Mohon tunggu...
Sukron  Makmun
Sukron Makmun Mohon Tunggu... Editor - Peneliti, penulis

I'm a go-lucky-man, just free me from all these rules from needing to find an explanation from everything, from doing only what others approve of...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Quran, Kitab Suci Super

20 Mei 2020   14:05 Diperbarui: 31 Mei 2020   13:40 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kitab suci (al-kitab al-muqaddas). Muqaddas bisa dipadankan dengan kata sakral (Indonesia) dan sacred (Inggris). Kitab suci berarti kitab yang disakralkan. Sedangkan kata suci-mensucikan (Indonesia) sering diterjemahkan thahhara-yuthahhiru, qaddasa yuqaddisu (Arab).

Ketika menerima wahyu pertama (surat al-‘Alaq) Nabi Muhammad Saw., diminta Jibril a.s untuk membaca (iqra’ ya Muhammad) sampai 3 kali. Kata “Iqra” —dengan akar kata qa-ra-a— saat itu hanya lazim digunakan untuk membaca kitab suci. Sedangkan tradisi membaca kitab suci itu tidak dimiliki oleh bangsa Arab. Sebab itu, Nabi yang statusnya sebagai “ummi” (buta huruf) sempat bingung, sehingga Jibril mengulangi perintahnya. Karena memang bangsa Arab belum pernah menerima kitab suci.

Selama ini kitab suci diturunkan kepada nabi-nabi dari keturunan Yahudi. Ketika Jibril menggunakan kata ‘iqra’, bukan “utlu” —tala-yatlu yang biasa digunakan orang Arab untuk membaca (reading) secara umum, selain kitab suci— itu berarti, kitab yang diturunkan kepada Muhammad, yang selanjutnya disebut al-Qur’an adalah kitab suci.

Penamaan al-Qur’an sebagai kitab suci juga bisa lihat dalam ayat-ayat sebagai berikut:  
1.    Surat al-Bayyinah
“Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (pagan) tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata. (Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang suci –al-Qur’an.”(QS. al-Bayyinah [98]: 1-2)

2. Surat al-Waqi’ah,
“…dan (ini) sesungguhnya al-Qur’an yang mulia, dalam kitab yang terpelihara (lauhu al-Mahfuzh), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.” (QS. al-Waqi’ah [56]:77-79).

Ayat-ayat tersebut di atas mengukuhkan bahwa al-Qur’an itu suci. Keharusan untuk menjaga kesucian bagi yang menyentuh (memegang) adalah bukti bahwa objek yang disentuhnya itu suci (sakral).

Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya dalam bahasa Arab. Suratnya yang  paling pendek dapat mematahkan argumen para ahli (pakar) bahasa Arab yang paling kaliber. Ia ditulis dalam lembaran-lembaran (masahif), dan diriwayatkan secara mutawatir. Siapa yang membacanya akan mendapatkan pahala. Dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir pada surat an-Nas. Nama lain dari al-Qur’an adalah, al-Mushaf, at-Tanzil, al-Furqan, dan ad-Dzikr.

Kekhususan al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalamuallah dalam bahasa Arab. Susunan redaksi maupun maknanya langsung dari Allah. Balaghah yang terkandung di dalamnya, jauh di luar kemampuan manusia sebagai bukti kemukjizatannya, dan hukum yang ditetapkan (di-nash) oleh al-Qur’an wajib untuk ditaati. Al-Qur’an diturunkan secara mutawatir dari satu generasi ke generasi yang lain. Kemutawatirannya terjamin (qath’iyy) dan dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiah. Kesahihan riwayatnya (sihhaturriwayah) sejak diturunkan melalui perantara Jibril ke hati Nabi dipastikan sangat terjaga.

Adapun Hadits —termasuk juga hadits Qudsi— tidak dapat dikategorikan sebagai al-Qur’an. Karena maknanya dari Allah, tapi susunan kata dan format (lafdz wa sighat)nya dari Rasul. Ia tidak bisa dijadikan dalil (hujjiyyah) atau dasar hukum sebagaimana al-Qur’an. Membacanya tidak mendapat pahala, dan tidak menjadi syarat sahnya shalat. Selain hadits Qudsi, qira’at syadz juga tidak bisa dikategorikan sebagai al-Qur’an. Terjemahan al-Qur’an dan tafsirnya tidak termasuk (bagian dari) al-Qur’an, meskipun sudah mengikuti kaidah-kaidah penafsiran yang standar.

Kemukjizatan al-Qur’an
Mukjizat adalah sesuatu kejadian yang luar biasa (amrun khariqun li al-‘adat). Yang tidak mampu dijangkau oleh nalar manusia. Misalnya ontanya Nabi Shaleh a.s. yang keluar dari batu besar dan tongkat Nabi Musa a.s. yang bisa membelah laut merah.

Pertanyaannya adalah, apakah memang sesuatu yang wajar, yang biasa dilihat dalam keseharian kita, itu juga dalam kemampuan manusia? Apakah manusia dapat menciptakan onta, nyamuk atau membuat laut? Tidak! Kejadian-kejadian alam yang setiap hari dapat kita lihat pun, tidak mampu kita buat. Sebab itu Rasulullah (Muhammad) Saw., menolak tipe mukjizat yang khariqun li al-adah seperti yang diberikan kepada Musa dan nabi-nabi sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun