik sebelum turun ke lapangan. Namun bila inti dari setiap pola perlakuan pendisplinan oleh guru dimatikan oleh Komnas PA, apa gunanya pendisiplinan? Kepasrahan pendidik awal kemunculan giant ego si anak yang membuatnya seolah-olah hebat dan tau segalanya. Pun bila sesuatu terjadi pada si anak,si anak gagal misalnya atau melakukan tindak kriminal, toh yang disorot itu ya pendidiknya bukan Komnas PA.
5. Policy makernya pendidikan yang belum jelas
Para penggagas sistem pendidikan pun seolah belum menemukan formula yang pas untuk fenomena ini. Faktanya dengan sistem kurikulum saat ini banyak guru yang beranggapan mereka lebih nyantai, siswa yang lebih aktif. Itu nonsense namanya. Tidak ada kata santai untuk seorang pendidik. Kurikulum justru mengharuskan pendidik untuk terus memikirkan pola mengatasi permasalah di kelas, menemukan core pembelajaran yang interaktif, membangun komunikasi dan hubungan yang baik antara pendidik dengan anak didik sehingga mampu memasukkan nilai-nilai karakter yang dituntut. Akibat dari anggapan yang salah tadi, pendidik dengan penghasilan bulanan yang selangit akibat sertifikasi pun tetap saja memberikan pola pembelajaran kopong tak berisi, miskin inovatif, miskin karakteristik dan tanggungjawab.
Sampai kapan hal ini akan berlangsung? Selama belum ada titik ketemu antara faktor penyebab kurang beretikanya anak didik saat ini, masih abu-abu. Esensi mendidik adalah melahirkan generasi bangsa yang berkualitas dengan nilai-nilai karakter dan budi luhur yang baik yang nantinya mampu membangun negara ini menjadi lebih baik. Namun, bila sistemnya tetap mengeluarkan anak didik kurang atau bahkan tak beretika seperti saat ini, mau gimana lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H