Nusantara secara etnografis tidak berada di kawasan kultur Semitik, maka pembacaan teks keagamaan seharusnya disesuaikan dengan kondisi realitas sosio-kultur yang ditandai oleh keberagaman dan hubungan intereligius, yang meniscayakan pendekatan perenialisme dan inklusifisme dalam hubungan antaragama. Kondisi keagamaan yang beragam dalam konteks Nusantara, bukan hanya disebabkan oleh dinamika peradaban dan kebudayaan Nusantara yang persentuhannya dicatat dengan baik oleh sejumlah literatur keagamaan dari India seperti Ramayana Ittihasa-Sastra, Kanon Maha-Niddesa, Brahmanapurana dan sebagainya, tetapi lebih dari itu perubahan sosial-religius di Nusantara berjalan melalui komformitas proses Indianisasi yang berlangsung dengan tatanan setempat yang mewujudkan perpaduan kultur keagamaan tanpa disertai oleh konflik kebudayaan. Â Pada tahapan tertentu bahkan entitas religius mengalami sinkretis seperti dalam konteks konsep devaraja dalam kerajaan Khmer seperti ditunjukkan oleh reruntuhan kompleks Angkor Borei dan Angkor Wat pada periode Jayawarman VII melalui kultus manifestasi Lokeshvara dan juga di kerajaan Champa terutama di situs My Son, Tra Kieu provinsi Quang Nam (Indrapura).Â
Hubungan sinkretis religius juga ditunjukkan di Nusantara melalui peranan Rakai Pangkaran putra Sanjaya seperti ditunjukkan dalam Prasasti Kalasan (700 Saka/778 M.), Prasasti Sangkara (?) dan Prasasti Sojomerto (+ 800 M. ?), merupakan indikasi atas pluralisme tatanan religius dan penerimaan atas keberagaman Hindu-Buddha di bhumi Jawadwipa dalam bentuk ritus keagamaan yang sakral baik di dataran tinggi Dieng maupun kompleks Candi Prambanan. Hal ini juga diperkuat oleh praktik raja-raja Singhasari seperti Wisnuwardhana dan Kertanegara serta para penguasa Majapahit (Wilwatikta) seperti Dyah Wijaya Bhre Kertarajasa, Kala Gemet (Jayanegara) yang dalam prosesi Anumerta, dikultuskan dalam pelbagai  manifestasi yang sakral. Hal ini juga turut didukung oleh teks Sanghyang Kemahayamanikan yang disusun pada periode Mpu Sindok (Isana), Negarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca, dan  Kakawin Lubdaka (Siwaratrikalpa) yang sebagian besar menunjukkan realitas penerimaan atas pluralisme keberagamaan. Selain itu, dalam periode Majapahit diakui keberadaan kewenangan keagamaan tertinggi yang diberikan kepada pejabat keagamaan tertinggi dari kalangan Siwa-Buddha yang terdiri dari Dharmadyaksa ring Ke-Siwaan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan (Sukamto. C. Hooykas dalam Balinese Baudha-Brahmans (1973) bahkan menunjukkan bahwa dalam konteks Bali, kewenangan religius tertinggi Siwa-Buddha  tidak dapat dipisahkan dalam pluralisme realitas keberagamaan baik yang dianut oleh aristorak seperti pada periode pemerintahan Dalem Selonding atau Sri Kesari Warmadewa yang menganut aliran Mahayana, sedangkan Dyah Ugrasena yang merupakan representasi Dyah Balitung merupakan penganut Siwa-Siddhanta, hal ini dimana peralihan tatanan keagaman seiring dengan pergeseran atas tatanan dinasti yang berkuasa semakin menguat lambat laut yang mendorong bagi suatu  perpaduan dalam sistem praktik keagamaan di Bali yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas.Â
Â
Proses Islamisasi Nusantara yang oleh T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam (1913) dan  A.H. Hasjimy Sejarah Kebudayaan Islam  (1978) dideskripsikan berjalan melalui pendekatan sosio-religius, ataupun melalui pendekatan ekonomi perdagangan seperti pendapat Van Leur atau seperti pendapat A.H. Johns melalui peran spritual para tokoh Sufi, mampu menerima keberadaan tatanan keagamaan dan kultural setempat yang telah kokoh. Para penyebar Islam yang merupakan para ulama Sufi berupaya membangun interaksi pada tataran esoterik keagamaan dengan tatanan keagamaan setempat dengan tidak sertamerta antipati. Sunan Kalijaga melalui pendekatan kultural setempat berupaya menyentuh kesadaran religius masyarakat setempat melalui pendekatan tasawuf demi tersampanya substansi ajaran-ajaran Islam tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kearifan setempat yang sejalan dengan tuntunan Islam ('urf shahih) dan juga Sunan Kudus seperti ditunjukkan melalui arsitektur menara Masjid Kudus tidak begitu saja mengabaikan paradigma filosofis keagamaan setempat. Â
Para penulis kepujanggaan keraton Surakarta dan Yogyakarta seperti Yasadipura II yang merupakan penulis Serat Bimaruci yang tidak lain yang mengelaborasi  Serat Nawaruci, Ng. Ronggowarsito dan Ki Suryomentraman mampu mengelaborasi filosofi Tantrik pada era Majapahit yang dikonstruksi melalui cara pandangan esoteris religius seperti ditunjukkan dalam Suluk Hidayat Jati yang memberikan interpretasi baru konsep tasawuf falsafi dalam kitab Tuhfatul Mursalah ila al-Ruh al-Nabi yang merupakan rujukan induk yang dipakai oleh penganut Wujudiyah di kawasan negeri atas angin dan memberikan pengaruh konsep Tantrik dan Kejawen dalam konstruksi teologisnya seperti ketika menjelaskan konsep Nur Muhammad dalam bentuk Nukat Gaib yang dipengaruhi oleh konsep penciptaan dalam aliran filsafat Vedanta seperti dalam teks Brahmasutra dan juga pada konteks konsep martabat tujuh (Marhalah as-Sab'ah) yang dielaborasi sebagai proses spritual jiwa mencapai keberadaan  ilahi yang juga tidak terlepas dari pengaruh Punarbhawa (ref. Simuh, Mistik Islam Kejawen Reden Ngabehi Ronggowarsito, 1988)
Paradigma religius yang melintasi penanda perbedaan keagamaan tersebut bukan hanya memberikan corak bagi identitas religius yang mengakui keberagaman, tetapi juga meniscayakan hubungan religius yang didasari oleh paradigma kebhinnekaan seperti dicetuskan oleh Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma 135:5 "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." (Berbeda-beda tetap satu jua, sebab tidak ada kebenaran yang mendua). Paradigma kebenaran yang bersifat monistik ini merupakan dasar bagi konsep Advaita (nondualitas) bagi Adi-Sankhara dan konsep Sunyatavada menurut aliran Madhyamaka. Sekalipun kebenaran dalam tataran kosmik berwujud dalam berbagai identitas dan penanda yang berbeda, tetapi pada hakikatnya berasal dari satu sumber kebenaran yang tidak terkondisikan yang ditandai dengan nondualitas (Advityam) dan noneksistensial (Advaya). Hal ini menunjukkan bahwa hakikat kebenaran pada tataran transenden adalah satu dan utuh dan tidak dapat diberikan batasan normatif menurut suatu bentuk model yang monolistik yang dalam tingkat realitas kosmologis dapat ditampilkan dengan beragam wajah manifestasi (prabhawa) yang berbeda sesuai dengan tingkatan pencapaian pengetahuan manusia sebagai penerima keberagamaan itu sebagai tradisi yang disebut "agama."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H