Pandangan dunia Islam saat ini berbalik dari periode-periode sebelumnya. Kiranya betul apa yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun. Dalam teori politiknya ia mengatakan bahwa periode sejarah kekuasaan Islam dibagi ke dalam lima periode, yaitu periode perintis, penerus yang diktator, penikmat, pengekor dan penghancur .
Periode penghancur pernah terjadi pada abad ke-XIII, dan rupanya sedang terulang kembali khususnya di negeri kita. Aktivitas pemikiran dan ilmu pengetahuan mandek, sehingga kaum Muslimin sebagian lebih percaya pada halusinasi ketimbang realitas.
Kecepatan media sosial menambah tensi antara yang haq dan bathil. Pada saat yang sama, upaya sistematis untuk menghadang kekerasan atas nama agama tidak sebanding dengan provokasinya. Kelompok militan  selalu berpikir bahwa semua itu demi agama. Agama adalah peradaban. Islam adalah perdamaian. Mengapa peradaban yang diciptakan untuk kemanusiaan justru mematikan kemanusiaan itu sendiri? Jika agama itu kebaikan, apakah bisa disampaikan dengan cara yang tidak baik?
Karena adanya kepentingan yang berbenturan yang dimiliki oleh masing-masing kelompok, maka apapun bisa terjadi. Menghalalkan yang haram dan sebaliknya. Kepentingan itu dapat terbungkus dalam bentuk apa saja: salah satunya agama. Ini merupakan ironi besar kemanusiaan pada abad ini.
Kasus penganiayaan yang menimpa seorang relawan kubu tertentu, yang dilakukan di dalam masjid adalah contoh pemahaman agama yang rigid dan salah kaprah. Bagaimana tindak kriminal di lakukan di tempat paling sakral. Ini mirip-mirip dengan kasus pembunuhan Umar bin al-Khattab, Utsman dan Ali ra. Dan salah satu tersangkanya adalah seorang habib.
Mengkritisi para Habib (Ar. jamak: habaib= keturunan Nabi) jangan sampai dikategorikan sebagai tindakan yang melawan agama. Memang sulit dibedakan antara kekhawatiran murni yang berdampak positif konstruktif dan kekhawatiran untuk melestarikan status quo.
Kritik adalah bentuk usaha pencarian bersama (learning society) untuk mendewasakan semua pihak. Kritik sering dihindari oleh siapa saja, termasuk diri kita sendiri, karena adanya pra-anggapan yang sudah terlanjur tertanam kuat dalam masyarakat bahwa tindakan tersebut akan menipiskan kadar moralitas seseorang.
Selain itu setiap kajian kritis terhadap moralitas yang terlanjur berlaku dalam masyarakat akan mengganggu stabilitas kehidupan bermasyarakat. Praduga semacam ini perlu ditinjau kembali agar kita dapat terhindar dari kesesatan (parodi) berpikir, sekaligus untuk mencari jawaban mengapa masyarakat kita cenderung permisif? Kita harus melakukan pembedaan antara Islam dan Arab. Ini penting untuk kepentingan keislaman itu sendiri. Menjaga kemurnian mana yang agama dan mana yang bukan? Abdul Karim Soroush, misalnya, membedakan pengetahuan agama dan agama itu sendiri.
Seringnya kalangan awam terlalu menyederhanankan perbedaan tsb. Seperti contoh, tradisi pengagungan Habaib yang sudah men-tradisi di kalangan NU (baca: Islam tradisionalis). Adalah benar bahwa keturunan Rasulullah mendapat pujian tersendiri dalam tradisi Islam, namun bagaimanapun, perilakunya tetap dihukumi sebagai manusia.
Di masyarakat kita masih ada semacam kepercayaan bahwa apapun yang dilontarkan, dilakukan oleh habaib dipastikan sesuai dengan ajaran Islam. Pengkultusan (baca: figurisme) ini akhirnya dimanfaatkan para "Bohir" untuk memuluskan kepentingan politik mereka menggunakan Habaib untuk mengkelabuhi mereka yang awam--dalam ilmu agama. Sebagian habaib mengambil keuntungan dari hubungan senyap-senyap itu. Mereka menikmati status social. Status quo tidak hanya terjadi di politik, tapi juga di bidang keagamaan.
Dalam konsep Islam, tidak ada "kerahiban", sehingga hubungan antara manusia dengan Tuhannya bisa langsung tanpa perantara. Yang terjadi di sini, seolah-olah pemuka agama itu bisa menentukan dan me-label-kan status keislaman seseroang.