Tentang Rasa Kehilangan, Rasa Syukur yang Terlambat Datang
Mustahil jika aku mengucap dirimu bukanlah siapa-siapa, bodoh bila ku berlaku seperti tidak terjadi apa-apa. Pembawaan mu yang ceria, tak ku pungkiri, banyak menghidupi sang kesuma yang lelah menjadi pendekar diri sendiri. Bak putri diatas menara yang dikungkung sang kekasih, tak lelah kau biarkan dirimu untuk mendaki, menemui, sekedar bercengkrama ringan, tak lupa memakan hidangan pedas, memberikan warna dan kehidupan bagi sang kesuma yang mulai lelah.
Sang kesuma hancur, dihancurkan kehidupan yang selama ini ia upayakan untuk tetap terbentang, kau hadir, lagi, menghidupi segala kesedihan, kau tabur benih-benih kenyamanan, sang kesuma bahagia, sang kesuma bersyukur, namun tak pernah menyadari, seandainya aku lebih merasa-lebih mendengarkan, yang kuyakini kau pasti masih berada disini.
Lantas mengapa? pertanyaan naif yang mengganggu sang kesuma, dirinya tak lagi di menara, dirinya kini bebas, tapi mengapa kebebasan seperti tidak ada artinya? kemana sang surya? pantas ku panggil demikian, dirinya secerah surya, hadirnya membawa kehangatan, hadirnya memberikan rasa nyaman, dan kepergiannya memberikan gusar, dan kekosongan berarti.
Ketika semua bebas, hari seakan selalu gelap, sang kesuma bertanya, apakah ini sebuah penyesalan? sang surya pergi, padahal dirinya sudah siap berkelana bersama, sudah dihancurkannya menara penyiksaan yang gelap nan dingin.
Tak lelah sang kesuma merendahkan diri, bertanya pada sanak bebungaan lainnya untuk meng-aminkan perasaannya yang fana, tidak, ia tidak menampik bahwa dirinya telah memberikan tempat ternyaman bagi sang surya selama ini, di dalam kalbu, sang kesuma menyesal, tak pernah menghargai, sang kesuma menyesal tak pernah merasakan, sang kesuma menyesal tak pernah bertanya, dan sang kesuma menyesal harus lari dan merelakan sang surya pergi.
Berada jauh dari sang surya, memberikan sang kesuma pelajaran, jangan---
jangan kau rekah kelopakmu lagi, walau kau butuh, walau kau ingin.
Â
biarkan ia menjadi pelajaran terberatmu saat ini, andai saja tidak ku sambung nyawaku dengan keluar dari menara dingin itu, mungkin sang surya akan menyapa seperti biasa, tidak menghilang, dan meninggalkan rasaÂ
Petuah tua benar, rasa kehilangan terberat dari perginya yang tak disangka, sang surya, ku harap dikau baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H