Membicarakan dunia kerja dan karir di era disrupsi saat ini menjadi sebuah trending topic dan penuh lika-liku. Era disrupsi sebagai era munculnya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental yang mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Suatu era yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital dan telekomunikasi yang penuh dengan serba serbi dengan kebiasaan baru di tengah-tengah masa pandemi yang belum berakhir hingga kini.
Pertanyaan yang sering muncul apakah kebiasaan lama belum pudar atau masih juga merajai sebuah organisasi? Lantas teladan yang manakah yang masih relevan atau kemudian telah usang? Mungkin jawaban dari masing-masing kita akan berbeda menanggapinya sesuai dengan pengalaman yang dihadapi di dunia kerja nyata.
No Threat : “Saya bukanlah ancaman kepada (jabatan) atasan saya, dan Saya juga tidak akan mengancam kamu (bawahan saya) untuk mencapai tujuan bersama”
Meski era telah berganti ternyata fakta berbicara dalam organisasi atau perusahaan terkait isu pemberdayaan karyawan atau modal manusia masihlah menjadi isu serius yang wajib diberdayakan dan dikelola dengan baik. Memitigasi risiko manusia dengan menciptakan iklim atau budaya perusahaan yang sehat dan sesuai dengan perkembangan era terkini menjadi hal yang mutlak. Namun manusia dengan motivasi dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain menyebabkan respon terhadap perubahan era ini akan berbeda satu dengan yang lain.
Pernahkan anda pada dunia kerja nyata menghadapi situasi bahwa posisi dan karir anda menjadi sebuah ancaman terhadap atasan atau setidaknya dengan rekan kerja di level yang sama? Saat bersamaan pula untuk mencapai tujuan maka perlukah mengancam anggota tim?
Sebagaimana organisasi yang hidup dan diharapkan akan terus berkembang dengan baik akan memerlukan orang-orang yang tepat dan di posisi yang tepat pula. Suatu jargon “The right man on the right place” ternyata hingga kini adalah sebuah isu yang menjadi perdebatan. Masing-masing akan memiliki argumentasi dan menuntut keadilan yang sama menurut logikanya masing-masing pula apalagi terkait dengan promosi atau “naik pangkat”.
Dan bila berbicara posisi atau jabatan adalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri atau juga sebuah magnet tersendiri kala seseorang berkecimpung sebagai seorang pekerja pada umumnya. Masalah yang timbul adalah ternyata semua orang tidak siap berkompetisi dengan sehat dan jabatan yang menjadi tujuan akhir tanpa berupaya memutahirkan kompetensi diri dan juga membangun komunikasi yang baik. Pada praktiknya ternyata masih banyak seorang pemimpin merasa tersaingi dengan bawahannya dan menganggap serius bawahannya adalah ancaman untuk menggeser posisi atau jabatan yang didudukinya. Terlepas adanya sebuah mekanisme dari sebuah proses mutasi dan promosi pada sebuah perusahaan dengan standar tertentu.
Namun hingga kini fakta berbicara terkadang terjadinya konflik adalah sebuah pandangan yang keliru tentang sebuah persaingan yang sehat. Bahwa menganggap keberadaan orang lain yang memang memiliki kemampuan yang semakin meningkat buat perusahaan adalah menjadi ancaman dan satu sisi lain untuk mencapai tujuan atau memberdayakan tim seorang pemimpin juga lewat mengancam pula.
Sejatinya di masa yang terus berubah dimana tujuan akhir adalah tujuan bersama maka motivasi dengan hanya mengejar jabatan atau naik pangkat adalah sebuah hal yang keliru adanya. Bahkan ada banyak manager di sebuah organisasi tidak menganggap bahwa posisi atau jabatan itu adalah sebuah tanggung jawab dan risiko. Semakin naik level sewajibnya pula risiko berikut tanggung jawab yang semakin besar pula. Jabatan bukan hanya titel namun dipandang sebagai sebuah pertanggung jawaban moral kepada organisasi dan seluruh Tim. Siapkan diri terus untuk tantangan berikutnya dengan juga mempersiapkan mental dan kompetensi, komunikasi dan relasi dengan prinsip profesionalisme. Bukan sebuah retorika karena pada akhirnya juga akan dipertanggung jawabkan lahir dan batin.
Setali tiga uang, seorang pemimpin di level manapun seyogyanya pula bukan mengembangkan iklim budaya tirani atau otoriter. Ini bukan zaman kolonialisme dengan menggunakan alat “jabatan” untuk memperdaya dan mengintimidasi apalagi mengeksplorasi tanpa apresiasi terhadap seluruh anggota tim (bawahan) dengan sebuah kata “mengancam”.
“Bila kamu tidak dapat target penjualan bulan ini sebesar 10 Milyar, kamu akan saya pindahkan ke luar kota”, perintah salah seorang manager kepada bawahannya tanpa menjelaskan strategi yang tepat untuk meraihnya. Dan yang lain berkata, “Kamu jangan membantah, turuti aja apa perintah saya” sebuah perintah kepada seorang sekretaris perusahaan yang wajib ikut ke luar kota yang bukan urusan kantor atau bisnis. Dan banyak lain pengalaman yang isinya ancaman-ancaman kepada bawahan dengan menggunakan kekuasaan jabatan untuk memperbudak orang lain.