Mohon tunggu...
Jeff Sinaga
Jeff Sinaga Mohon Tunggu... Guru - Suka menulis, olahraga dan berpikir

pendidik, ju-jitsan, learn to stay humble and live to give good impact. :-) follow twitter: @Jef7naga

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Remaja dan Media Sosial

3 November 2014   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia masih remaja, usia mungkin masih belasa. Mungkin baru melek media sosial. Mungkin juga memang sedang kena menggebu-menggebu. Tak lagi hal yang tabuh buat mengekspresikan diri. Di facebook mengumbar kata-kata kotor sebagai tambahan status sudah lumrah. Belum lagi mengumbar hubungan jalinan yang mereka sebut cinta. Usia sekolah loh!? Belum lagi mengumbar foto mesra yang tiada berbatas norma. Seketika mengumbar hubungan pacaran, bulan depan hubungan nikah. Mungkin merasa hebat bila harus diekspos. Padahal mungkin saja itu semu. Semua semu, fantasi anak remaja tanpa sadar realita.

Tahun lalu mungkin sudah pacaran dengan si A, kemudian putus dan berhubunga dengan si B dan para remaja lainnya. Bukannya merasa malu, malah membanggakan diri dengan kebobrokan itu. Harus berapa anak lelaki untuk memuaskan hasrat semua tadi? Atau sudah berapa anak perempuan yang harus jadi korban rayuan omong kosong?

Ingin berkata jijik tapi...itu tak baik. Prihatin mungkin lebih pas walau tanpa tindakan pun sebenarnya sama saja omong kosong. Melihat segala aktivitas dunia maya mereka tanpa batasan norma. Bangga selfie dengan pose pelukan untuk pacar yang kesekian. Bangga selfie dengan pose menghisap rokok untuk usia ingusan. Bangga mengumbar janji-janji anak remaja demi mengambil keuntungan untuk memuaskan hasrat labil mereka.

Kerap sekali terlontarkan motivasi hidup untuk mereka. Memberikan realita sesungguhnya pergaulan remaja yang tanpa batas dan sering sekali bablas.

Menarik diri keluar ternyata lebih mudah daripada menjatuhkan diri. Mungkin sudah terlalu dalam mereka jatuh. Mungkin sudah tak ada lagi yang peduli. Dimana orang tuanya? Kenapa tidak menghardik anaknya dengan pergaulan yang seperti itu?

Tak heran kekosongan hati belum ada yang mengisi selain mereka dan teman-temannya. “ ini duniaku, kenapa kamu yang kepo?” Akhirnya menjadi siklus yang terus-menerus menjadikan fenomena ini ada dan hidup. Emang itu anak siapa? Bukan, bukan anakku. Tapi aku merasa bagaimana jika....? ahh, sudahlah. Orang tuanya saja tak peka dan peduli tentang mereka. Bagianku sudah kulakukan, bagian mereka...tanya saja sendiri.

Tak heran pula gadis cabe-cabean menjamur. Gaya hidup pergaulan bebas tak lagi mampu dibendung.

Sebuah pengalaman menyadarkan sebagian dari mereka. Selalu bilang supaya jangan termakan rayuan dari laki-laki yang selalu berjanji ini dan itu, yang mengajak jalan ke sana kemari, yang mentraktir makan ditempat bagus. Semua itu iklan yang belum saatnya tayang. Coba pikir sederhana. Kalian masih remaja usia sekolah. Masih satu atap dengan orang tua, masih makan nasi orang tua, masih minta uang jajan sama orang tua, masih dimamahin seperti burung kepada anaknya. Semua kebutuhan kalian masih dari orang tua. Namun kenapa terhanyut dalam pergaulan yang tidak menyehatkan?

Melihat kondisi perkembangan remaja dan pergaulannya sekarang sudah membuatku...sudahlah, orang tua mereka saja tidak peduli.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun