Banyak komen atau opini pasca pengumuman K-Rewards Maret oleh admin Kompasiana beberapa waktu yang lalu. Sebagai salah satu warga Kompasiana saya juga cukup terkesima dan dengan bahasa lain juga sedikit kecewa. Mengapa?
Ternyata eh ternyata serasa kemampuan diri menulis telah di titik puncak untuk mengerahkan segala daya memproduksi tulisan dengan cerita yang bombastis untuk menarik para pembaca dan juga tentunya mengejar titel lain yang bergengsi seperti artikel headline dan pilihan namun hasilnya belum menggembirakan baik secara keterbacaan maupun reward yang diterima.
Ternyata tujuan awal ini yang sebenarnya adalah jadi masalah!
Sebuah mindset yang terselewengkan dari tujuan mulia. Menulis adalah esensi, sebuah hal yang pokok, sebuah ideologi.
Layaknya sebuah ideologi maka menulis adalah sebuah hakikat dan didalamnya terkandung nilai-nilai kehidupan. Terjebak pada tujuan popularitas, maestro, pakar atau label lainnya membuat ideologi seorang penulis menjadi kabur dan kehilangan arah. Meskipun ganjaran akan sebuah karya tulis di beberapa negara maju adalah berada pada ruang yang maha tinggi dan sangat dihargai baik secara materi maupun non materil. Tidak perlu menampilkan siapa-siapa mereka yang dari karya tulisannya juga menghidupi bahkan menjadi jutawan dan milyarder.
Daripada melihat label jutawan atau milyarder (kerjaan bodoh menghitung rejeki orang lain) dan tentunya disanjung sebagai penulis hebat, saya terfokus kepada mereka dan mencari tahu mengapa bisa berlabel penulis yang hebat.
Apakah mereka adalah seorang yang secara ilmiah menciptakan formula khusus menjawab terhadap permasalahan-permasalahan hidup? Atau apakah mereka terlahir sebagai “seorang diri” dengan pemikiran “istimewa” dengan label “pencipta”? Istimewa karena sangat orisinil dengan pemikiran dan pengetahuan layaknya seorang professor dengan ide dan gagasan yang termutahir?
Pencipta hal atau benda yang benar-benar baru dan sama sekali belum ada manusia yang pernah membuatnya sebelumnya? Saya pastikan tidak! Tidak ada sama sekali, termasuk yang ngaku profesor siapapun di Kompasiana ini. "Macam betol aja!", aksen anak Medan menyebutkannya.
Banyak sekali tulisan atau buah karya menulis sekalipun dengan judul atau tema yang sama yang dilahirkan namun berbeda feedback atau tanggapan dari setiap pembaca. Beberapa kesempatan bila membaca setiap headline atau artikel utama yang terpampang di Kompasiana, yang bila saya atau anda menilainya akan berbeda pendapat atau “rasa” yang akan kita dapatkan. Bahkan pada banyak artikel yang saya baca isinya juga biasa-biasa saja, kuno, bahkan (maaf) basi.
Pikiran berkata saya juga bisa membuat topik yang serupa. Fakta berbicara artikel tersebut adalah headline. Terlepas dari penilaian berikut parameter yang dibuat admin sebagai garda terdepan dan menjadi wasit untuk menilai sebuah tulisan di Kompasiana, bagi saya mungkin anda juga, akan terheran-heran mengapa jerih lelah pikiran atas tulisan yang dibuat tidak diganjar sama.
Lagi-lagi tulisan adalah sebuah esensi, ada rasa dan punya roh.