Di awal Desember 2015 lalu, penulis datang ke Beijing bersama rektor Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin (UIN SMH) Banten. Waktu itu ada agenda pertemuan dengan Mr. Xu Liping, seorang pakar dari Peking University, yang menekuni penelitian tentang Indonesia selama hampir 30 tahun. Ia peneliti kelas tinggi di National Institute of International (NIIS), dan juga peneliti senior di Chinese Academy of Social Sciences (CASS), semacam LIPI di Indonesia.
Itu bukan yang pertama penulis mengunjungi negeri Panda. Hampir sebagian besar wilayah Tiongkok sudah dikunjungi (2014). Pada bulan Mei 2019, penulis juga mengunjungi Hongkong dan Macau, daerah administratif khususnya RRT.
Dalam suasana Desember yang disertai rinai hujan, penulis terdetik untuk melukis landscape keislaman di negeri tirai bambu, itu agar pembaca dapat melihat dari kaca mata orang yang pernah ke sana langsung, bukan dari media milik partai tertentu yang disinyalir menjadi proxy asing, atau media yang tujuan utamanya adalah mengejar klik, atau peringkat alexa. Media yang penuh framing dan labeling. Media seperti itu tidak dalam pengawasan dewan pers maupun Ombudsman RI. Karena terkooptasi oleh "kepentingan", maka dipastikan bias, dan masa bodoh dengan kode etik jurnalistik.
Penulis paham sekali kesan masyarakat terhadap Tiongkok (Cina). Pada umumnya, masyarakat Indonesia memiliki kesan negatif. Banyak yang beranggapan bahwa pemerintah Tiongkok yang komunis itu anti Islam dan cenderung represif.
Etnisnya pun jadi korban stigma dan kebencian yang selain karena ketidaktahuan, juga didasari sentimen yang dilatarbelakangi oleh ketimpangan ekonomi ---dengan adanya sistem konglomerasi yang diciptakan oleh rezim Soeharto. Sentimen tersebut akhirnya merembet ke apapun yang berbau Cina baik yang di tanah air, maupun yang di luar. Gebyah uyah.
Dulu pernah ada isu yang terkait tentang larangan jilbab dan menjalankan puasa Ramadhan untuk Muslim Uyghur (2016). Dan sekarang, pasca perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, muncul lagi isu tentang penindasan terhadap etnis tersebut.
Pemerintah Tiongkok sudah menjawab secara utuh serta memberikan hak lembaga peninjau dari manapun untuk melakukan kunjungan ke Xinjiang. Pada bulan Januari sudah mengirim tim dari NU, Muhammadiyah, dan MUI berkunjung ke sana.
Pemerintah Tiongkok menjelaskan bahwa tidak benar isu camp konsentrasi untuk menindas dan menyiksa. Yang benar adalah kamp tersebut sebagai tempat edukasi, tempat rakyat belajar disiplin yang di antara tujuannya adalah deradikalisasi. Dan sudah berlangsung sejak tahun 2016.
Pemerintah Tiongkok menghormati kebebasan beragama (HAM) setiap warganya, terbukti warga Muslim seperti suku Hui maupun agama lain dari suku lain (Han, Man, Meng, Tsang) tidak ada masalah dalam menjalankan ritual keyakinannya. Kalau Muslim Uyghur ditindas, misalnya, lalu suku Hui tidak, berarti masalahnya bukan soal agamanya, pasti ada sebab lain. Karena kenyataannya etnis Muslim Hui selain bebas menjalankan agamanya, juga mendapat pengakuan secara politik dan budaya.
Di masa lalu, ketika Xinjiang bergabung di bawah Partai Komunis Cina (PKC), Mao berkata, "kami mengakui kaum Muslim sebagai sebuah bangsa. Kami tidak pernah menyetujuai kebijakan Guomindang untuk menindas Muslim Cina dan karena itu kami percaya bahwa kami harus memberi mereka otonomi dbawah UU nasional Tiongkok."
Beijing menyadari bahwa menghilangkan kekerasan (terorisme) dengan cara kekerasan itu tidak efektif. Itulah sebabnya dibikin kamp deradikalisasi.