Mohon tunggu...
Diesa Callista
Diesa Callista Mohon Tunggu... -

Hanya Seorang Anak Bangsa yang ingin melihat kejayaan, kemajuan, dan keberhasilan Bangsa dan Negaranya. Indonesia Bisa Jadi Negara Besar Dengan Berbagai Kebesarannya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bersama Kita Bisa Berantas Korupsi

18 September 2014   22:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi.

Mustahil Dimungkiri, Korupsi telah menjadi musuh nomor satu, lawan paling membahayakan bagi kelangsungan bangsa ini. Kenapa korupsi bukannya surut dan malah kian menggila?  Salah satunya disebabkan belum semua penegak hukum berada dalam satu nafas untuk mengedepankan ketegasan dalam memberantas korupsi. Ketegasan sebagai syarat mutlak guna menghadirkan efek jera masih jauh dari harapan sebab ketegasan yang dilakukan oleh penegak hukum saat ini merupakan ketegasan yang menghentak pada suatu waktu, tetapi melempem di lain waktu.

Hal tersebut dibuktikan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam vonis hukuman Ratu Atut Chosiyah. Majelis hakim memang memiliki pertimbangan dan kewenangan sendiri dalam vonis tersebut, namun bagi publik hal itu jelas mengecewakan karena vonisnya yang terbilang ringan untuk koruptor sekelas Ratu Atut Chosiyah. Vonis itu sekaligus menunjukkan inkonsistensi hakim dalam menyikapi kasus korupsi, putusan hakim untuk atut memamg wajib dihormati, tetapi bukan berarti diterima begitu saja.

Indonesia sudah mewabah dengan korupsi. Korupsi, dengan beberapa perkecualian, sudah merajalela di hampir seluruh instansi publik di seluruh eselon pemerintahan di pusat maupun di daerah. Hampir tanpa ada rasa malu lagi bila yang bersangkutan tersangkut korupsi. Bahkan pihak swasta, non pemerintah, turut bermain mata, kongkalikong, bila berurusan dengan instansi/pegawai pemerintah.

Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.

Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus matarantainya.

Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari “mewah”. Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.

Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Oleh karena itu kita mendukung langkah KPK untuk mengajukan banding sekaligus  menyiapkan amunisi baru guna membidik Atut dalam perkara korupsi lainnya dan tentunya kita berharap pengadilan yang lebih tinggi nanti dapat lebih peka, lebih memiliki kepedulian dalam pemberantasan korupsi karena sudah saatnya mereka memberikan contoh bagaimana seharusnya penegak hukum bersikap menghadapi kasus korupsi, sudah saatnya keadilan di negeri ini ditegakkan kembali, dan sudah saatnya pula kita bersihkan Negara ini dari Korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun