Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Dibiarkan dan Dibenturkan

17 November 2010   13:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:32 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT

[caption id="" align="alignleft" width="620" caption="KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT"][/caption] “Masyarakat Indonesia Suka Kekerasan” tulis kompas.com (5/10). Tentu kutipan di atas bukan bicara soal buah pisang yang belum masak benar, bukan pula kue biji ketapang yang untuk memakannya dibutuhkan kegigihan khusus, tapi itu merujuk pada tindakan anarki yang dilakukan sekelompok massa terhadap kelompok pengikut aliran Ahmadiyah, di desa Ciampea Udik, Ciampea, Kabupaten Bogor (1/10). Massa menyerang area perkampungan yang dihuni limaratusan pemeluk ajaran ini. Dalam kurun setahun ini, rekam jejak kekerasan terhadap kalangan ini sudah tercatat dua kali. Selain yang terjadi di Bogor, pada akhir Juli di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, penyerangan kelompok ini juga terjadi. Sekelompok anggota jemaah Ahmadiyah yang sedang melakukan doa bersama (istighasah) di serang massa. Yang memprihatinkan, penyerangan pada pengikut aliran ini tercatat cukup tragis dan berujung perampasan barang-barang milik mereka, lalu diperlengkap dengan pembakaran rumah-rumah mereka. Awalnya memang salah paham, tapi ujungnya adalah pertengkaran antarkelompok yang mengatasnamakan agama. Massa yang terprovokasi seperti dapat sasaran empuk buat pelampiasan nafsu binatangnya yang selalu ingin merusak. Yang menyedihkan lagi, rumah ibadah pun tak luput dari sasaran. Tak segan-segan, masjid disegel dan pada kejadian 2009, di Ciputat, ‘rumah Allah’ milik jemaah Ahmadiyah dibakar, pun yang terjadi di Bogor. Melihat beberapa catatan tersebut, kekerasan ini sudah sepatutnya ditinjau lagi. Penyerangan yang disertai pengerusakan ini sudah tentu menyeruakkan wacana yang sebenarnya selalu saja terulang di negeri ini: pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sebuah pelanggaran terhadap kemanusiaan, yang sayangnya dibumbui dengan semboyan-semboyan agama penuh anggapan kesesatan pada kelompok yang dipandang menyimpang. Lalu, mengapa hal seperti itu cenderung berulang? Apakah benar perihal seperti yang terungkap dalam artikel  “Masyarakat Indonesia Suka Kekerasan” tersebut? Memang terlalu panjang benang masalah ini—yang harus diluruskan dari keruwetan untuk merangkainya kembali supaya mudah dimengerti dan diberikan solusi. Namun, bagi saya, permasalahan bukan muncul dari hal yang bersifat empiris yang bisa ditakar dengan tepat. Akar masalah yang berintikan perbedaan cara pandang adalah yang terjadi dan sudah tentu rumit. Perbedaan ini, perlu diskusi panjang untuk didamaikan. Artinya, paradigma pemahaman atas keyakinan adalah sebuah hal yang akhirnya menjadi kenyataan yang tak perlu diperdebatkan lagi. Sayang sekali, perbedaan ini sepertinya tak ditanggapi posistif-apresiatif oleh kalangan mayoritas. Siapakah mayoritas itu? Akan menimbulkan perdebatan dan mungkin menebarkan kebencian jika kita menunjuk langsung di hidung “siapa mayoritas” itu. Tapi, mari saya asosiasikan mereka pada setiap yang “menelan” fatwa keagamaan (Islam) dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka yang mendasarkan setiap keperluan keagamaan pada pendapat yang dikeluarkan MUI. Dalam konteks ini, fatwa yang saya maksud adalah soal penilaian bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Opini dari kelompok mayoritas ini memperkeruh masalah dengan labelisasi yang sebenarnya sangat debatable. Ini menimbulkan polemik keagamaan yang akhirnya berujung pada kegagalan membangun impian yang sering orang dengungkan atas negeri ini: mimpi akan adanya persatuan. Pemaknaan, atau lebih tepat disebut panafsiran, atas penyelenggaraan dan segala bentuk hal yang melekat pada sebuah kepercayaan atau agama tertentu memang dibutuhkan. Umat perlu sebuah rujukan sebagai bahan acuan beragama. Tapi rujukan tersebut sudah tentu harus dipahami sebagai sebuah acuan yang tak mengikat dan bukan paling benar. Cendekiawan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kebenaran di dunia ini adalah relatif. Semua orang punya potensi benar dan salah. Proses pencarian kebenaran memang akan berbeda-beda, tetapi tujuannya hanya satu yakni kebenaran mutlak: Allah Swt, Tuhan semesta alam. Sangat perlu untuk memahami hal mendasar ini. Karena, akan sulit membangun sebuah tatanan masyarakat yang damai bila kesadaran akan persamaan hak di hadapan Pencipta tak dipahami. Lebih lanjut, marilah kita melihat fenomena kekerasan ini dari hal yang lebih praktis. Massa yang ‘sok benar’ seringkali membawa UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai pijakan legal aksi-aksinya. Ahmadiyah dianggap sebagai sebuah serpihan masyarakat yang aneh dan menyimpang, serta sesat sehingga mengganggu kestabilan perkembangan pihak berarus mainstream. Ahmadiyah perlu ditumpas sehabis-habisnya, setidaknya pendapat mereka demikian. Negara memang seharusnya mengatur dan menjamin hak warga negaranya untuk berkeyakinan pada agamanya. Namun, perlukah mengatur tata keyakinan seseorang? Bukankah konstitusi Indonesia jelas menjamin kehidupan keberagamannya (plurality, kebhinekaan)? Bagi saya, ini sudah cukup modern jika sebuah negara bisa menjamin kemerdekaan individu untuk memeluk agama atau kepercayaan dan menjalankannya, dalam konteks Indonesia seperti tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1. Tentu pelaksanaan konstitusi tersebut perlu ditinjau kembali, apakah sejalan dengan semangat awalnya. Pada nyatanya, pegaturan kepercayaan lebih bersifat pemakasaan atas paham penafsiran tertentu. Apalagi menguatnya UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, pascapengukuhannya oleh Mahakamah Konstitusi awal tahun ini, menambah tebal lapisan benteng penafsiran tunggal yang dipandang paling benar dan yang lain salah lalu perlu dihabisi supaya tidak mengganggu. Pertanyaannya, siapa yang bisa menilai keyakinan sesorang keliru atau tidak? Apa ukuran pasti iman seseorang kuat atau tidak? Banyaknya beribadah? Banyaknya membaca Kitab Sucinya?  Kalau itu ukurannya, harus saya katakan, meminjam kalimat Emha Ainun Nadjib, pencuri dan yang dicuri pun bisa sama-sama beribadah, pun sama banyaknya membaca baris perbaris Kitab Suci. Ranah-ranah invidual dan sangat mendasar inilah yang menimbulkan bahaya bila harus dipaksakan. Kejadian semacam ini tak ubahnya seperti di Pakistan. Melalui kantor beritaCommon Ground (GCNews), seorang jurnalis lepas Pakistan Huma Yusuf mengungkapkan, kelompok Ahamadiyah di Lahore selalu mendapat intimidasi dari penguasa berbekal legitimasi konstitusi. Bukan main, kepercayaan pun dikendalikan oleh aturan legal paling mendasar (konstitusi) negara. Sudah bisa diduga, bukan hanya kerusakan fisik yang dialami, melayangnya puluhan nyawa pun tak ketinggalan. Berawal pada 1974, Zulfikar Ali Bhutto, presiden kala itu, mengamandemen konstitusi dan menyatakan Ahmadiyah adalah sesat. Kemudian tindakan ini dikukuhkan oleh diktator Zia ul Haq yang makin anti-minoritas. Yusuf menulis, Haq menambahkan UU Hukum Pidana Pakistan pada konstitusi yang menjelaskan bahwa siapapun yang menodai agama, yakni siapa pun yang dianggap kritis pada Nabi atau tidak menghormati Kitab Suci, akan dipidana hukuman mati. Bukankah negeri ini negara demokrasi yang menghargai keberagaman? Atau kita mau menyamakan diri dengan Pakistan? Belajar dari kasus di dalam negeri dan di Pakistan, maka adalah sedikit menyesakkan bila hal ini terus terjadi. Mereka, yang merasa paling benar, gagal melihat sisi manusianya. Artinya, dimensi pemikirannya memang dan pasti berbeda, tapi kemanusiaan adalah sesuatu yang universal. Dengan demikian, kegagalan ini berdampak pada hak-hak dasar manusia yang selalu tersingkir dari bahasan dan jadi bahan abaian yang selalu tertinggal. Distorsi dalam menangkap kesinambungan atas kehidupan dan kemanusiaan inilah yang kemudian menyebabkan munculnya perspektif keunggulan sepihak. Perpektif kemanusiaan ini, sebenarnya tidaklah sulit untuk dipahami. Mudah saja: kesamaan sebagai manusia adalah landasan mendasar atas setiap tindakan yang dimunculkan. Negara sebagai pengampu perlindungan tertinggi atas masyarakatnya sudah seharusnya menyadari hal ini. Yang membingungkan, mengapa negara membiarkan tindakan kekerasan itu terjadi? Bukankah negara mengerti kewajibannya untuk melindungi warganya? Ini menarik karena pada kenyataannya: negara dengan aparaturnya selalu terlambat untuk menangani pertikaian kelompok yang tak henti-henti bergulir. Isu-isu yang merebak selalu adalah indikasi perencanaan yang matang atas sebuah penyerangan. Sungguh aneh, kedatangan aparat keamanan selalu jadi pahlawan kesiangan yang makin lucu terdengar. Payung hukum lain yang selalu menjadi rujukan legal kekerasan ini adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Mendagri, Menag, dan Mendiknas) No 8 dan 9 Th 2006. Di situ dinyatakan bahwa ajaran-ajaran yang menyimpang dilarang disebarkan paham penafsirannya dan penganutnya tidak boleh sampai berkembang, termasuk di dalamnya adalah aliran Ahmadiyah. Siapa yang meminta percaya ini atau itu? Dan siapa pula boleh melarang percaya ini atau itu? Apakah mengubah kepercayaan yang sejak lahir dipegang, seperti mengganti seprai kasur kotor yang bertahun-tahun tak pernah dibersihkan? Sekali lagi, negara tutup mata atau memang sengaja untuk lakukan demikian supaya, meminjam pendapat AS Hikam dalam rakyatmerdeka.co.id, demokrasi yang seharusnya berjantung hukum, atau disebut rule of law, berbalik arah menjadi diperalat hukum, atau ruled by law. Agar kekuasaan langgeng?! Pembiaran (omission) yang dilakukan pemerintah patut menjadi perhatian selanjutnya. Sikapnya yang selalu reaktif dan cenderung cuci tangan, layak menjadi perhatian tersendiri. Di samping pemohon uji materi UU Penodaan Agama yang menemui kegagalan, SKB Tiga Menteri masih saja dikukuhkan. Logika sederhana akan muncul: benturan antarsipil ini menjadi senjata baru pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Masyarakat seakan diperlemah posisinya, dibatasi haknya dan negara bersembunyi, cuci tangan dibalik regulasi-regulasi bertafsir sempit tersebut. Aspek kemanusiaan yang luput selalu menyisakan kepedihan yang mendalam. Kesamaan derajat di mata Tuhan yang selama ini didengung-dengungkan pemuka agama, sejadi-jadinya, hanyalah isapan jempol belaka. Fatwa MUI soal kesesatan Ahmadiyah dibiarkan oleh pemerintah dan menjadi dalang tindak kekerasan. Dapat dikatakan, MUI juga bertanggung jawab atas pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi selama ini. Sipil dibenturkan untuk pengukuhan kekuasaan: bukan main. Bukankah demi kekuasaan, apapun bisa dilakukan di negeri ini?(*) Jazz Muhammad Tukang Sapu Indonesia, tinggal di Mampang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun