Kejenuhanku juga turut tersuburkan oleh keadaan hubungan sosial masyarakat di areal pemukiman karyawan yang cenderung tersekat-sekat. Sekat-sekat itu muncul dan berkembang, karena kami komunitas karyawan menempati blok pemukiman berdasarkan jenjang status kekaryawanan. Sekat-sekat tersebut kian menguat dengan terdapatnya perbedaan fasilitas yang tersedia bagi setiap blok pemukiman. Dan kami keluarga guru SMA ditempatkan di blok pemukiman menengah, padahal kami orang-orang yang baru bekerja di lingkungan perkebunan PT Gula Putih Manis. Itulah yang menimbulkan kecemburuan sosial karywan-karyawan tetap yang telah bekerja lebih lama dari kami. Hal inilah yang turut membatasiku untuk dapat bergaul dengan banyak kalangan masyarakat di sini.
Aku sangat ingin pulang ke Jakarta. Lingkungan tempat tinggal ibuku di Duren Sawit selalu diliputi suasana hubungan warga yang begitu hangat dan egaliter. Orang bilang penduduk kota besar miskin akan kehangatan dan pengertian, dan penduduk pedesaan tulus dan ramah. Namun yang kudapati di sini kebalikannya. Begitu banyak orang yang berasal dari keluarga karyawan tetap dan tampak bersahaja, namun mereka cenderung suka kasak kusuk mencari aib satu sama lain. Bahkan tak jarang saling menjatuhkan untuk kemudian berharap mendapatkan imbalan dari atasannya. ”Suamiku ijinkan aku pulang ke Jakarta yah,” bisikku dalam hati berharap.
Kejenuhan ini sesungguhnya juga berkolaborasi dengan rasa sedih yang meliputiku selama tinggal di areal pemukiman PT Gula Manis Putih. Kesedihan bermula saat aku hamil setelah kira-kira enam bulan kami menetap di sini. Waktu itu aku belum menyadari bila aku positif mengandung, hingga pada suatu sore usai tidur siang kudapati bercak-bercak darah di pakaian dalamku. Suamiku yang baru saja pulang kerja langsung mengantarkan aku ke medikal; sebuah tempat mirip yang memberikan layanan kesehatan bagi karyawan. Sialnya, beberapa tenaga medis yang menerimaku menatapku dengan sinis. Sepertinya mereka lupa akan tugas mereka yang ahrus memberikan kehangatan perlakuan kepada pasiennya. Aku tak tahu salahku apa, mungkin terkait kecemburuan kasta kekaryawanan suamiku.
Seorang dokter senior disana malah sempat mengatakan dengan ketus,” Ibu ini sih darah menstruasi”. ”Sebaiknya pulang dan gunakan pembalut saja!” tegasnya. ”Itu saja sudah cukup!” katanya dengan dingin.
”Dok, aku merasakan pinggul dan perut bagian dalam aku sangat sakit. ”Dan ini tak biasa aku alami saat datang bulan,” sanggahku kepadanya. ”Mungkin saya hamil Dok, dan kini mengalami masalah,” tambahku berharap. ”Yah sudah bila ingin istirahat di sini, ibu bisa bermalam di salah satu kamar pasien,” jawabnya. ”Namun bukan saya yang akan mengawasi perkembangan keadaan ibu, mungkin bidan Surti,” tegasnya tak tulus.
Sepanjang malam suami dan anakku menemani aku di ruang medikal. Suamiku dengan tulus meski lelah karena bekerja seharian membersihkan cucuran darah yang keluar dari organ vitalku. Aku sangat yakin cucuran darah tersebut merupakan bakal janin anakku, karena bentuk dan aromanya yang berbeda dengan darah haid. Namun sikap dan kata-kata suamiku menguatkan ketenanganku yang hapir runtuh oleh kesedihanku. Setelah bermalam di medikal dengan layanan yang menyesakkan dada, aku akhirnya dibawa pulang suamiku yang ijin tak masuk kerja hari itu.
Di rumah aku tumpahkan kekecewaan dan kesedihanku pada suamiku. Mas, aku sangat yakin itu bakal anak kita. Aku merasakan terbangnya separuh jiwaku saat darah tersebut mengucur dari tubuhku. Kok bisa-bisanya dengan enteng dokter Maruto mengatakan itu darah haid. Dan sikap mereka yang begitu sinis benar-benar meruntuhkan ketegaranku Mas. Serentetan kalimat hujatanku meruyak diantara kepedihan perasaanku. Aku sangat berharap pembelaan suamiku.
Ya sudah, kamu harus tenang. Jangan kamu larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Apalagi sampai marah berlebihan lepada orang-orang itu. Setiap masalah akan menjadi sesuatu masalah yang sesungguhnya manakala kita menyikapinya dengan sikap negatif berupa kesedihan dan kemarahan yang berlebihan. Karena biasanya respon yang muncul adalah keputusan dan sikap yang juga berlebihan. Kini, sebaiknya kamu istirahat.
“Tenangkan dirimu sambil mencoba mencari hikmah terbaik dari peristiwa yang kita alami ini.” “Kita tak punya kekuatan untuk merubah orang lain seperti yang kita mau, namun kita diberi Tuhan kekuatan untuk mengarahkan diri kita.” “Dan ketenangan adalah awal perbaikan yang dapat dilakukan setiap orang, termasuk kita.” Suamiku menutup kata-katanya dengan menghadiahi kecupan tipis di dahiku.
Meskipun tak mendapatkan pembelaan yang kuharapkan darinya, ucapan-ucapannya mampu mengembalikan aku pada perasaan yang lebih tenang. Yang tersisa bunyi dengkur tidurnya yang pulas meningkahi suara dengkur putraku Amar.
Malang tak dapat ditolak, aku mengalami keguguran janin untuk yang kedua dan ketiga kalinya. Keguguran yang kedua terjadi nyaris sama peristiwanya dengan keguguran yang pertama. Hal yang membedakan kali itu aku sudah mengetahui bahwa aku positif hamil, lewat alat test kehamilan. Sedangkan perlakuan tenaga medis di medikal tak lebih baik. Mereka bahkan semakin bersikap nynyir kepadaku, karena lewat alat test kehamilan yang mereka berikan pagi hari setelah keguguran tak terlihat indikator positif. Satu suster yang memeriksa aku bahkan sempat berkata,”Ibu ini kok gak bisa membedakan darah haid dengan janin. “