[caption id="attachment_165532" align="alignright" width="320" caption="Pak Polisi (tribunnews.com)"][/caption] Sedari kecil, di sekolah, aku seringkali diberitahu kalau menjadi Polisi itu tugas mulia. Menangkap pencuri, menertibkan lalulintas, dan yang paling aku suka adalah menyeberangkan orang tua dan anak-anak. Mulia bukan? Mulia sekali! Beberapa kawanku ada yang ketika ditanya: Apa cita-citamu? Jawabnya: Polisi. Dengan tegas ia jawabnya dan ketika ada karnaval peringatan HUT RI, ibunya rela pergi penyewaan kostum anak-anak dan membayar harga tinggi hanya untuk mendandani anaknya menjadi Polisi. Ketika masuk SMA, beberapa kawanku telah bersiap-siap masuk Akademi Kepolisian. Masuk akal-kah? Masuk akal sekali. Polisi itu tugas mulia, dan juga keren. Aku katakan itu keren! Hingga akhirnya lulus, aku lihat beberapa yang akhirnya benar-benar jadi Polisi. Selamat kawan! Kau mengemban tugas mulia! Tapi kau tahu, itu semua, bahwa Polisi adalah tugas mulia, bahwa mereka adalah penyelamat bangsa, penertib lalu-lintas, penyeberang orang tua dan anak-anak, tak berarti sama sekali bagiku. Aku dulu berpikiran demikian, tapi sekarang tidak sama sekali. Semua penggambaran mulia dan terhormat tentang polisi di negeriku sendiri roboh sudah dikepalaku sejak awal 2008 lalu. Benar-benar roboh dan kini, apa mereka masih terhormat? Aku menghormati, tapi terhormat dan dihormati adalah beda. Berawal dari motor Memang bodohnya aku ketika di Blitar, awal tahun baru 2008, persis tahun baru, aku tak curiga sama sekali ketika seseorang menelponku dan kemudian ia mengajakku bertemu. Ia mengaku wartawan sebuah radio. Saat itu aku baru turun jabatan dari ketua OSIS SMA. Ia ingin mewawancaraiku tentang sekolah. Aku kira itu makes sense, karena aku sedikit banyak tahu apa yang dilakukan sekolah, setidaknya tentang event-event yang dilaksanakan. Lagipula, siapa yang tak suka bila kelak namanya disebut disebuah media? Aku jujur saja. Presiden kita saja suka sekali dengan hal seperti demikian bukan? DPR-DPR itu juga? Aku jujur, THAT’S DISGUSTING, MAN! Aku sambangi dia. Dan rupanya, ia adalah pencuri dan punya daya hipnotis. Aku memakai sepeda motor milik bapakku waktu itu. Aku juga sempat meminjam hp milik teman. Rupanya, aku terhipnotis, hp dan motor lenyap. Kau tahu bagaimana rasanya? Hari itu macam hampir kiamat! Kenapa? Bagi orang ekonomi yang tak terlalu bagus, punya sepeda motor adalah sesuatu hal yang berharga sekali. Dengan benda macam itu, orang, khususnya di Indonesia, bisa bekerja dan pergi ke mana-mana. Ini teknis sekali dan mungkin kau dengar ini konyol. Apapunlah! Tapi sepeda motor tetaplah sesuatu berharga dalam keluarga macam itu. Keluargaku? Apalagi kalau tidak memang yang seperti itu. Aku menuju kantor Polisi terdekat bersama seorang teman yang bersedia membantuku. Kenapa aku ke kantor polisi? Anak SD kelas satu pun tahu kalau ada pencurian, maka Polisi dapat menolong. Ya aku tahu itu. Polisi itu juga pahlawan yang mulia, itu yang kupikirkan dulu. Mereka akan membantuku. Membantuku! Kuceritakan apa yang terjadi, tapi apa yang kudapatkan? Di sinilah mulai retak-retak kepercayaanku pada intitusi yang disanjung-sanjung sebagaimana kuceritakan sebelumnya. Aku sampaikan baik-baik apa yang terjadi baru saja, dan, “Maaf Dik, kantor ini tak mengurusi kasus di sana. Kamu pergi ke kantor yang di sana, nanti mereka yang mengurusi.” Hah?! Apa tak bisa aku lapor di sini dulu nanti kalian bisa sampaikan ke tempat yang kalian bilang lebih tepat itu? Kukira jaringan telpon telah tersambung di mana-mana. Layanan macam apa ini? Jelas-jelas itu kantor yang paling dekat! Apa kau kira orang yang baru kehilangan sesuatu itu seperti orang normal yang bisa berpikir normal. Kalau ia malaikat, mungkin saja. Tapi manusia punya batas di mana ia bisa berpikir jernih dan tidak. Baiklah, aku tak akan berdebat. Aku malas sudah melihat muka-muka orang yang tak dapat bersikap ramah terhadap orang lain. Aku akhirnya pergi ke kantor Polisi yang mereka bilang. WHATEVER! Aku berterima kasih sekali lagi pada kawanku yang mau mengantarku. Kulaporkan semuanya. Aku pulang. Bapakku marah besar. Aku tahu ia sudah mau mengataiku dengan segala sumpah serapah. Aku tahu tabiat bapakku. Tapi ia memilih pergi entah ke mana. Aku sudah tak peduli. Ibuku menangis. Sejak saat itu, bapakku terkena gejala stroke. Pertengahan 2008, aku dipanggil ke kantor polisi tempat aku melapor. Sepulang sekolah aku menuju ke sana. Sang polisi yang kutemui menunjukkan selembar koran nasional. Kau tahu? Rupanya pelaku pencurian motorku telah tertangkap di kota lain, Kediri. Aku senang bukan main. Aku akan dapatkan kembali motor bapakku. Ini akan membuatnya senang. Aku sampaikan ini pada ibuku. Aku tak bisa katakan bagaimana ia begitu senangnya waktu itu. Satu setengah juta Rupanya persepsiku tentang Polisi akhirnya agak merekat-rekat kembali retakannya. Meski di luar sana banyak cerita tentang polisi yang suka menilang motor hanya untuk cari uang, aku tak peduli sesaat. Mereka kali ini pahlawanku. Beberapa hari kemudian seorang polisi menelpon rumah. Aku yang mengangkat. Si penelpon meminta bicara dengan bapakku. Dalam pembiacaraan, bapakku menyatakan banyak terima kasih. Ia mengawali dengan banyak tawa, tapi kemudian tawa itu redam. Kini ia hanya tersenyum. Aku sudah merasa, ada yang tak beres di percakapan mereka. Akhirnya bapakku benar-benar tak ada tawa atau tak senyum sama sekali. Yang nampak adalah mukanya yang bingung. Setelah ia tutup telpon, ia diam sejenak. Lalu mulai membuka mulut, “Jaluke karotengah,” katanya pelan. Kau tahu apa itu maksudnya? Satu setengah alias satu juta lima ratus rupiah. Kau tahu itu untuk apa? Aku beritahu: THAT FREAKING MONEY IS FOR REDEEMING THAT’S FREAKING MOTOBIKE! WHAT A FREAK! Satu setengah juta itu bukan uang yang sedikit, Pak! Kalau anda memang bergaji berjuta-juta, itu hanya urusan kecil, tapi lihat orang-orang di bawah. Makan esok saja belum tentu! Aku merasa sedih kalau harus mengingat bagaiamana ibuku harus bersusah payah menenangkan bapakku yang super-tempramental. Melihat ibuku menangis adalah hal paling melukai hatiku. Aku kemudian mengetahui kalau uang itu kelak akan diberikan pada kepala polisi di kantor Polisi Kediri. Aku mungkin salah. Tapi itu yang kutemukan. Baiklah, aku revisi, itu untuk polisi apapun jabatannya. Entahlah. Yang jelas itu untuk mereka yang telah merasa berjasa menemukan motorku. Polisi itu berjasa? Absolutely yes! Tapi meminta jumlah imbalan?! Pak Polisi, jujur saja, ini semua akhirnya benar-benar meobohkan pangkat, harkat, serta kehormatan yang ada dipundakmu! Kekagumanmu pada kalian yang dulu ditanamkan oleh guru-guruku sewaktu SD, roboh sudah. ROBOH! Okelah, kalau mungkin itu prosedur, beri aku peraturannya Pak?! Aku kira hanya peraturan orang gila yang menuliskan bahwa seorang yang baru kehilangan harta berharganya sebuah imbalan pada penemunya dengan jumlah sekian dan sekian! Kalau kami dulu punya satu setengah juta, itu tak akan masalah. Kalau aku kaya raya, aku akan segela bayar dan motor itu lebih baik aku berikan pada polisi yang meminta imbalan untuk penebusan itu. Itu kalau kami kaya raya. Nyatanya, untuk satu juta setengah itu, kami harus mengutang-utang ke beberapa kerabat. Pak, meski kami miskin, kami tidak bodoh. Kami akan bayar dan kalau memang itu akan membuat anda senang, kami akan bayar! Tapi satu hal, Pak, kami masih menghormati Anda, tapi apa anda patut dihormati, atau katakanlah terhormat? Kalau Anda memang cerdas, aku tak perlu menjawabnya. Bapak dan diriku menuju ke Kediri untuk mengambil motor. Kami menumpang mobil Polisi dari Blitar. Terima kasih memberi tumpangan, Pak. Di perjalanan, uang satu setengah juta kami serahkan. Si polisi membungkusnya dengan amplop cokelat. Di Kediri, kami menunggu cukup lama. Aku masih ingat dua moment dimana aku masih dapat meihat tawa bapakku kembali muncul sejak kami kehilangan motor. Satu, kami melihat motor itu terparkir di parkiran. Aku lega sekali. Kedua, waktu itu pertama kali bapakku buang air kecil menggunakan closet yang ber-flush. Nampaknya ia benar-benar senang sekali melihat benda semacam itu. Aku juga lihat pencurinya. Tampilannya kini berbeda. Dulu ia macam wartawan yang professional dan bersih, kini ia nampak pesakitan dan sudah kehilangan kehormatan dari ujung ambut hingga ujung kaki. Tak ada berharga sama sekali, kecuali dia adalah manusia. Ternyata motor itu telah dimodifikasi oleh dipencuri. Ia sudah tak layak jalan. Tapi ia masih bisa digunakan. Kami pulang menggunakan motor itu. Berbekal sebuah surat dari kepolisian, kami tak akan ada masalah di jalan. Surat izin motor sudah dihilangkan oleh si pencuri. Kami pulang. Demi Tuhan, aku senang sekali. Meskipun ia, motor itu, sudah tak seperti dulu lagi karena banyak modifikasi tak masuk akal ala si pencuri, ini motor bapakku. Kami mampir di pom bensin sekali. Aku melihati motor itu. Ini cukup bisa membuatku tersenyum. Sekali lagi tentang terhormat Kini aku di Negeri Paman Sam. Di sini juga ada Polisi di sini. Pria wanita juga. Sama saja dengan Indonesia bukan? Tapi satu hal yang ada di sini yang paling berbeda dengan yang ada di Indonesia: Mereka terhormat! Mau kau menghormati mereka atau tidak, mereka terhormat. Maka kau tahu bukan bagaimana terhormat itu? Polisi di sini akan sangat sulit terkena suap karena nilai-nilai dalam profesi mereka dijaga baik-baik. Mari sedikit ku beritahu mengapa demikian. Di sini Polisi tak akan menerima suap karena si penyuap bisa jadi seseorang yang menjebaknya. Si penyuap dapat melapor pada atasannya dan siapapun yang melapor akan dilayani dengan hak yang sama. Dan kalau ini benar-benar terjadi, profesinya sebagai polisi akan benar-benar hancur. Dalam menjalankan prosedurnya, polisi tak akan pernah meminta uang, sebab semua diselesaikan di sidang. Terhadap kerabat dekatnya pun, mereka juga punya perlakukan yang sama dengan orang lain. Sebab, siapapun kelak dapat melapor pada instansi yang berwenang ketika terjadi diskriminasi. Apa polisi Amerika benar-benar sempurna? Apa Polisi Indonesia memang benar-benar buruk? Aku hanya jawab bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Pasti akan kelakukan buruk polisi di Amerika, juga tak sedikit hasil gemilang Polisi Indonesia. Baiklah, aku ini bicara dengan siapa? Siapapun! Tapi kalau Pak Polisi membacanya itu lebih baik. Sebab aku tak akan pernah melupakan satu setengah juta rupiah keluargaku yang aku berikan pada mereka. Aku orang pendendam, terserah apa katamu! Yang jelas aku tak akan pernah melupakannya. Jazz Muhammad 298 Niskanen, Fargo, ND, USA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H