Mohon tunggu...
Jayu Titen
Jayu Titen Mohon Tunggu... Lainnya - Ambtenaar, Blogger,

https://masjayu.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Jokowi di Kudeta, Mungkinkah? Sebuah Ramalan

31 Maret 2015   00:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:46 2579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Saya bukan lulusan perguruan ilmu santet dan ilmu perdukunan, tetapi meramal bukan suatu hal yang rumit, hanya butuh modal sikap sok tahu dan belajar dari pengalaman, sekali lagi meramal bukan sesuatu hal yang membutuhkan keahlian khusus. Didasari keinginan setiap orang untuk merubah dirinya menjadi lebih baik didalam segala hal, profesi, rejeki, jodoh dan pati (kematian) tidak sedikit orang ingin dirinya diramal orang lain yang dianggap “orang pintar”.

Profesi yang menjanjikan saat ini menurut penerawangan saya adalah peramal. Ditengah gegap gempita kapitalisme di dunia membuat setiap orang ingin meraih segalanya, ingin menikmati kemewahan dunia dan menjaganya agar tidak jatuh kepada orang lain, atau akan kehilangan kenikmatan dunia berupa harta benda yang diperolehnya. Terbukti pada acara-acara televisi yang diekspos secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi. Kesuksesan orang-orang dari berbagai kalangan dan profesi yang selama ini menonjol ternyata memiliki peramal yang digunakan sebagai penasehat spiritualnya. Karena menjadi peramal merupakan profesi yang menjajikan, saya ingin belajar meramal juga.

Belum genap setahun Jokowi-JK menjadi presiden, tetapi masyarakat sudah merasakan dampak kebijakan yang dibuatnya. Optimisme yang berkembang dimasyarakat sebelum pemilu berlangsung (masa kampanye) sampai beberapa pekan setelah dilantik perlahan namun pasti sudah mulai layu. Gebrakan kebijakan yang dibuat di bidang politik, ekonomi dan hukum membuat rakyat tercengang sambil mengucek-ucek mata memperhatikan secara mendalam foto-foto Jokowi dan janji-janjinya semasa kampanye. optimisme dan kegembiraan yang menggelegak serentak menjadi duka, duka yang begitu mendalam sehingga rakyat layak menurunkan bendera setengah tiang didepan rumahnya.

Peran mahasiswa dan rakyat

Atas kebijakan yang tidak pro rakyat banyak yang merasa gelisah dan tidak puas terhadap Jokowi-JK, namun rakyat tahu apa yang harus dilakukan, setiap orang menunggu apa yang akan terjadi dan siapa yang akan memulai pergerakan. Ketidakpuasan dalam penegakan hukum membuat orang ingin memindahkan masalah hukum dijalanan, seperti yang terjadi antara konflik KPK Vs POLRI. Dua institusi penegak hukum saling sandera, rakyat rame-rame turun kejalan mendukung KPK. Namun pemerintah tetap dengan kebijakannya sendiri. Sekali lagi kondisi saat ini semuanya menunggu siapa yang memulai dan apa yang akan terjadi.

Pergerakan bisanya dimulai dari mahasiswa karena mahasiswa merupak intelektual terdidik dan pemimpin masa depan bangsa dan negara, dipundak mahasiswa cita-cita rakyat disematkan, sehingga ketika dikampus mereka tidak hanyak berkutat pada diktat-diktat yang tebal tetapi juga berorganisasi. Perbedaan mahasiswa dengan masyarakat biasa sangat jelas sekali, ketika masyarakat biasa hendak bertemu pemimpin sebuah wilayah (kota/kab/provinsi) bahkan pemimpin negara untuk menyuarakan aspirasinya harus mengikuti protap protokoler, Mahasiswa hanya dengan berbekal jas almamater kampus bisa menghadap mereka tanpa ada batasan yang formal baik melakukan audiensi maupun aksi demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Aksi-aksi demontrasi mahasiswa dilakukan sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Mahasiswa menjadi garda terdepan dalam menyuarakan aspirasi rakyat, sejarah membuktikan itu, ketika mahasiswa bersatu dengan rakyat bergerak untuk melakukan perubahan maka seluruh elemen lapisan masyarakat ikut bergabung didalamnya. Sejarah dunia juga membuktikan bahwa ketika Mahasiswa dan rakyat bersatu dalam satu suara maka mampu menumbangkan rezim yang otoriter. Akan tetapi aksi demonstrasi mahasiswa nyaring tak terdengar karena media mainstream yang tidak meliput gerakannya. Disatu sisi masyarakat sudah mulai apatis terhadap pemerintah karena sudah terlalu sering ditipu. Rumit untuk mengurai sebab kenapa mahasiswa tidak melakukan aksi-aksi demonstrasi, akan tetapi sekilas nampak terjadi disorientasi dan melunturnya ideologi pada mahasiswa, jika kondisi mahasiswa demikian, apa mungkin punya hasrat untuk mengkudeta?

Militer dan peralihan kepemimpinan nasional

Di era Reformasi, Militer dan Polisi sudah pisah ranjang, setelah sekian lama selama orde baru bersatu dalam satu institusi ABRI. Mempunyai tugas menjaga kemanan dan ketertiban nasional, menjaga kedaulatan bangsa, dan keutuhan NKRI. Ketika terjadi huru hara dan ketidak stabilan politik maka TNI berperan besar dalam mendamaikan. Baiklah saya ceritakan sedikit peran TNI ketika terjadi ketidakstabilitan politik yang saya kutip dari bukunyaMohammad Hatta yang berjudul Demokrasi Kita, dimana pada pasca kemerdekaan Indonesia masih bongkar pasang sistem bernegara mencari sistem negara yang kompatible sehingga terjadi kekacauan.

“Angkatan perang tidak puas dengan jalannya pemerintahan ditangan partai-partai yang selalu menimbulkan percekcokan. Pada tahun 1952 pernah pemimpin angkatan perang memohon kepada presiden supaya Presiden sudi mengakhiri cara Dewan Perwakilan Rakyat Bekerja yang selalu menimbulkan politikyang tidak stabil. Petisi itu tidak berhasil, sebab presiden menunjukan kedudukannya sebagai kepala negara yang konstitusional. Pada kahirnya militer dengan rakyat membuat gerakan dibeberapa daerah untuk menentang pemerintahan pusat dan mengumumkan keadaan berbahaya. Sejak itu mulailah campur tangan angkatan perang dalam pemerintahan, kemudian pada akhirnya militer mampu memaksa Presiden Soekarno untuk kembali kepada UUD 1945”.

Sejarah berbagai negara di dunia menunjukan bahwa militer tidak segan melakukan kudeta jika dihadapkan dua kondisi, pertama ketika peran militer terpinggirkan dalam berbangsa dan bernegara, kedua karena tekanan internasional yang disebabkan karena permasalahan ideologi, ekonomi maupun masuknya paham demokrasi pada sebuah negara yang menganut sistem totaliter. Indonesia tidak punya sejarah kudeta yang dilakukan Militer, tetapi dalam setiap peralihan kepemimpinan nasional Militer mempunyai andil dan peran yang sangat besar. Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun dan SBY berkauasa selama 2 periode dengan damai menunjukan bahwa militer telah menancapkan cakar kekuasaannya.

Aneh ketika saat ini terpilih presiden berlatar belakang rakyat sipil, kejadian ini patut dicurigai. Pemerintahan sipil sudah berjalan kurang lebih 6 bulan, kebijakan tidak pro rakyat, terjadi kegaduhan dan kegelisahan dimasyarakat karena ekonomi dan ketidakpastian hukum, elit saling adu jotos, parpol seperti amoeba namun tidak ada yang berani melakukan pergerakan.

Berdasarkan tulisan bung Hatta tadi rakyat wajib curiga terhadap militer atas kondisi bangsa saat ini, mungkin ada keuntungan tersendiri yang peroleh militer dari kepemimpinan Jokowi-Jk. Jika memang demikian, ini membenarkan prasangka masyarakat bahwa siapapun presidennya maka militer adalah penguasanya.

Maka untuk menangkal terjadinya kudeta militer maka dua hal yang harus dilakukan, pertama yaitu militer diajangi ombo “militer dikasih piring yang lebar” artinya memberikan peran dan andil yang besar bagi militer dibidang ekonomi, politik dan hukum, kedua presiden tetap loyal terhadap kebijakan internasional/tidak melawan arus besar ideologi yang berkuasa didunia (kapitalis), dengan demikian maka Jokowi-JK akan melenggang hingga 2019.

Maaf jika ramalan meleset :)

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun