Mohon tunggu...
Jaya Nug Miharja
Jaya Nug Miharja Mohon Tunggu... Aktor - Jaya

Lahir di buton 25 desember 1994

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kembalikan "Tuhan" pada Rumah-Nya

25 November 2018   13:48 Diperbarui: 25 November 2018   23:53 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jaya Nug Miharja di Kabapaten Donggala, Sulteng Menjadi Relawan Medis PMII

Pergulatan politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat semakin jauh dari adab manusiawi. Memang betul adanya tahun politik mejelang pemilu pilpres (pemilihan presiden) dan pilleg (pemilihan legislatif) sangat didambakan oleh masyarakat mulai lapisan kaum konglomerat (borjuis) hingga kaum melarat (Proletariat) agar senantiasa menjadikannya sebagai pesta demokrasi.

Sebutan nama cebong dan kampret maupun partai Allah ataupun partai setan digirangkan pada telinga masyarakat sebagai tanda identitas dari pendukung capres dan cawapres.

Masing-masing tim sukses pun saling beradu literasi, saling debat sana sini mencari sensasi tanpa substansi. Bukan lagi mencari kebenaran tapi berpikir keras melakukan pembenaran atas argumentasi (statement) masing-masing kubu yang ditampilkan langsung oleh media TV, online dan gelondongan media cetak lainnya. Tak lain untuk merebut simpati masyarakat akar rumput (awam) yang mudah tergoyahkan iman dan akalnya.

Seluruh belahan dunia pun tahu bahwa bumi pertiwi  ini dikenal dengan corak masyarakat majemuk dan memiliki jumlah populasi muslim terbanyak (mayoritas) tentunya tanpa mengesampingkan agama lain yang juga memiliki hak konstitusi sebagai warga negara.

Atas dasar itulah  pola politik identitas dimainkan dengan lihai oleh para maestro politisi (pakar politik) supaya bisa menggerogoti kaum mayoritas muslim.

Kemudian demi melanggengkan pola ini maka beberapa sekelompok orang yang katanya kaum agamis akhirnya diajak turun gunung untuk kampanye melakukan sinergitas dengan kaum bani politisi.

Hausnya kekuasaan menimbulkan dorongan syahwat politik semakin kuat untuk mengelabui kaum mayoritas tersebut maka dikenakanlah strategi modus lama gaya baru dengan menjadikan agama sebagai target (goal) untuk dipolitisasi dengan menyetir kitab suci dan hadist.

Ironisnya, Tuhan pun diajak kampanye dengan meneriakkan suara takbir  dengan lantang tanpa malu hati demi memenuhi  iman syahwat politik.

Seruan menyebut nama Allah Akbar dikumandangkan hampir di seluruh saentero Nusantara oleh sekelompok orang pada langit-langit kampanye dengan alat pengeras suara yang menggema sepertinya kaum ini menyadari Tuhan telah jauh dari pandangan hati mereka atau mungkin mengira Tuhan telah tuli.

Tidak hanya itu, Agama pun dibungkus sedemikian rupa kemudian dijadikan doktrin yang katanya memperjuangkan islam secara asli (authentic) namun sebaliknya menista agama. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gus Dur sang guru bangsa pernah mengemukakan bahwa "Jargon memperjuangkan islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik tertentu dengan menjadikan islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini sangat ampuh karena siapapun yang melawan mereka akan dituduh melawan islam".

Betapa licik dan biciknya tindakan sekelompok orang ini yang terang-terangan membangun konstruksi kebiadaban pada masyarakat sosial yang secara komprehensif (menyeluruh) berkawan pada maha agung (God Socius).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun