[caption id="" align="alignleft" width="180" caption="ilustrasi (jihad-muslim.com)"][/caption] Sejarah pembangunan peradaban manusia bergulir dari bangsa satu ke bangsa lain. Entah mulai dari mana, tapi Mesir masa lampau telah membuktikan kemajuan peradabannya masa itu. Kemudian Yunani bangun untuk memimpin kelanjutan peradaban yang dipunggawai oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles. Hampir bersamaan, bangunlah peradaban Persia yang diawali pembangunan bangsa Babylonia. Di saat yang hampir bersamaan pula, India dan China mulai menyulam peradabannya masing-masing. Bangsa kecil di antara peradaban Yunani dan Persia muncul. Bangsa Arab secara perlahan muncul ke permukaan dengan tradisi ilmu pengetahuannya. Nabi Muhammad Saw meletakkan pondasi tatanan hidup bangsa ini dengan tangkas. Michael Hart, dalam bukunya 100 Orang Paling Berpengaruh Di Dunia, menyatakan bahwa Muhammad Saw berhasil membangun sebuah bangsa—secara khusus Suku Badwi—yang dulunya terpisah-pisah dan terkenal individualis, menjadi sebuah kesatuan bangsa yang di kemudian hari tampil sebagai pemegang kendali peradaban selanjutnya. Bangsa Arab bangkit dengan semangat ilmu pengetahuan yang tidak meninggalkan esensi religiusitasnya. Nabi Saw mendasarkan keterbukaan dalam Islam sebagai pijakan kuat. Pesan yang tak kunjung dilupakan adalah bahwa umat Islam dilarang untuk taqlid atau meniru semata-mata. Umat Islam diajak untuk kritis terhadap apapun. Tentu ada batas-batasnya, tetapi Islam mengajarkannya semata-mata untuk kepada umatnya untuk meniti sendiri pondasi keyakinannya. Dengan ini, Muhammad Saw telah, sejak hidupnya, mencoba untuk mendorong umat untuk bersikap inovatif. Inovasi ini hadir bukan dengan peniruan, tetapi melalui penelaahan kritis atas setiap hal yang hadir lebih dahulu. Kita mengenalnya dengan ijtihad. Ilmuan-ilmuan Islam (‘ulama) pun muncul di permukaan peradaban seperti Jabr Ibn Hayan, Al-Khawarizmi, Al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Batani dan lain-lain. Dalam sejarah, mereka terbukti berhasil melakukan inovasi dalam ilmu pengetahuan yang telah meletakkan bantalan peradaban modern saat ini. Mereka kritisi teori-teori sebelumnya dan membangun argumen-argumen baru yang lebih komprehensif. Misalnya, Jabr Ibn Hayan tampil dengan metodologi empiris dalam ilmu kimia dan optik. Sementara Al-Khawarizm merombak sistem angka romawi yang merepotkan dengan angka Arab yang jauh lebih aplikatif dalam proses perhitungan. Al-Batani menjadi ilmuan astronomi terkemuka karena telah menemukan bagaimana posisi gerhana yang tepat. Sebenarnya, banyak khazanah ilmu pengetahuan Islam yang bisa digali. Tetapi, meminjam pernyataan Mulayadi Kartanegara, umat Islam sendiri yang kemudian memendamnya. Hanya sebagian kecil yang menggalinya kembali, tetapi mayoritas melupakan. Ini dibuktikan dengan minimnya karya yang muncul dari diri umat Islam sendiri tentang kajian semacam itu. Pengkajian tentang dunia ilmu pengetahuan Islam pun malah muncul dari ilmuan barat macam Karen Armstrong dan Michael Hart. Saya kadang bingung dengan umat Islam yang kemudian terheran-heran melihat karya ilmuan barat ini. Ko’ bisa-bisanya nonmuslim bikin karya semacam itu? Kan itu tentang Islam, dan mereka ‘kan non muslim? Sebenarya alasannya mudah, karena tradisi keilmuan tidak memandang sesuatu atas dasar agama apa yang menyangkuti subjek ilmu pengetahuan tersebut, tetapi asas kemanfaatan dan keberkahannya. Ilmuan Islam terbukti bukan bekerja sendirian. Artinya, ilmu pengetahuan yang dibangun adalah bersdasar sumber-sumber dari peradaban sebelumnya. Meski bukan dari Islam, tetapi karena itu dipandang akan memberi manfaat bagi umat, maka ilmu itu diserap kemudian dikritisi untuk diperbarui informasinya dan dibenarkan kesalahannya. Semuanya bukanlah berdasar pada semangat dari Barat atau pun Timur. Pembangunan peradaban Islam oleh para ulama adalah berdasar sunnah Nabi Saw dan tawhid atas keesaan Allah semata. Nabi Saw telah mengajarkan kita untuk kritis, tidak taqlid, terhadap apapun termasuk keyakinan kita. Karena, dengan bersikap kritis sesorang akan tahu mana sisi positif dan negatif sesuatu. Yang positif dilanjutkan dan yang negatif ditelaah dan di perbaiki untuk manfaat (kontribusi) dan berkah (transformasi) buat umat. Tawhid memegang peranan penting dalam membangun tradisi keilmuan Islam. Al-Quran telah menyatakan bahwa keterbukaan, yang menadi awal sebuah ilmu pengetahuan, adalah bagian dari keimanan seseorang. Allah berfirman, “Maka berilah kabar gembira kepada mereka hamba-hamba-Ku. Yaitu mereka yang mendengarkan perkataan, kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan itulah orang-orang yang berakal budi (ulu al-albab)” (Q.S. al-Zumar/39:17-18) Selian itu, Allah pun telah menggariskan bahwa orang-orang yang berilmu adalah mereka yang memiliki derajat lebih tinggi atau, meminjam istilah Cak Nur, supremasi dan superioritas. Firman Allah telah menegaskan, “… Allah mengangkat mereka yang beriman di antara kamu dan mereka yang diberi karunia ilmu pengetahuan ke berbagai tingkatan derajat” (QS al-Mujadalah/58:11). Maka, sudah saatnya kita, umat Islam, untuk meyadari bahwa kritis memandang apapun adalah penting. Jangan canggung untuk mengagumi peradaban Barat tetapi juga kritis melihat kegagalan pembangunan etika religiusnya. Juga, jangan segan untuk mengakui bahwa umat Islam peradabannya pernah me-raja, kemudian roboh, tetapi tetaplah yakin bahwa kegigihan dan kebanggaan akan khazanah keislaman kita atas ilmu pengetahuan sangat mungkin untuk dibangun kembali, dan itu pasti. (*) Muhamad Rosyid Jazuli Ketua Bidang Riset dan Intelektualitas, DKM Paramadina 2009-2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI