CERPEN FIKSI – Clarissa JA XI IIS/5
Hari ini hari Minggu, tanggal 5 Maret 1970. Perapian telah menyala seperti biasanya, asap tipis mengepul bergerak keluar melalui celah cerobong. Rumah bergaya victoria itu telah berdiri sejak jaman penjajahan. Bangunan yang menjadi saksi bisu perbuatan Belanda kepada Indonesia. Pemilik rumah itu telah berganti-ganti selama beberapa dekade terakhir. Beragam manusia dengan ceritanya masing-masing.
Arabella Margreet van Doortje, adalah pemilik terakhir dari rumah megah itu. Perawatan demi perawatan dilakukan oleh Arabella sejak kepindahannya beberapa tahun lalu. Tujuannya agar sejarah rumah itu dapat terlestarikan. Rumah itu berlokasi di Yogyakarta.
Arabella menyesap kopi hangat sambil duduk memandangi perapian. Pikirannya menerawang jauh ke masa yang lampau. Peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu. Peristiwa yang merenggut nyawa orang yang dikasihinya.
Arabella beranjak, membuka salah satu kabinet dari lemari di samping perapian. Ia dapat melihat di balik tumpukan kertas, sebuah arloji tua tergeletak ditutupi debu. Arabella mengeluarkan beberapa carik kertas dan sebuah bolpoin.
Arabella kembali duduk di depan perapian yang sedang meletup-letup. Jemari tangannya menyentuh bingkai di pinggiran kertas, yang dilapisi lilin dan bentuknya meliuk. Arabella tersenyum, menorehkan tinta hitam diatas kertas. Menuliskan kronologi kisah pahit yang dialaminya di masa lalu;
Dua puluh satu tahun yang lalu, tepatnya pada 5 Maret 1949, seseorang mengetuk pintu rumahku. Jantungku berdebar, mengharapkan kedatangan seseorang yang telah membuat janji temu beberapa hari sebelumnya. Aku bergegas turun, menyusuri tangga besar menuju lantai satu. Detak demi detak bergemuruh di dadaku. Aku membenarkan rambutku, bersiap membuka pintu.
Saat aku menarik gagang berlapis tembaga itu, senyumku mengembang. Aku berkedip, siapa pria ini? Saat pria itu melihatku, ia memberi hormat. Seragam tentara Belanda yang dikenakannya sedikit lusuh, namun sesuatu di tangannya lebih menarik perhatianku. Setelah aku membalas hormatnya dengan membungkuk, ia mulai berbicara.
“Selamat pagi Nona Arabella, ayah anda meminta saya menyampaikan sebuah pesan segera saat ia sampai di markas. Empat hari yang lalu, perang gerilya terjadi di Yogyakarta. Kaum pribumi itu berhasil merebut kembali Yogyakarta, namun jumlah pejuang yang tewas pun tidak sedikit. Dari yang tersisa, seorang tentara yang selamat menemukan sesuatu di medan perang.” katanya. Di tangannya, ada suatu benda yang dibalut oleh kain putih. Pria itu menyerahkan benda dalam genggamannya itu. “Saya turut berdukacita.” ujar pria itu.
Aku bingung. Dengan segera aku membuka simpul yang menahan kain itu lalu melihat benda di dalamnya. Bagaikan dihunjam berulang kali, dadaku sakit sekali. Debaran jantungku bergemuruh lebih hebat dari sebelumnya, seakan meronta-ronta. Aku tidak percaya benda yang ada di tanganku. Aku memandang pria di hadapanku, ia memberi hormat, lalu pamit undur diri. Aku tidak membalasnya.
Aku berlari masuk ke dalam rumah, menuju kamarku, masih memegang benda itu. Aku menutup pintu, jatuh terduduk tepat setelah aku menguncinya. Benda itu ikut jatuh, menggelinding diatas karpet beledu. Aku memandangi benda itu, ingin membencinya. Tertulis di lekuknya, ‘Rolex’ dengan huruf kapital. Benda yang tergeletak itu adalah arloji milik seorang tentara.
Semakin aku memadanginya, semakin sesak dadaku. Rasa sedih, kecewa, dan marah bercampur aduk sekaligus. Aku tahu artinya, namun aku memilih mengabaikannya. Aku tidak mau mempercayai kabar yang disampaikan pria suruhan ayahku itu. Malam itu, aku tidak bisa tidur. Air mata terus berderai membasahi pipiku. Hari itu, satu-satunya harapan aku dapat hidup bebas dari kekangan musnah dibawa malam.
Beberapa hari setelahnya muncul kabar bahwa Belanda telah terpukul mundur dan Nusantaraa berhasil membuktikan kekuatan tentara pribumi kepada beberapa negara dalam sebuah konferensi PBB. Hari-hariku berjalan seperti biasa. Ayahku kembali ke rumah setelah dinas ke luar pulau. Bedanya, kini aku tidak lagi bersemangat menceritakan tentara itu kepada ayahku. Ayahku masih sama, membentuk strategi pencarian seseorang, pembunuh ibuku.
Aku wanita keturunan Belanda. Ayahku yang merupakan seorang letnan kolonel yang ditugaskan untuk mengatur beberapa kepentingan di Bantul. Kala itu, Yogyakarta adalah ibukota Nusantara. Ayahku mengetahui hubunganku dengan seorang tentara pribumi dari Bantul dan mengaggap hal itu sangat buruk. Sejak kematian ibuku di tangan tentara pribumi, ayahku menjadi terobsesi dengan keselamatanku. .
Aku bertemu dengannya pada Agustus empat tahun sebelumnya. Tentara itu menolongku dari kerusuhan para tentara pribumi saat kabar kemerdekaan merebak di Bantul. Ia tidak pernah memberitahuku namanya. Tentara, aku memanggilnya. Jarak rumah kami cukup dekat, dan aku seringkali menyelinap untuk bertemu dengannya. Tidak peduli dengan segala penjagaan dan larangan yang diberikan ayahku. Aku ingin bertemu dengannya, berbagi cerita, canda-tawa, maupun haru. Aku ingin terbebas.
Awalnya, niatku hanya ingin berteman dengan seorang tentara pribumi. Sama sekali tidak memihak kedua kubu yang sedang berseteru ini. Dia adalah orang pribumi pertama yang memperlakukanku dengan sangat ramah sejak aku sampai di Nusantara. Seiring waktu berjalan, perasaanku pun berkembang. Tentara itu bukan lagi sekedar penyelamat bagiku, bukan lagi sekedar pendengar saat aku muak dengan kekangan ayahku, bukan lagi sekedar teman berbicara saat aku ingin melepas penat akibat suasana genting di Bantul.
Tentara itu telah mengisi hari-hariku selama berbulan-bulan aku hidup di Bantul. Satu per satu kisah hidupku ia dengarkan. Sesekali, ia menceritakan bagaimana kehidupannya sebagai seorang tentara miskin yang setia. Di bawah temaram kami menyelinap untuk membeli kacang rebus di tepi jalanan. Dan aku berani bersumpah bahwa pengalaman-pengalamanku adalah yang terbaik ketika bersamanya.
Tetapi kita berdua berbeda. Aku menyadarinya. Seperti mimpi yang datang kepada setiap mata yang terpejam, bayangan latar belakang kami yang bertolak belakang itu menghantuiku setiap malam. Menunggu di alam bawah sadar untuk bertemu.
Seminggu yang lalu, kami bertemu di sebuah kedai kopi mungil di ujung jalan. Kami bercakap seperti biasa, membahas kehidupanku di Belanda. Aku membawa sebuah kotak hitam kecil yang dibalut pita emas, aku menyimpannya di saku gaunku. Kami berdua memesan kopi hitam, dia tidak ingin memesan, namun aku memaksa. Aku mengetahui kondisi keuangannya, dan aku tidak masalah untuk membayar. Tentara itu selalu berkata ia akan membayar semuanya, dan aku akan selalu tersenyum. Aku tidak pernah mengharapkan balasan, kehadirannya pun cukup bagiku.
Kejadian selanjutnya masih kuingat. Aku menyerahkan kotak yang ada dalam saku gaunku. Dia terkejut. Bertanya benda apa di dalamnya. Aku memintanya melihat sendiri. Tentara itu mengintip isi kotak itu, lalu menutupnya. Dia mengembalikannya kepadaku dan berkata bahwa ia tidak dapat menerima benda itu. Aku merengut.
Benda itu adalah sebuah arloji. Produksinya sudah lama, terlihat dari modelnya yang sederhana. Arloji itu milik kakekku. Aku memberikannya kepada tentara itu, karena aku tahu ia sering terlambat dalam bertugas. Lupa waktu, alasannya. Dan seringkali dikecam akan dikeluarkan karena alasan itu. Tentara itu akhirnya tersenyum dan memakainya.
Aku ingat tentara itu berkata bahwa ia akan mengunjungiku beberapa hari kemudian. Bahwa ia akan bertemu ayahku dan meminta restu. Aku tidak dapat menahan senyumanku, aku sangat mencintainya. Kami berbincang ringan lalu ia mengantarku pulang, memastikan aku selamat. Seperti biasanya.
Hubungan kami tidak pernah direstui, dan kami berjuang sekuat tenaga untuk meyakinkan ayahku bahwa kami akan menikah setelah tugas terakhirnya selesai. Ayahku tahu betapa kami saling mencintai satu sama lain, dan bahwa latar belakang kami menjadi jurang tak kasat mata yang selalu menjadi penghalang diantara kami. Tetapi menyerah bukanlah pilihan.
Seminggu semenjak kematian tentara itu, aku masih berantakan. Tidak makan, aku mengunci diri di dalam kamar. Tidak tertidur. Pikiranku terus berkelana. Mengingat-ingat saat aku menyelinap untuk terakhir kalinya. Waktu berjalan begitu cepat. Tepat setahun setelah kepergian tentara itu aku dilamar oleh seorang kolonel. Kami menikah dan memiliki dua buah hati. Lima tahun setelahnya, suami dan ayahku meninggal dalam peperangan. Aku sendirian.
Suatu hari sebuah surat datang ke rumahku. Di dalamnya terlampir sebuah fotokopi dari surat tanah dan bukti kepemilikan sebuah rumah di Yogyakarta. Dan anehnya, namaku yang tertera walau seingatku aku tidak pernah berinvestasi. Aku ragu namun surat ini terlihat resmi, aku memutuskan untuk melihatnya. Sebuah rumah bergaya victoria yang sangat megah. Setelah dikonfirmasi bahwa benar rumah itu milikku, kami pindah ke Yogyakarta. Waktu itu, orang-orang Belanda hidupnya tidak aman karena pendudukan Jepang. Aku harus berkali-kali melakukan transaksi agar kami tetap aman.
Saat aku mengurus surat-surat administrasi beberapa tahun yang lalu, aku bertemu dengan seorang pengacara. Pengacara itu langsung mengenaliku. Namun aku bertanya-tanya, siapa beliau. Ia mengatakan bahwa dirinya adalah mantan tentara di Bantul. Ia berhenti dan beralih profesi menjadi seorang pengacara di Yogyakarta. Aku tertegun, sudah lama sekali aku tidak mengetahui keadaan di Bantul.
Pengacara itu bertanya apakah aku telah pindah. Aku semakin bertanya-tanya dari mana pengacara itu tahu informasi tentangku. Seperti menyadari raut wajahku yang kebingungan, ia menjelaskan. Pengacara itu adalah teman sekamar sang ‘Tentara’.
Aku terdiam, berusaha mengingat-ingat. Tentara itu. Peristiwa itu. Aku tidak tahu kejelasan pastinya. Pengacara itu berkata kepadaku bahwa ia sedang terburu-buru dan bergegas meninggalkanku. Sebelum ia pergi, ia memberitahu bahwa ia akan mengirimkan surat ke rumahku yang baru. Bagaimana bisa? Memangnya ia tahu rumahku?
Benar saja, dua hari setelah kejadian itu seseorang datang untuk mengantarkan surat pada malam hari. Saat aku membukanya, ada tiga kertas di dalamnya. Satu surat tanah asli dari rumah ini, satu lagi bukti kepemilikan asli dari rumah ini. Keduanya tertera namaku. Surat terakhir membuatku tercengang. Aku tidak dapat mempercayainya. Surat itu dari sang ‘Tentara’.
Dalam surat itu, dia meminta maaf karena tidak dapat langsung membayar segala hutangnya terhadapku. Dia mengungkapkan perasaannya, mengatakan bahwa dia mencintaiku. Air mataku berderai membaca tulisan tangannya diatas kertas yang sudah usang. Surat ini orisinil.
Tentara itu berterimakasih, atas segala cerita yang pernah didengarnya. Tentara itu mengatakan bahwa ia sangat bahagia telah menolong dan mengenalku. Tetapi takdir berkata lain, tulisnya. Pada akhirnya, alur kisah kita tidak dapat bersatu. Jangan meminta maaf, jangan merasa bersalah. Di penghujung waktu, kau tetap memilikiku dalam hatimu, tulisnya.
Rumah ini adalah bayaran dariku, atas segalanya. Semoga cukup bagi keluargamu kelak, tulis tentara itu. Aku mengingat jelas seluruh isi surat, aku menyimpannya dalam hatiku. Tentara itu benar. Meskipun aku termakan waktu, dan kenangan kami pudar dalam ingatan, rasa itu tetap disana. Meringkuk dalam sebuah ruang tertutup.
Surat itu tidak berhenti disana. Aku masih terus membaca. Tentara itu mengetahui tugas terakhirnya akan merenggut nyawanya. Dan bahwa ia tidak dapat menepati janjinya untuk mempersuntingku. Akhir kata, tentara itu akhirnya mengungkapkan namanya. Ketika aku mengejanya, air mataku kembali bercucuran. Abimana Djojokusumo. Selama ini, nama itulah yang disebut ayahku. Nama kolonel yang harus ia bantai karena telah membunuh ibuku. Aku terduduk lemas. Berusaha menahan suara tangisan agar orang-orang di rumah tidak mendengarku. Aku menangis semalaman dalam diam.
Setelah semuanya yang aku alami, kejadian-kejadian serupa mulai membuatku tidak peka lagi. Kejadian sebelum kemerdekaan Nusantara. Peristiwa penting para rakyat pribumi. Aku tidak menyesalinya. Menjadi bagian dari sebuah sejarah, dengan kisahku sendiri. Tumpah darah terjadi di depan mataku, ketidak-adilan diteruskan dari waktu ke waktu. Hal ini tidaklah benar. Alangkah indahnya apabila hanya perdamaian yang dikenal oleh manusia, hanya keadilan yang dimiliki hati manusia, dan kasih diantara sesama.
Kemerdekaan Nusantara, mengajarkanku bahwa adakalanya manusia harus merasa lega, merasa puas dengan dirinya sendiri, dengan segala yang dimiliki. Bebas dari kekangan dan masalah yang menyesakkan. Seperti impianku dahulu. Walau beberapa kebahagiaanku harus dirampas semesta. Aku tersadar bahwa manusia akan selalu menuntut, tetapi hanya satu permintaan saja yang dapat terkabulkan.
Arabella terdiam. Berhasil menyelesaikan kisah itu tanpa meneteskan air mata. Ia tersenyum. Selama hidupnya, ia telah menyaksikan banyak peristiwa. Pemberitaan Atlantic Charter pada tahun 1941, saat ia harus kehilangan ibunya karena kepindahannya ke Nusantara.
Penyerangan terhadap orang keturunan Belanda saat itu sedang gencar berlangsung di Bantul. Kemerdekaan Nusantara, pada 17 Agustus 1945, saat Arabella bertemu Abimana, tentara yang menolongnya. Serta Piagam Perdamaian pada pada 26 Oktober 1945, saat ia memutuskan untuk mulai membuka diri dan mengenal Abimana.
Ternyata dengan merelakan lebih terasa melegakan dan terbebas dari beban yang selama ini ia tanggung dalam hatinya. Ia merelakan fakta bahwa ia pernah menaruh hatinya kepada musuh keluarganya. Ia merelakan suaminya, dan ayahnya yang terbunuh saat berperang. Kenyataan bahwa ia harus bertahan hidup sendirian bersama kedua buah hatinya, yang kini telah beranjak dewasa membuatnya tersenyum.
Arabella menyesap kopi itu lalu menatap perapian. Ia beranjak dari duduknya, mengambil kertas-kertas tadi. Ia menghampiri perapian, api yang membakar beberapa kayu semakin lama semakin mengecil. Arabella kembali membaca sekilas tulisannya.