Mohon tunggu...
Jeanne Noveline Tedja
Jeanne Noveline Tedja Mohon Tunggu... Konsultan - Founder & CEO Rumah Pemberdayaan

Jeanne Noveline Tedja atau akrab dipanggil Nane adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan isu kesejahteraan anak dan perempuan, kesetaraan gender, keadilan sosial, toleransi dan keberagaman. Kunjungi website: https://jeannenovelinetedja.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemenuhan Hak Anak sebagai Intervensi Preventif

1 Desember 2016   11:38 Diperbarui: 1 Desember 2016   11:49 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anak merupakan generasi penerus sekaligus menentukan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Dikemudian hari berbagai inovasi di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi akan terus berkembang secara dinamis dan sangat bergantung dari kualitas anak-anak masa kini. Keberlangsungan suatu bangsa ditentukan oleh kondisi anak-anak pada saat ini.   Di pundak mereka kita percayakan masa depan bangsa. Itulah sebabnya negara dan kita semua harus melindungi anak-anak; dan tidak merusak mereka.  Merusak anak saat ini sama dengan menghancurkan bangsa di masa depan. Oleh sebab itu, Pemerintah dan negara sudah selayaknya menempatkan kesejahteraan anak sebagai agenda utama pembangunan sosial.

Penempatan pembangunan kesejahteraan anak sebagai agenda utama masih terlihat belum sepenuhnya diterapkan, karena literatur mengenai kesejahteraan anak kebanyakan membahas mengenai kesejahteraan anak sebagai sistem pelayanan dan perlindungan anak atau pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah anak dimana masalah yang sering muncul adalah mengenai pelanggaran hak anak dan diskriminasi.  Padahal, Shireman (2003) berpendapat, kesejahteraan anak harus diupayakan untuk semua anak, bukan hanya bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus saja.

Jadi upaya kesejahteraan anak adalah juga upaya untuk mencegah masalah (intervensi preventif), selain upaya dalam mengatasi masalah (intervensi remedial).  Krisis dalam kesejahteraan anak seperti yang diungkapkan oleh Shireman ini disebabkan karena banyaknya masalah anak yang terjadi sehingga sistem kesejahteraan anak menfokuskan diri pada intervensi remedial saja, dengan mengesampingkan upaya pemenuhan kebutuhan semua anak sebagai upaya pencegahan terhadap masalah anak. 

Salah satu contoh kasus mengenai upaya kesejahteraan anak di Indonesia yang saat ini masih berfokus pada penyelesaian masalah bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus adalah ketika kasus phedofil di salah satu sekolah internasional merebak pertengahan tahun 2014 yang lalu. Saat itu Pemerintah hanya sibuk melindungi anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Bagaimana dengan anak-anak lain yang bukan korban namun juga bersekolah di sana? Sekolah mereka menjadi headline hampir disemua media - baik cetak, televisi maupun online. Pemerintah tidak memperhatikan dampak psikologis yang dialami anak-anak yang bukan korban. Mereka mempunyai hak untuk pergi ke sekolah, belajar dan pulang sekolah dengan rasa aman dan nyaman tanpa hingar bingar media di sekeliling mereka, dan label dari masyarakat mengenai citra sekolah mereka.

Selain itu kajian kesejahteraan anak mempunyai landasan filosofis bahwa anak adalah individu yang mempunyai hak yang melekat dan hak tersebut adalah hak supaya kebutuhannya dapat dipenuhi (Shireman, 2003).  Maka state atau Negara  perlu melakukan intervensi untuk melindugi hak anak dan mengupayakan segala kebutuhannya terpenuhi, terutama apabila orangtua tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebutuhan yang dimaksud dalam kebijakan kesejahteraan anak, memprioritaskan pada kebutuhan atas keamanan, perhatian, dan bimbingan yang dibutuhkan agar anak mendapatkan kesempatan untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif (Shireman, 2003).

Ada tanggung jawab Negara / pemerintah untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak anak tersebut. Saat ini dari 250 juta penduduk Indonesia (UNICEF, 2014), 35% (84 juta) diantaranya adalah penduduk usia anak (0-18 tahun). Dari angka tersebut 2,3 juta anak berusia 7-15 tahun tidak bersekolah, 33% anak tidak mendapatkan imunisasi lengkap, 35% anak tidak mendapatkan akses terhadap air bersih, dan angka kematian anak masih tinggi sampai saat ini.  Hal ini menandakan bahwa kondisi anak di Indonesia masih jauh dari sejahtera karena banyak hak-haknya yang belum / tidak terpenuhi.

Padahal pemenuhan hak anak adalah intervensi penting sebagai upaya pencegahan masalah terhadap anak (intervensi prefentif).  Terlebih lagi fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak belum menjadi pertimbangan utama dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan daerah. Pembangunan bidang infrastruktur belum menyentuh pada pemenuhan kebutuhan anak. Penyediaan infrastruktur perkotaan misalnya, masih mengabaikan kepentingan terbaik anak, seperti tidak adanya taman kota, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai untuk semua anak, warnet sehat, fasilitas kesenian dan olahraga dan sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun