Meningkatnya kembali eskalasi kekerasan di Papua khususnya insiden penembakan aparat yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua baru-baru ini oleh kelompok bersenjata yang ditengarai sebagai OPM serta kasus kekerasan lainya baik yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan maupun oleh kelompok sipil bersenjata sangatlah memprihatinkan karena sepertinya stigmatisasi separatis di Papua seolah tidak ada habisnya.
Mengutip pendapat seorang pengamat hukum internasional, Marinus Yaung dari Papua yang mengatakan.
“…jika memang Pemerintah Indonesia mau menyelesaikan persoalan Papua dengan cepat, tepat dan damai, maka sudah waktunya stigmatisasi separatisme buat orang Papua yang masih berseberangan pemikiran dengan Pemerintah Indonesia harus dikeluarkan dari ruang publik.”
Pernyataan ini sudah sering diungkapkannya dalam berbagai kesempatan. Terakhir pernyataan itu dilontarkan beberapa waktu lalu terkait rencana kedatangan kelompok aktivis Papua merdeka yang menamakan dirinya Freedom Flotilla dari Australia.(http://bintangpapua.com/index.php/lain-lain/k2-information/halaman-utama/item/8084-konvoi-kapal-freedom-flotila-diakui-majelis-umum-pbb)
Saya sepakat dengan substansi pernyataannya itu dengan catatan, stigma separatisme akan terhapus dengan sendirinya jika mereka yang pernah menyandang predikat separatis sudah tidak lagi melakukan pemberontakan, lebih-lebih pemberontakan dengan senjata. Contohnya stigma “PKI” secara perlahan mulai meninggalkan ruang publik, tidak lagi dianggap sebagai stereotip yang menakutkan.
Selain itu realitas warga sipil dibunuh hanya karena menyampaikan pendapat di muka umum, bahkan sering dituduh sebagai anggota kelompok separatis atau stigma negatif lainnya. Bukankah kalau masyarakat melakukan demonstrasi, itu hak yang diatur dalam UU. Mereka hanya memperjuangkan kesetaraan di berbagai bidang kehidupan. Mereka sering bertanya, mengapa kami sepertinya dijadikan warga kelas dua. Itu yang seringkali mendasari mereka membuat protes kepada pemerintah.
Maraknya aksi protes yang dilakukan masyarakat sipil, di Papua sebagian besar juga bersumber dari tidak diakui dan dihargainya hak-hak atas tanah warisan leluhur. Selama ini tanah dianggggap sebagai hak milik negara. Karena itu, atas nama UU setiap kali negara boleh saja mengambil secara paksa untuk kepentingan umum tanpa memberikan kompensasi yang setimpal. Tidak hanya di Papua bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia terjadi sengketa tanah ulayat, untuk itu sebaiknya BPN harus bekerja lebih ekstra dan lebih berbenah diri.
Kondisi pengambilalihan tanah secara paksa untuk kepentingan umum tanpa memberikan kompensasi yang setimpal tersebutlah yang kemudian berujung pada gerakan-gerakan masyarakat yang memprotes kondisi tersebut. Mereka dituding sebagai anggota gerakan separatis, hal tersebut bukan malah menyelesaikan masalah namun justru meninggalkan benih-benih konflik yang sewaktu-waktu bisa meledak. Munculnya aksi-aksi semacam itu sesungguhnya tidak perlu terjadi. Semua itu tergantung bagaimana pemerintah memposisikan diri sebagai pelayan masyarakat. Masyarakat sebenarnya menuntut agar mereka dihargai sebagai pemilik ulayat. Jika itu tidak dilakukan, maka akan tetap muncul konflik, karena hak-hak ekonomi masyarakat atas tanahnya tak diakomodir semestinya. Kelihatan tak ada ruang bagi masyarakat di Papua.
Nah, bagaimana stigma separatisme itu bisa terhapus secara alamiah kalau mereka terus diprovokasi untuk melakukan pemberontakan. Dan lebih parah lagi, pemberontakan untuk mendirikan negara dalam negara dibenarkan sebagai bagian dari hak asasi? Mari kita renungkan bersama
Namun sebagai bangsa yang besar kita tetap optimistis bahwa suatu saat gerakan separatisme di Papua akan redup seiring dengan semakin meningkatnya kesejahteraan dan kemandirian warga Papua. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H