Mohon tunggu...
Jeba
Jeba Mohon Tunggu... -

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi 'Boneka' Ibunya

6 Juni 2014   18:03 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:01 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14020273872066967577

Banyak pihak sinis dan mengatakan Jokowi Capres Boneka. Dan saya salah satunya. Sambutan Megawati juga yang mengatakan Jokowi kudu mengingat bahwa dia menjalankan tugas-tugas partai memberikan ketegasan tentang hal itu. Itu sebab saat Pileg saya pilih Gerindra. Meskipun alasan pilih Gerindra bukan hanya karena itu saja tapi karena Gerindra boleh menunjukkan konsistensi dalam hal menolak ikut studi banding yang dilakukan DPR.

Berjalannya waktu, saya melihat hal tersebut (bahwa Jokowi boneka Megawati)  hanya kesan saja. Dan ini menjadi andalan kubu lawan dalam kampanye.

Sewaktu di Solo PDIP tidak dapat keistimewaan untuk penyelenggaraan Kongres , PDIP hanya mendapatkan kemudahan dalam perijinan tempat. Program-program Jokowi langsung ke kepentingan masyarakat tidak lagi dibayang-bayangki kepentingan partai.  Tidak heran, Jokowi bisa terpilih kedua kali karena ketokohannya bukan karena PDIP-nya. Hal itu terulang ke PILKADA DKI. Dalam jabatan gubernur saya tidak melihat ada kepentingan partai  yang menyandera beliau. Jokowi dan Ahok sangat independen dilihat dari  kebijakan program-programnya.

Pertimbangan kedua, bahwa Jokowi tidak otomatis harus digelari Capres boneka adalah karena untuk mencalonkan diri tidak bisa dilakukan secara independen. Menjadi Capres  harus diajukan  partai.  Undang-undang mengatakan demikian. PDIP mungkin tidak ingin Jokowi dicalonkan tapi ketika beberapa partai sudah melirik Jokowi dan tidak segan-segan menyampaikan keinginan mereka mencalonkan Jokowi  maka PDIP terdesak dengan melihat beberapa lapisan masyarakat menginginkan hal tersebut, segera mencalonkan Jokowi sebelum didahului partai lain. Itu sebabnya Jokowi menjadi kandidat paling akhir yang mendeklarasikan diri untuk maju sebagai Capres. Bagaimana tidak, ‘ada keinginan pasar yang sangat berpotensi di masyarakat’ partai mana yang tidak akan tergiur menggarap gairah pasar ini. Gairah pasar inilah yang dapat dijadikan dasar legal untuk 'meratifikasi' janji lima tahun di Jakarta supaya diteruskan dalam posisi sebagai Presiden.

Pertimbangan ketiga,  bagaimana kalau Megawati yang mencalonkan diri. Jangankan masyarakat, internal partai juga mungkin ogah meskipun segan mengemukakannya. Jadi dengan dipilihnya Jokowi oleh PDIP rasanya merupakan keputusan paling bijak dan kesadaran diri tinggi seorang Megawati. Saya yakin internal PDIP ‘tidak bulat sepenuhnya’ akan keputusan ini mengingat Jokowi tidak memiliki jabatan strategis dan dominan di PDIP.  Tapi ketika telah berada di Arena, mau tidak mau PDIP harus menerima calon yang dipilih dengan pertimbangan itulah yang dikehendaki  sebagian besar masyarakat. Pertimbangan ketiga ini menjadi penting buat saya pribadi karena Megawati mau memberikan kesempatan pada generasi muda tampil dalam pemerintahan yang baru.

Keempat, Jika Jokowi terpilih sebagai Presiden maka sulit bagi Megawati (jika memiliki kepentingan pribadi atau partai) untuk menyetir Jokowi. Ada JK yang senior, ada partai lain, ada DPR, ada Media, LSM dan masyarakat luas yang mengontrol lebih terbuka saat ini. Jadi posisi Megawati adalah tokoh yang dituakan, tempat Jokowi sungkem dan mendapatkan dukungan ketika 'ngaso' dalam menjalankan kesibukan tugas-tugasnya. Sama seperti ketika Jokowi sungkem dan cium tangan Ibundanya sendiri. Media membesarkan berita Jokowi sungkem dan cium tangan Megawati tapi kenapa tidak membesarkan  berita Jokowi yang rajin sungkem dan cium tangan ibunya di Solo. Jadi, sekedar cium tangan tidak terlalu kuat untuk dijadikan dasar bahwa Jokowi akan menjadi  presiden boneka.

Kelima, Justru dalam proses mencari dukungan posisi Jokowi menjadi lebih leluasa untuk memerintah dibanding Prabowo. Kubu Jokowi tidak mencari dukungan partai lain berdasarkan pembagian ‘jatah kekuasaan’. Ini yang paling penting. Saya melihat dikubu Jokowi mereka memilih Presiden untuk mengatur negara bukan untuk diatur oleh kepentingan mereka. Sedangkan kubu Prabowo saat ini masing-masing partai pendukung justru lebih militan dibanding partai pendukung kubu Jokowi, apa sebab karena masing-masing harus menunjukkan jasa paling besar untuk mendapatkan jatah paling besar. Koalisi yang dibentuk berdasarkan kepentingan transaksional, itu menjadi pembeda secara prinsipil. Mohon maaf untuk pendukung Prabowo, dalam pertimbangan saya pribadi justru koalisi ini melemahkan Prabowo sendiri karena jika jadi Presiden maka beliau menjadi Presiden yang diatur oleh kepentingan. Kalau sudah begini yang capres boneka siapa? Pengalaman masih anyar, bagaimana SBY dibuat kelimpungan oleh kepentinga koalisi yang bersepakat apa dalam praktek beda. (keputusan  kenaikan BBM misalnya – PKS yang adalah partai koalisi justru menjadi pahlawan dengan meneriakkan hal yang bertentangan dengan yang disepakati)

Itulah sebabnya saya cenderung memantapkan pilihan pada  Presiden yang mengatur dibanding Presiden yang diatur.

Salam persatuan.

[caption id="attachment_327674" align="aligncenter" width="300" caption="sumber ft: sragenpos.com"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun