Harusnya aku sudah siap untuk ini. Harusnya aku sudah mempersiapkan diri untuk ini. Persiapan manusiawi sesiap apa pun tidak dapat menyiapkanku untuk perasaan yang banjir bagai bencana alam, harusnya aku tahu itu.
Harusnya, harusnya, harusnya …
Kata yang menunjukkan penyesalan, yang menunjukkan kemelekatan terhadap masa lalu yang tidak dapat lagi diulang.
Tentu. Aku tahu itu semua. Namun, tetap saja rekaman batin tentang hari-hari yang sudah kian lama hilang dimainkan kembali dalam bioskop batin berulang kali .
Lagi, dan lagi, dan lagi …
Harusnya. Hari ini hari yang bahagia, tetapi kukenakan pakaian hitam dari atas ke bawah.
Seakan berduka.
Berduka … iya, memang dalam hari berbahagia ini aku sedang berduka. Berduka untuk kehilangan kamu yang selama ingatanku sudah menemaniku, dalam suka ataupun duka.
Aku masih ingat ketika dapat berlari-lari denganmu di lapangan luas nan hijau, ditemani sepoi-sepoi tanpa memedulikan dunia di sekitar kita. Berguling-guling dan berjungkir balik di antara rerumputan yang menggelitik. Alangkah indahnya tawa kita kala itu.
Aku masih ingat ketika berpesta tidak keruan dengan teman-teman kita, bersorak girang di kalangan lampu warna-warni yang hidup-mati mengikuti irama musik yang membudekkan. Tidak ada yang dapat menghentikan kita, kita merasa seakan kita abadi pada saat itu.
Aku masih ingat ketika diriku tenggelam dalam dekapanmu, terpuruk dalam satu sisi gelap di kamar, selama aku terisak, dan kamu meyakinkanku bahwa tidak apa-apa untuk melepaskan diri, menangis tanpa inhibisi. Dalam lautan kegelisahanku, kamulah pengapungku.