Mohon tunggu...
Jaya Nug Miharja
Jaya Nug Miharja Mohon Tunggu... Aktor - Jaya

Lahir di buton 25 desember 1994

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menuhankan Surga

18 November 2018   09:27 Diperbarui: 18 November 2018   10:09 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jaya Nug Miharja| Dok pri

Kelihatan menawan dan menyejukkan hati jika mendengar para pemuka agama menjelaskan tentang nikmatnya kehidupan surgawi yang diterangkan berdasarkan kitab suci dan hadist. Bagi beberapa agama meyakini bahwa surga merupakan suatu tempat kekal yang sengaja diciptakan oleh Tuhan untuk para sukma orang-orang yang senantiasa berbuat kebajikan dengan  memenuhi syarat (qualified) mampu mengikuti perintah-Nya dan mejauhi larangan-Nya.

Jika berbicara tentang surga maka tidak akan lepas dengan yang namanya Neraka sebagai tempat dimana Tuhan memberikan hukuman (punishment) kepada manusia yang tidak mampu mengendalikan akal pikiran dan jiwanya saat mengenyam kelezatan dunia.

Tanpa harus ditanya pun semua orang pasti menjawab ingin masuk surga dan membuang jauh-jauh pikirannya tentang siksaan api Neraka. Sederhananya seperti demikian pisau analisis penulis, namun mirisnya gerakan dakwah yang terbangun dan tersebar di mesjid-mesjid atau tempat-tempat majelis  sekarang ini selalu saja menjadikan Surga sebagai objek tujuan utama untuk melaksanakan ritual ibadah dalam rangka menyembah Allah Swt.
Bagi penulis ini merupakan realitas kecelakaan berpikir yang telah  menghasilkan perspektif bersifat rancu bahwa melaksanakan ibadah bukan lagi semata-mata karena Allah Swt tapi karena ingin mendambakan surga yang dijanjikan oleh Allah swt .

jika menyembah Allah Swt karena surga-Nya lantas apa bedanya dengan seorang pegawai kantoran disuatu perusahaan yang mau bekerja karena ada upah yang didapatkan. Menurut penulis ini merupakan salah satu metode dakwah yang boleh dibilang menganut paham materialisme, yaitu merupakan pahaman tentang bagaimana cara pandang hidup melihat segala sesuatunya berdasarkan kebendaan (harta, uang dan sebagainya).

Namun dalam hal ini, metode dakwah tersebut menempatkan surga sebagai materi (kebendaan) seperti layaknya sebidang tanah yang memliki bangunan istana  mewah. Selain itu, jika pahamanan materialisme  tersebut telah terbangun menjadi doktrin agama maka hal berikutnya akan terjadi gejolak yang akan membawa hamba materialistis ini melakukan kesyirikan atau menduakan Allah Swt . Sebab pada orientasinya orang-orang tersebut beramal bukan semata-mata  karena Allah swt tapi karena sifat kebendaannya.

Kesesatan berpikir semacam ini tampaknya sudah umum terjadi, padahal jauh sebelumnya seorang sufi wanita bernama Rabiah Al-Adawiyah  yang  dikenal karena kesucian dan kecintaanya kepada Allah Swt pernah mengungkapkan kerangka besar (main frame) hasil pemikirannya atas pertanyaan mengapa seseorang itu menyembah Allah Swt? 

Diriwayatkan oleh Al-Aththar bahwa Rabiah Al-Adawiyah pernah berkata "aku menyembah Allah karena tidak takut neraka-Nya dan tidak mendambakan surga-Nya. Aku seperti buruh yang brengsek. Ya, aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya"  (Tadziratu Al-Auliyai, Fariddin Al-Aththar, hal. 42)
Sufi menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah istilah untuk mereka yang ahli ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan kepada Allah Swt.

Ditambah lagi seorang sufi  bernama Abd Qadir Al-Jailani yang merupakan tokoh terkemuka paling berpengaruh pada pemikiran dan sikap umat islam. Tokoh besar religius ini pernah mengemukakan bahwa untuk mencapai kategori manusia tertinggi harus mengalami empat perkembangan spiritual, salah satu tahap itu ialah keadaan tawakal, yakni ketika seseorang berserah diri secara total kepada Tuhan .

Bisa kita pastikan, satu hal yang substansi dari uraian kedua sufi tersebut memberi penerangan bahwa menyembah kepada Allah Swt harus mengedepankan cinta dengan penuh totalitas tergugah dari hati yang dimiliki setiap individu manusia.

Demikian halnya sudah menjadi wajib bagi pendakwah (penerang agama) agar merefleksikan kembali gerakan dakwah yang asli (authentic) sesuai konteks kekinian khususnya di bumi pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini yakni tentang bagaimana membumikan nilai toleransi dan nilai moderasi (seimbang) sebagai bagian bentuk ajaran inti islam untuk mengubah kepungan kebencian akibat perselisihan dan perbedaan, menuju sudat pandang yang memandang setiap individu dalam bingkai persaudaraan dan persamaan. Bukan sebaliknya terjebak kikuk membawa hamba Allah Swt ke jurang curam menuhankan surga.

Oleh : Jaya Nug Miharka (Akademisi Pecinta pluralisme)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun