Mohon tunggu...
Diesa Callista
Diesa Callista Mohon Tunggu... -

Hanya Seorang Anak Bangsa yang ingin melihat kejayaan, kemajuan, dan keberhasilan Bangsa dan Negaranya. Indonesia Bisa Jadi Negara Besar Dengan Berbagai Kebesarannya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mari Kobarkan Semangat Nasionalisme

8 April 2015   09:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:23 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lunturnya nasionalisme menyebabkan terjadinya krisis identitas nasional di kalangan masyarakat. Identitas nasional Indonesia meliputi segenap hal yang dimiliki bangsa Indonesia dan membedakannya dengan bangsa lain seperti kondisi geografis, sumber kekayaan alam, kependudukan, ideologi dan agama, politik negara, ekonomi, pertahanan keamanan, serta budaya. Saat ini banyak penduduk Indonesia, terutama generasi muda, telah melupakan unsur-unsur kebudayaan yang merupakan salah satu basis dari identitas nasional suatu bangsa. Budaya asing yang menumpang masuk melalui perahu globalisasi telah banyak mengubah pola hidup generasi muda saat ini, termasuk melupakan kultur budaya bangsa sendiri. Di sisi lain bagi kalangan tertentu, keprihatinan terhadap semangat nasionalisme terkadang dipandang sebagai sikap yang konservatif. Namun, dalam konteks berbangsa dan bernegara, keprihatinan ini sesungguhnya merupakan sebuah fakta bahwa kredibilitas Pancasila memang sedang merosot dan pendidikan kewarganegaraan tidak populer lagi. Sebab musababnya bisa bermacam-macam.

Sejak reformasi, masyarakat memang mengalami perubahan yang sangat besar. Reformasi dinilai telah mengantarkan bangsa Indonesia pada dunia baru yang sama sekali lain, terbuka dan liberal, di tengah arus globalisasi yang tidak hanya mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, tetapi juga menyatukan orientasi dan budaya menuju satu budaya dunia (world culture).

Penyatuan dan penyeragaman itu kian hari bahkan semakin intensif, massal, dan menyeluruh. Melalui sarana media komunikasi dan informasi yang bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Semua perkembangan ini menegaskan negara bukan lagi satu-satunya entitas yang memungkinkan hubungan antarbangsa dapat terjadi. Hubungan antarbangsa menjadi semakin terbuka. Pertanyaannya, bagaimana nasib nasionalisme?.Meskipun demikian kita harus memiliki sikap optimis terhadap nasionalisme. Sebagai sebuah kesadaran, nasionalisme tidak akan menghilang sepanjang nation state itu ada, sebab hubungan keduanya ibarat tulang dan daging. Globalisasi memang merelatifkan batas antar negara (borderless), mengubah selera dan gaya hidup satu masyarakat bangsa menjadi sama dengan bangsa lain, serta menyatukan orientasi budaya menuju satu budaya dunia (world culture). Namun, itu sama sekali tidak akan menghilangkan nation state karena, sehebat apa pun arus globalisasi itu bangsa dan negara tetap dibutuhkan oleh setiap orang.

Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus dari semua kalangan, mengenai merosotnya kredibilitas Pancasila dan hilangnya minat tentang pendidikan kewarganegaraan. Hal ini jelas menjadi masalah yang cukup penting untuk masa depan bangsa dan negara. Namun, semua itu akan kembali normal jika pendidikan kewarganegaraan mulai ditekankan dan ditanamkan sejak dini. Tentunya, dimulai dari anak usia dini, pelajar SD, SMP, SMA, bahkan di Perguruan Tinggi seluruh Fakultas. Memberikan penekanan terhadap lembaga pendidikan dan instansi swasta maupun pemerintah agar menyelenggarakan upacara Bendera yang dilaksanakan hari Senin dan upacara Hari Besar Nasional lainnya. Selain itu kegiatan seperti seminar, workshop, pelatihan atau diskusi juga akan mengembalikan semangat dan paham kewarganegaraan.

Tidak dapat dipungkiri globalisasi merupakan masalah mendunia yang dapat mengubah suatu Negara menjadi Negara lain, apabila tidak disikapi secara dewasa. Globalisasi boleh saja masuk ke Indonesia, namun, identitas harus tetap terjaga. Jadikan saja budaya asing yang masuk ke negara ini sebagai pembelajaran dan tolak ukur untuk mengembangkan budaya sendiri. Bukan malah lebih sibuk mempelajari budaya asing hingga mengabaikan budaya dan identitas sendiri. Apa lagi menghilangkan dan menggantinya dengan budaya luar. Perhatikan budaya – budaya tradisional yang saat ini juga mulai terkikis karena pemudanya tidak lagi tertarik. Ironis sekali jika ada anak seusia SD lebih tahu tentang K-POP dibandingkan dengan budaya asli tanah kelahirannya. Intinya, globalisasi bisa kita ambil baiknya saja, tanpa mengabaikan norma dan identitas bangsa dan negara sendiri demi tetap menjaga semangat nasionalisme.

Secara sosiologis dan psikologis, selain masyarakat luas, komunitas yang paling mudah terkena pengaruh fenomena global itu adalah kalangan generasi muda, khususnya para remaja, yang berada dalam fase kehidupan pancaroba yang labil dan fase pencarian identitas diri. Fenomena ini sesungguhnya menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia. Apakah globalisasi akan berakibat pada kemerosotan atau malah sebaliknya. Di sinilah letak penting dan sentralnya peran dunia pendidikan dalam membawa para remaja khususnya dan generasi muda pada umumnya untuk menuju ke arah perubahan sosial yang sekaligus bermakna kemajuan sosial dan kemajuan bangsa. Pendidikan menjadi penentu masa depan bangsa dan negara ke depan.

Dalam sejarah Indonesia, pemuda cukup memainkan peranan dalam 'mendesain' setiap peristiwa besar perubahan bangsa ini, bahkan sekaligus menjadi aktor utama dalam peristiwa perubahan tersebut. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pemuda telah memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menerjemahkan semangat zamannya masing-masing. Namun di sisi lain, kenyataan memilukan yang juga sering mengemuka di setiap panggung sejarah perubahan adalah bahwa kaum muda seperti kurang memiliki energi untuk mengarahkan perubahan serta kurang memiliki kesiapan kompetensi untuk mengisi perubahan tersebut. Di situlah letak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan, baik di tingkat lokal seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, kemandirian dan lain-lain maupun di tingkat global seperti isu-isu lingkungan hidup, pemanasan global, terorisme, dan sebagainya. Itu semua tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh para pemuda yang hanya bisa bernostalgia dan beromantisme mengenang masa yang telah berlalu apalagi yang lebih mengenal budaya asing disbanding budayanya sendiri.

Setiap perubahan perlu energi besar yang lahir dari jiwa yang senantiasa menggelora khas anak muda, cerminan dari hati yang bersih serta nurani yang senantiasa berkobar. Intinya adalah ketika sensitivitas krisis dari generasi muda terus melemah serta kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan besar telah terkikis, maka tunggulah saat di mana pemuda akan semakin menepi dan terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban. Zaman mungkin boleh berubah, semangat zaman yang menyertainya pun mungkin saja berbeda. Tetapi sekali lagi, akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap jika tetap ada sekelompok pemuda di setiap zaman yang tidak kehilangan sensitivitas dan kepeduliannya. Dua hal ini merupakan substansi dari nasionalisme yang dapat dipakai sebagai syarat minimal guna menakar nasionalisme kaum muda di setiap zaman. Semoga masyarakat tidak lagi enggan mempelajari dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun