Salah satu prinsip utama dalam teologi ajaran Mu'tazilah di kalangan  Al-Hudzailiyah dan pengikut Sayid Al-Murtadha adalah ajaran tentang Al-Ashlah wal-Shalah.  Konsep ini seperti yang diulas oleh Syaikh Hasan Hanafi, Muhammad  Arkoun dan Goldhizer terkait erat dengan sentimen anti-pemerintah Bani  'Umayyah yang dianggap represif menggunakan nas-nas syari'ah dalam  bidang akidah seperti masalah tentang ketuhanan dan masalah kalam  (hermeneutika) Al-Quran yang dinilai tidak mencerminkan keyakinan yang  rasional (ma'qul) dan muhtasib (accountable), dimana pemahaman praktis dan idealis seperti ini pada umumnya menilai nas-nas agama tidaklah bersifat tauqifi (petunjuk) dan adalah (indikator)  terhadap kemalsahatan yang dicapai umat, bahkan terkadang prinsip ini  meragukan akan pendapat ataupun pemahaman yang telah sah, dengan alasan  bahwa pendapat tersebut terkadang tidak relevan untuk mencapai nilai  maslahat di kalangan umat.Â
Terang saja bagi kalangan Muktazilah  dari kelompok mana pun, pemahaman di kalangan umat Muslim pada umumnya  yang didasarkan pada tradisi profetik (as-Sunnah) dinilai  tidak selamanya relevan dengan prinsip-prinsip kemaslahatan yang  realistis. Dalam pandangan Mu'tazilah tersebut, ketentuan tentang al-mashadir asy-syari'ah tidak termasuk semacam kewajiban sebagai sandaran dalam proses Istidlal  di kalangan fuqaha (ulama syariat) dalam mencari mashlahah (masalik al-mashlahah).  Oleh sebab itu, terkadang kalangan Muktazilah menyarankan bagi umat  Islam untuk menentukan nilai-nilai hakikat kebaikan dan kebenaran (al-haqq wal khairat)  dengan tidak terpaku hanya pada teks-teks kitab suci dan tradisi Salaf  saja tetapi juga dengan berpijak pada pendekatan rasionalitas ('aqliyat) dan sekaligus menolak ta'diyah hukum dengan didasarkan oleh khitab syar'i yang bersifat tsabit (tetap).Â
Secara  praktis, pandangan Muktazilah ini tetap menjadi kaidah yang relevan  ketika berbicara dalam konteks pembahasan dan diskursus dinamika Islam  modern. Perlu diperhatikan semangat tajdid (pembaharuan) dalam  kalangan Muslim reformis yang  setidaknya berkisar sebagai kubu  rasionalis yang pada umumnya anti terhadap sumber-sumber tradisi yang  dianggap tidak otoratif dan qaul para ulama khalaf. Kelompok ini  memandang bahwa pendapat-pendapat yang ulama untuk manafsirkan Mashadir  Syari'ah telah menghalangi dan menjadi tameng untuk kalangan cendikiawan  dan filosof mencari solusi yang lebih praktis dan memenuhi tujuan  maslahah, sekalipun hal tersebut harus menyeleweng dari peraturan hukum  dan adat yang berasal dari pedoman syara'.
Perlu diperhatikan bahwa konsep Al-Ashlah wal Shalah bagi Muktazilah merupakan  nilai hakikat kebenaran yang tidak bersandar kepada teks maupun  tradisi profetik, tetapi hanya sebatas ditentukan oleh mekanisme nalar (nazhari) dan akal sepenuhnya, sehingga apabila nas-nas dalam agama memandang keharaman (mamnu') dan kerusakan, maka hal tersebut tidak berarti secara rasional (ra'y)  hal tersebut secara mutlak merupakan nilai hakikat kebenaran. Oleh  sebab itu, bagi Muktazilah nilai kebenaran terdapat pada kaidah-kaidah  nalar sebagai rujukan dan hukum, sedangkan Al-Quran dan as-Sunnah tidak  memiliki relevansi yang bersifat praktis dalam hal ini untuk dapat  dianggap dijadikan sebagai rujukan hukum.Â
Kedua, prinsip Al-Ashlah wal Shalah menilai  pemahaman umat Islam secara mayoritas tentang kewajiban maupun petunjuk  Islam tidak selalu relevan dengan prinsip nalar (nazhari),  kalangan Mu'tazilah memandang kalangan umat Islam telah keliru dalam  dalam memperlakukan nas-nas secara terbatas hanya pada makna-makna  tekstual dan menjadikannya sebagai khitab dalam penetapan hukum syariat.  Muktazilah menilai bentuk penetapan hukum syariat di kalangan kelompok  tradisionalis seperti Ashab Al-Hadits dan Atsariyah yang bersandar pada  sumber-sumber profetik dianggap tidak selalu relevan dengan pembuktian  kebenaran yang rasional dan dapat diterima oleh nalar hukum. Cara  pandang Muktazilah inilah yang menyebabkan terjadinya kontradiksi dengan  konstruksi penelaran hukum syariat di kalangan ulama Ahli Hadits dan  Atsariyah yang berpijak pada sumber nash yang sahih dan sharih.
Pandangan Al-Ashlah wal Shalah yang dianut oleh Muktazilah sebagai bagian paradigma Ushul mereka ditentang oleh Muhammad ibn Al-Fudhali dalam kitab Kifayatul 'Awam lima Yujibu 'an 'ilm Al-Kalam yang menjelaskan bahwa konsep tersebut secara teoritis saling berkontradiksi. Penetapan Al-Ashlah yaitu kewajiban bagi al-syari'Â untuk menetapkan hukum-hukum syariat yang didasarkan pada kriteria nalar (nazhari) dan akal ('aql) terhadap tashih (pernyataan kebenaran) dan taqbih (menyatakan kesalahan), pada dasarnya bertentangan dengan kriteria Shalah (baik) yang tidak mensyaratkan perkara yang lebih baik di atas perkara yang salih.Â
Ibn Qutaybah Al-Dainuri dalam kitab Takwil Mukhtalifah Al-Hadits juga mengkritik konsep Al-Ashlah wal Shalah di kalangan Muktazilah dengan berpendapat bahwa pendapat-pendapat  Mu'tazilah yang didasarkan pada kaidah tersebut menghasilkan hal-hal  yang berkontradiksi dengan konsensi (Ijma'), sedangkan apa yang  dijadikan sebagai konsensi di kalangan umat Islam adalah hal-hal yang  bersifat mutawatir seperti tentang ke-Esaan Allah Swt., 'ishmah (kemaksuman) para Nabi Saw., mukjizat dan karamah, surga neraka, azab  kubur dan lain sebagainya merupakan perkara yang hakiki dan didukung  oleh nas-nas yang sahih.Â
Hal ini menunjukkan bahwa pandangan Muktazilah atas Al-Ashlah wal Shalah pada dasarnya tidak didasarkan manhaj (metode) penalaran hukum yang  benar dan bahkan menghasilkan relativitas, sementara perkara hukum-hukum  syariat tidak diperkenankan untuk didasarkan kepada ketidakpastian baik  dari segi makna lafazh maupun dilalah (pendalilan), selain juga  sebagiannya bertentangan dengan nash.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H