Mohon tunggu...
Jayanto
Jayanto Mohon Tunggu... Programmer - passion - family - meditation

passion - family - meditation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Batu Hitam, Batu Putih: Intisari Filosofi Buddhisme yang Jarang Dipahami

5 Desember 2015   12:04 Diperbarui: 9 Mei 2022   14:59 1894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Seperti juga anda, saya, siapapun di bumi ini, mahluk apapun yang ada di bumi ini, atau mahluk apapun yang ada di alam semesta ini memiliki jalan hidupnya masing-masing. Tidak pernah ada yang identik, tidak pernah ada yang sama seratus persen.

Setiap mahluk, membawa jalan hidupnya masing-masing ketika ia lahir. Ada yang lahir di negara yang indah ini, di Indonesia. Ada yang lahir di daerah yang selalu dingin, ada yang lahir di daerah ketinggian. Ada yang memiliki orang tua yang tegas, orang tua yang galak, orang tua yang penuh kasih sayang, dari keluarga yang super kaya, kaya, miskin, super miskin, sedang-sedang saja, tahun yang berbeda, tanggal yang berbeda, hari yang berbeda, jam yang berbeda, detik yang bebeda. Tak terhitung jumlahnya, dengan permutasi sebanyak itu maka setiap manusia lahir membawa jalan hidupnya masing-masing.

Sangat sulit ditemukan, ada seseorang yang sejak lahir hidup penuh kebahagiaan sampai mati, paling tidak ia pernah kedinginan, pernah merasa lapar, atau apapun perasaannya, ada saja perasaan yang tidak nyaman. Sebaliknya sulit ditemukan orang yang sejak lahir, selalu menderita sejak lahir sampai akhir hidupnya, paling tidak ia pernah merasa sedikit kenyang, merasa tidak kepanasan, atau sedikit bahagia melihat orang tersenyum. Kita semua adalah orang-orang yang normal, tidak extrim seperti dua contoh tadi, demikian kebanyakan orang. Kebahagiaan silih berganti dengan kesedihan atau ketidakpuasan.

Mari kita asumsikan suasana hati, suasana pikiran seperti batu. Kesedihan, penderitaan seperti Batu Hitam. Sedangkan kebahagiaan, keceriaan dan semacamnya seperti Batu Putih.

Siapapun ia, selama ia mahluk hidup maka ia membawa Batu Hitam, Batu Putih dalam hidupnya. Jika Batu Hitam tiba-tiba muncul di tangan tanpa diharapkan, ketidakpuasan muncul tanpa diharapkan. Jika Batu Putih sekonyong-konyong muncul tanpa diduga, kebahagiaan, keceriaan muncul tanpa disangka. Terus menerus Batu Hitam, Batu Putih muncul silih berganti tanpa dapat dicegah.

Ketika Batu Hitam muncul, kesulitan, kesedihan muncul, tidak nyaman, tidak memuaskan. Kita tidak suka kalau Batu Hitam itu muncul. Ingin rasanya melempar jauh-jauh batu-batu itu, tapi tidak bisa.

Sebaiknya ketika Batu Putih muncul, keceriaan, kenikmatan, perasaan menjadi nyaman dan membuat kita merasa bahagia. Ingin rasanya kita memegang erat-erat Batu-Batu Putih itu, kita ingin lagi, dan ingin lagi, tapi tetap juga tidak memuaskan, karena akhirnya Batu Putih itu akan lenyap.

Sejatinya ingin kita selalu mendapatkan Batu Putih, dan Batu Hitam tidak akan muncul, tapi kenyataan hidup tidak demikian, Batu Putih dan Batu Hitam tidak perduli dengan harapan kita ia selalu muncul sesuai kondisinya.

Agar Batu Putih muncul lebih banyak, Sang Buddha Gautama mengajarkan “Jangan berbuat jahat, tambah kebajikan”. Inilah nasihat beliau agar siapapun yang menginginkan Batu Putih dan terhindar dari Batu Hitam mendapatkan apa yang diharapkan.

Jika hidup dengan tidak berbuat jahat, maka Batu Hitam tidak bertambah, jika dalam keseharian kebajikan selalu ditambah, maka Batu Putih spontan akan bertambah. Semakin banyak kebajikan maka semakin banyak pula Batu Putih bertambah. Jika kejahatan tidak diperbuat, maka batu hitam akan perlahan-lahan akan tersingkir, karena Batu Putih akan terlihat lebih banyak.

Walaupun secara teori kita ingin berbuat baik terus menerus, terkadang ada saja kesalahan yang kita perbuat. Sehingga tanpa sadar kita menambahkan Batu Hitam, yang suatu saat akan muncul juga di tangan, yang akhirnya membuat kita tidak nyaman.

Jika ada orang lain yang mendapat Batu Hitam sangat besar, tentu ia akan menderita, mungkin sangat menderita. Jika ia adalah saudara dekat kita, kita juga dapat turut menderita. Jika ia hanya sekadar teman saja, derita kita mungkin sekadarnya juga. Jika ia orang yang tidak kita kenal mungkin sekadar tau saja, tidak ada rasa kesedihan sama sekali, biasa-biasa saja. Bahkan kita sering menasehati kalau itulah konsekwensi kehidupan, ada Batu Hitam yang harus diterima.

Sebaliknya jika kita sendiri mendapat Batu Putih yang sangat besar, keberuntungan yang sangat besar, rasanya bahagia sekali, mungkin sangat-sangat bahagia. Jika yang mendapat Batu Putih adalah kerabat dekat, maka kita juga akan bahagia, tapi tidak pakai “sekali”. Andaikata yang mendapat adalah sekadar teman, kebahagiaan kita juga sekadar juga. Jika yang mendapat adalah adalah orang yang tidak kita kenal sama sekali, mungkin kita sama sekali tidak perduli.

Mengapa jika mendapat Batu Putih kita bahagia, sedangkan jika orang lain yang mendapatkan Batu Putih kita tidak bahagia, padahal sama, Batu Putih.

Mengapa jika kita mendapat Batu Hitam kita menderita, sedangkan jika orang lain yang mendapat Batu Hitam kita tidak menderita, padahal sama Batu Hitam.

Kita menderita bukan karena Batu Hitam tersebut, kita bahagia bukan karena Batu Putih tersebut, tapi karena karena Batu-batu itu adalah milik kita. Milik saya, milik aku, kepunyaanku, hartaku. Aku, aku, aku dan aku.

Baik Batu Hitam yang membuat kita merasa menderita sebenarnya karena batu itu kita anggap milikku. Demikian juga Batu Putih yang membuat kita merasa bahagia, itu karena kita anggap sebagai milikku. Sebaliknya kalau Batu Hitam bukan milikku, maka ketidakpuasan itu juga bukan milikku. Seandainya Batu Putih itu bukan milikku, maka kebahagiaan juga bukan milikku.

Jika saja kita bisa melihat Batu Putih hanyalah sebagai Batu Putih, dan Batu Hitam sebagai Batu Hitam maka, batu-batu itu hanyalah seperti apa adanya, Batu Putih sebagai Batu Putih, Batu Hitam sebagai Batu Hitam, semua seperti apa adanya, pasti akan sangat berbeda.

Agar dapat berkesadaran demikian, makan Sang Buddha Gautama mengajarkan hal yang lebih lanjut: “Sucikan hati dan pikiran”.

Pikiran harus dibersihkan, dilatih agar tidak melihat segala sesuatu dari posisi “aku”. Tidak menempatkan “aku” sebagai pusat dari segalanya. Semua ketidakpuasan dalam kehidupan dimulai ketika memandang “aku” dengan cara yang salah. Memandang “aku” dengan cara yang salah, maka mengakibatkan semua yang dilihat menjadi pudar, menjadi tidak tepat.

Untuk melatih pikiran, membersihan pikiran, menyucikan pikiran, agar sadar, dilakukan dengan melatih samadhi (meditasi). Dalam latihan meditasi, kita berlatih melihat segala fenomena kehidupan yang muncul, berlangsung dan lenyap, terus menerus. Semua berubah, tak satupun yang tetap, muncul, berlangsung, lalu lenyap. Demikian juga pikiran kita selalu berubah, yang semua kita anggap diri kita juga berubah dalam hitungan detik, bahkan lebih cepat lagi, sehingga pandangan soal “aku” akan secara perlahan-lahan akan menjadi jelas.

Syair tersebut terdapat dalam Dhammapada 183 (salah satu bagian kecil dari kitab suci Tripitaka)

Jangan berbuat jahat,
Tambahlah kebajikan,
Sucikan hati dan pikiran,
Itulah ajaran para Buddha

Di baris terakhir “Itulah ajaran para Buddha”, artinya semua Buddha akan mengajarkan hal yang sama. Syair ini sering disebut sebagai intisari ajaran Buddhisme.

Jika saja kita dapat melihat semua fenomena kehidupan dengan jelas, dengan sadar, Batu Hitam sebagai Batu Hitam, Batu Putih sebagai Batu Putih maka kehidupan tidak akan tergoncang. Penderitaan dan Kebahagiaan berada di tempat yang sama, di pikiran. Jika pikiran sudah jernih, sudah tersadarkan, maka hidup akan menjadi tenang dan damai, semua berlalu seperti apa adanya, bebas dari ketidakpuasan.

Semakin tidak jelas, semakin tidak sadar memposisikan "aku", semakin kacau pula kehidupan. Kejahatan yang dapat dilakukan bisa sangat-sangat luar biasa, mengakibat diri sendiri menderita, bahkan orang lain juga menderita. Kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, korupsi, selingkuh, pemerkosaan, narkoba, penipuan dan segala macam kejahatan itu adalah mengambarkan bertapa gelapnya pikiran pelaku tersebut, tentu bertapa menderitanya para pelaku tersebut. 

Tanpa ada usaha menjernihkan pikiran, untuk "sadar", maka kehidupan terus menerus terlibat dengan Batu Hitam, Batu Putih, silih berganti tiada hentinya, dalam kurun waktu yang sangat-sangat lama, tak terkirakan lamanya. Sesuatu yang sangat tidak memuaskan. 

Walaupun sulit untuk memiliki pikiran yang jernih & terlatih, sadar, tapi bukanlah hal yang mustahil untuk dicapai. Perjuangan harus terus dilakukan untuk menuju ke keadaan demikian.  

Sebagai tambahan, silahkan baca tulisan ini mengenai ketidak-kekalan.

Semoga semua mahluk berbahagia

Jakarta, 5-Desember-2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun