[caption caption="Hak Atas Kota"][/caption]
Menurut David Harvey (2008), hak atas kota lebih dari sekedar kebebasan untuk mengakses sumber daya kota: melainkan hak untuk mengubah diri sendiri dengan mengubah kota tersebut. David Harvey mengungkapkan bahwa hak ini merupakan hak kolektif dikarenakan dalam mengubah kota, keterkaitannya dengan pelaksanaan kekuasaan kolektif dalam proses urbanisasi tidak dapat dihindarkan. Berdasarkan Henri Lefebvre (1968), hak atas kota merupakan hak yang nyata, yakni hak untuk mentransformasikan dan memperbaharui kota. Secara sederhana, hak atas kota dapat kita maknai sebagai hak untuk mengubah kota berdasarkan kebutuhan kita sebagai warga kota.
Berbagai kota metropolitan di Indonesia kini memiliki permasalahan yang beragam. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) merupakan kawasan antar kota yang memiliki permasalahan hampir mirip satu dengan lainnya. Warga Jakarta sudah tidak asing lagi dengan kemacetan lalu lintas, banjir dan polusi. Kota Depok pun juga memiliki permasalahan seperti; polusi, tingkat kriminalitas yang tinggi (Januari hingga Juli 2015 telah terjadi 324 kasus kejahatan di jalan[1]) dan tranportasi umum yang belum tertata dengan baik. Warga kota sesungguhnya memiliki hak untuk mengubah keadaan ini dan juga menuntut adanya perubahan kepada pihak yang berwenang.
Pada tanggal 31 Maret 2016, terungkap kasus penyuapan oleh pihak swasta terhadap wakil rakyat untuk memengaruhi kebijakan pembangunan kota. Kasus ini melibatkan anggota DPRD DKI Jakarta dari partai Gerindra bernama M Sanusi dan PT Agung Podomoro Land. Kasus duagaan suap Rp 2,14 miliar ini bertujuan untuk memengaruhi regulasi reklamasi Teluk Jakarta.[2] Sejumlah warga dari Forum Kerukunan Warga Muara Angke menolak keras aturan terkait reklamasi, dan reklamasi tidak bermanfaat bagi warga dan nelayan, malah memperburuk nasib nelayan.[3] Ini merupakan contoh konkret warga kota menuntut hak atas kota.
Kesadaran hak atas kota perlu ditanamkan di kalangan masyarakat kota di Indonesia agar pembangunan kota tidak ditujukan untuk keuntungan golongan tertentu saja, melainkan untuk kemaslahatan berbagai golongan masyarakat kota. Masyarakat kota berhak ambil andil dalam penentuan ke arah mana pembangunan kota itu diarahkan. Tujuannya adalah agar warga kota tidak teralienisasi dari kotanya sendiri. Dengan kata lain adalah agar warga kota nyaman tinggal di kota sebagai tempat tinggal dan menjalankan hidup.
Referensi
[1] http://www.republika.co.id/berita/koran/urbana/15/09/07/nuauc811-tingkat-kejahatan-jalanan-di-depok-meningkat diakses pada 4 April 2016 pukul 10:51
[2] Komitmen Elite Jadi Kunci: Ditunggu Pembangunan Sistem Anti Korupsi, Kompas, 5 April 2016, hlm. 1 dan 15.
[3] Nasib Perda Kian Buram: Sejumlah Angggota DPRD DKI Menarik Diri, Kompas, 5 April 2016, hlm. 27.
Â
Pos ini juga dapat dilihat di blog saya :http://wp.me/p7pA2y-i