"Mengenal diri sendiri dan Anda akan memenangkan semua pertempuran"Â
Demikian salah satu penggalan kalimat yang berasal dari seorang panglima perang ternama berasal dari Tiongkok bernama Sun Tzu. Seorang ahli militer, berpangkat Jenderal dan pemimpin dengan penuh keteladanan. Beliau sangat dihormati oleh pasukannya bahkan musuh-musuhnya sekalipun. Tak sedikit musuh yang was-was yang kemudian putar balik bila akan bertempur dengan sang Panglima ini. Hebat!
Kehebatannya diakui baik dalam mengatur strategi dan taktik di medan perang bahkan filosopinya relevan dengan praktek dunia bisnis hingga saat ini. Bukunya berjudul "The Art of War" menjadi sumber referensi untuk memenangkan kompetisi bisnis.Â
Saya tidak masuk membahas tentang strategi bisnis atau membuat formula strategi perang ala Sun Tzu namun rasa-rasanya perang saat ini justru begitu dekat dengan kita. Bukan perang di luar pribadi kita dengan orang lain tetapi perang batin antara hati dan pikiran yang jauh dari kata damai. Demikian kemungkinan tujuan dan pesan kalimat diatas.Â
Mari kita renungkan. Dalam banyak hal sering perang batin antara hati dengan pikiran kita berkecamuk saat memutuskan pilihan-pilihan hidup. Saat kita mulai bicara bohong ketika ditanya oleh orang tua apakah sudah tidur atau belum saja kita bimbang. Hanya supaya acara nonton TV kartun jangan terhenti kala itu dengan berat hati kita mulai bohong. Hati mau jujur, pikiran berkata lain.Â
Dalam konteks lebih gila lagi kita seakan dipertontonkan terhadap sebuah peperangan batin kala koruptor-koruptor mencoba membohonginya sendiri didepan meja hakim. Yang kita yakini, sesungguhnya sang koruptor itu sedang berperang antara mau jujur tapi ketakutannya dibela oleh ego ataupun pikirannya.
Menurut para ahli psikologi mengatakan bahwa sumber ketulusan hati pasti tetap ada dan murni dalam jiwa seseorang, namun ketamakan dan keegoan pikiran merusak hubungan ini. Raga tetap kelihatan sehat namun sebagai pribadi penuh dengan peperangan tiada akhir antara hati dengan pikiran. Tidak sedikit pula menyebabkan gangguan kejiwaan bila hal ini berlangsung dan berkecamuk tiada akhir.
Sebuah pencapaian di level tertinggi ketika antara hati dan pikiran sudah lelah berperang dan hendak berdamai. Mengenal satu sama lain antara hati dan ego duduk mesra satu meja dan kemudian berjabatan tangan adalah tanda kedewasaan diri.
Berdamainya antara hati dan pikiran adalah sebuah penghargaan totalitas diri, sifanya kekal dan bukan sementara. Kapan dan dimana hati dan pikiran ini berdamai maka dalam banyak pengalaman hidup seseorang berbeda satu sama lain. Pemaknaan akan tujuan hidup berikut kemurniannya adalah pengalaman religius yang tidak memiliki kepastian.
Ayo coba kita tanyakan pada diri benarkah kita mempercantik diri ke salon ternama agar terlihat cantik oleh pikiran kita dan di lain pihak hati mengatakan tunjukkan betapa buruknya engkau sebagai perebut suami orang? Atau saat pikiran mengatakan dengan mobil teranyar saya akan kelihatan gagah padahal jiwa mengatakan engkau korupsi dan merampas hak orang lain? Atau pikiran kita sering menghakimi hati karena masa lalu kita yang kelam?