Mohon tunggu...
Jeni fitriasha
Jeni fitriasha Mohon Tunggu... -

Eks. mahasiswa Psikologi. Pemilik sunyiberdialog.tumblr.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu/Guru

21 Juni 2016   12:50 Diperbarui: 21 Juni 2016   13:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kalau ibu sakit, bagaimana ini? Nanti tunjangan tambahan ibu akan dipotong.” Aku hanya bisa mengatakan pada ibu bahwa ia tidak akan sakit, beliau hanya cukup istirahat saja. Ibu tersenyum mendengar ucapanku. Wajahnya memang pucat dan bibirnya pecah-pecah. Setelah duduk sebentar di ruang tengah, ibu bangkit dan berjalan dengan langkah gontai menuju kamarnya. Aku memperhatikan beliau sambil menonton berita tentang Cicak vs Buaya jilid 2.

Keesokan harinya ibu benar-benar sakit. Ibu meriang dan berat untuk bangkit dari tempat tidur. Bapak sudah membawa ibu ke rumah sakit untuk berobat. Dokter bilang ibu kena tipus. Raut muka bapak tampak sedih ketika menerima resep dokter. Tapi ibu tak kalah sedih dari bapak. Ibu bahkan nyaris menangis waktu dokter bilang ibu harus istirahat total selama satu minggu penuh. Tidak boleh kemana-mana dan sangat dianjurkan untuk berbaring saja di tempat tidur. Berjalan jika ibu hanya ingin ke toilet dan ganti baju. Untuk makan pun sebaiknya dibawakan. Ibu harus benar-benar istirahat, berhenti dari aktifitas apa pun. Lalu ketika dokter menambahkan penjelasannya, ibu benar-benar mulai menangis. Aku sibuk mengusap-usap punggung dan memegangi tangannya.

“Kalau selama satu minggu gejala tipusnya tak berkurang, terpaksa ibu harus dirawat di rumah sakit sampai sembuh total.”

Aku heran mengapa ibu bisa menangis seperti itu, menanggapi penyakitnya secara dramatis begitu. Tapi setelah pulang dari rumah sakit, ibu langsung bergegas ke dapur mengambil segelas air putih dan minum obat. Lalu tanpa babibubebo, ibu mengganti bajunya dan langsung naik ke atas tempat tidur.

“Ibu ndak mau sakit lama-lama Dek, nanti tunjangan profesi ibu dipotong dua bulan. Satu bulan saja dipotong ruginya banyak apalagi dua bulan. Jadi udah, cukup dua sampai tiga hari saja ibu sakitnya, Dek. Setelah itu ibu harus sehat. Harus bisa ngajar lagi di sekolah. Rugi dikit mau bagaimana lagi. Namanya juga manusia, bisa sakit tiba-tiba. Mati aja juga bisa tiba-tiba. Iya kan, Dek?”

Aku terkejut ibu bilang begitu. Semakin tekun aku urut kaki ibu di atas tempat tidur. Ucapannya membuat aku khawatir. Seandainya aku sudah bisa dapat pekerjaan, ibu tak perlu pusing-pusing memikirkan gaji tambahan. Tapi ya, nasib. Setelah lima tahun lepas dari kuliah, sudah berpuluh-puluh kali aku masukkan lamaran pekerjaan, tak ada satu pun surat panggilan kerja di antar ke rumahku. Akhirnya ya begini, aku cuma di rumah saja, sesekali keluar untuk bertemu teman-teman lama yang sudah sukses-sukses. Setiap berkumpul mereka selalu bercerita tentang sibuk di sini, sibuk di sana, susahnya bekerja di sini, susahnya bekerja di sana, gajinya kurang, gajinya pas-pasan, gajinya cuma cukup untuk angsuran kredit mobil, begini dan begitu. Kalau mereka sudah bercerita tentang hal-hal itu aku cuma bisa nyeletuk, “Hah?” atau “Oh!” atau “Wah!” dan “Oya?”. Sejujurnya, aku belum paham benar dengan dunia mereka tapi aku hanya tidak mau terlalu tampak bodoh saja.

Jadi sudah tiga hari ibu tidak mengajar ke sekolah karena tipes. Pada hari ke tiga, ibu tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya. Dengan baju hangat dan telapak kaki yang dibungkus kaos kaki, ibu melangkah terseok-seok keluar kamar. Ketika itu kami sekeluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Ada aku, bapak, Rifal adik laki-lakiku nomor dua, ada Inge adik perempuanku yang ketiga, juga ada mbak Nuk adik perempuanku yang terakhir. Kami tengah serius menonton debat politik di salah satu stasiun tv. Ketika bapakku lagi geleng-geleng kepala sambil tertawa terbahak-bahak, ibu datang dan duduk di sampingnya.

“Nonton apa sih kalian? Nonton lawakan?” tanya ibu tanpa melihat layar televisi.

“Ini Buk, debat politik. Kok, dibilang lawakan?” kata bapak.              

“Habis dari tadi di kamar ibu dengar kalian ketawa terus. Apanya sih yang lucu?”

“Ibuk gimana badannya udah enakan?” tanya Rifal sembari mengutak-atik handphonenya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun