Episode Awal
“Pak aku tak betah di rumah, “ adu Yuni pada aku. Kuingat sore itu usai jam pelajaran terakhir ia menghampiriku di koridor penghubung kelas. Dan kuingat saat itu isak tangis menghiasi wajahnya yang manis.
“Ada apa yah, Yun?” “Bila pak Adi bisa membantu, pasti akan pak Adi usahakan membantumu” tanyaku sambil menenangkan dirinya.
“Aku gak betah di rumah karena ayah ibuku selalu bertengkar, Pak”. “Seringkali mereka tampak kekanakan di hadapan saya”. “Caci maki selalu terdengar dari ucapan mereka saat bertengkar”. “Bahkan tak jarang di hapadan aku ayah memukul wajah ibuku”. “Kalau sudah demikian pasti aku hanya dapat luruh dalam tangisan tak bertepi. ”Saat paling menakutkan dan memalukan bagiku adalah saat ayah mengancam ibu dengan golok” tambah Yuni kepadaku.
“Apa yang bisa aku lakukan ya Pak?” tanyanya. “Sungguh aku gak tahan lagi menghadapi keadaan ini”. “Aku sangat kasihan melihat ibuku”. ”Jika kutanya tentang mengapa ayah bersikap sangat kasar kepadanya, ia hanya bisa menangis dan tak pernah bersedia mengatakannya”. Kubiarkan Yuni hanyut dalam tangis yang coba ia tahan sehingga menyesakkan dadanya.
Sejenak saat tangisnya reda dan tampak lebih tenang, akupun memberikan pandanganku. ”Yun, bila kamu masih ingin menangis, menangislah”. ”Bersama air mata yang kamu cucurkan, mengalir pula hormon-hormon yang terkait dengan tekanan perasaan”. ”Maka menagislah, karena ia melegakan hatimu”.
”Yun, pak Adi turut prihatin dengan keadaan keluargamu.” ”Saya turut berdo’a bagi surutnya keadaan yang menyedihkan dalam hubungan ayah dan ibumu”. Menurut saya, usaha yang terpenting yang bisa kamu lakukan adalah membantu menenangkan hubungan ayah bundamu”. ”Paling awal, mulailah dengan menata perasaan kamu sendiri agar lebih tenang”. ”Ketenanganmu akan membantu kamu melihat konflik ayah ibumu dengan jernih”. ”Ia juga akan membantumu menempatkan diri pada posisi yang membuatmu dapat meredakan terbukanya pertengakaran diantara mereka,” tambahku sambil menepuk pelan bahunya.
”Ini semua tak mudah memang untuk dilakukan, saya sendiri bila dihadapkan pada posisi kamu belum tentu dapat melakukannya,” tambahku meyakinkan Yuni. ”Tapi, pak Adi yakin kamu bisa melakukannya”. ”Saya percaya kamu putri yag baik yang memiliki tekad kuat mendamaikan kedua orang tuamu.” ”Tekad itulah bekal utama kamu mendamaikan mereka. ”
Kuberikan sapu tanganku kepada Yuni agar ia menghapus buliran air mata di wajahnya. ”Yun, terpenting jagalah harapanmu atas keharmonisan hubungan ayah bundamu.” ”Kirimkanlah selalu do’a-do’amu kepada-Nya agar meluluhkan hati-hati mereka sehingga selalu cenderung pada kasih sayang dan saling memaafkan,” kututup kata-kata nasehatku kepada Yuni dengan kalimat tersebut. Namun tak kusangka, kalimat tersebut membuat Yuni menangis lagi. Dan kali ini ia tak mampu menahannya. Tanpa kukira, ia memeluk tubuhku. Ia tumpahkan buliran air matanya dalam dekapan erat wajahnya di dadaku. Aku begitu terkaget dan tak bisa mencegahnya. Aku coba memahami kesedihan dan harapan yang begitu besar yang bergelayut dalam benak murid terbaikku.
”Aku takut Pak!”. ”Aku tak mampu membayangkan bila ayah bundaku berpisah,” pecahlah tangisan Yuni mengiringi kalimat pengaduannya. Kucoba menenangkannya dengan membelai rambutnya. Kubisikan padanya, ”Yun, kita seakan dua kekasih yang tak hendak berpisah atau baru saja bertemu setelah terpisah lama yah?” ”Romantis sekali dalam pandangan orang yang melihat kita”. ”Bagaimana tidak, kamu gadis yang cantik dan saya pria tampan bersatu dalam pelukan yang begitu erat”. ”Seakan tak ingin dipisahkan oleh apapun dan siapapun,” godaku kepada Yuni.
Kalimat-kalimat ledekanku ternyata mujarab memisahkan pelukan Yuni dari tubuhku. ”Bapak nih, gak lucu ah”. ”Masak Yuni yang lagi bersedih dibilang romantis”. ”Dan senang yah bapak dipeluk bidadari cantik sepertiku?”. ”Enak aja!” cetus Yuni ketus membalas ucapanku sambil senyum kecil.