Mohon tunggu...
Diesa Callista
Diesa Callista Mohon Tunggu... -

Hanya Seorang Anak Bangsa yang ingin melihat kejayaan, kemajuan, dan keberhasilan Bangsa dan Negaranya. Indonesia Bisa Jadi Negara Besar Dengan Berbagai Kebesarannya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menyongsong Generasi Muda yang Lebih Baik

16 Desember 2014   19:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:11 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14187089951785171207

Apabila Menyoroti tentang kasus kekerasan yang terjadi di antara remaja selama beberapa tahun terakhir mulai dari tawuran antar sekolah, kasus STPDN, kasus smack down yang dilakukan anak SD, geng motor asal Bandung, kasus beredarnya foto-foto dan video pergaulan bebas antar remaja, foto-foto syur di situs jejaring sosial dan bahkan bisnis sex lewat jejaring sosial oleh remaja, kekerasan remaja juga sering menghiasi berita-berita di koran, banyaknya kasus aborsi pada remaja, penganiayaan, bahkan mutilasi kian bertambah, hingga yang terakhir maraknya pembunuhan karena alasan cemburu. Global Status Report on Violence Prevention 2014 menerbitkan data laporan tentang penganiayaan anak, kekerasan remaja, pelecehan seksual, dan penelantaran manula dari 133 negara. Sekitar 250.000 kasus pembunuhan remaja terjadi sepanjang tahun 2013, yaitu 43% dari total jumlah pembunuhan global setiap tahunnya sungguh angka yang patut dikhawatirkan.

Tingkat pembunuhan remaja sangatlah bervariasi. Namun di semua negara, remaja laki-laki merupakan mayoritas pelaku dan juga korban pembunuhan. Tingkat pembunuhan pada remaja perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki di hampir semua negara. Pembunuhan dan kekerasan remaja tidak hanya berkontribusi besar terhadap beban global kematian dini, cedera, dan cacat, tetapi juga memiliki dampak serius, sering kali bahkan seumur hidup, pada fungsi psikologis dan sosial seseorang. Kekerasan seksual juga menduduki proporsi yang signifikan, yaitu 24% gadis remaja mengalami kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan seksual pertama mereka. Laporan Multi-Country Study on Women’s Health and Domestic Violence menyebutkan bahwa kekerasan fisik dan intimidasi juga umum di kalangan remaja. Laporan dari 40 negara berkembang menunjukkan bahwa intimidasi terjadi pada 45,2% remaja laki-laki dan 35,8% gadis atau remaja perempuan.

Fenomena kehidupan sebagian remaja di kota-kota besar saat ini sangatlah memprihatinkan. Sebagian  besar dari mereka sudah banyak yang mengalami degradasi moral yang parah dan ironisnya kemunduran moral tersebut justru dianggap sebagai trend atau budaya modern yang wajar. Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi selain memberi manfaat juga berdampak buruk bagi remaja, yang notabene masih dalam masa transisi serta dalam proses pencarian jati diri. Masa remaja adalah masa yang rawan bagi masuknya pengaruh dalam membentuk karakter seseorang sekaligus menentukan nasibnya kelak. Masa Remaja sangatlah rentan disusupi pengaruh buruk dari lingkungan sosial mereka. Intensitas menonton film kekerasan yang tinggi yang menimbulkan adiksi juga akan membuat terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan sehingga orang yang menonton akan beranggapan kekerasaan seperti itu adalah hal yang wajar. Perkembangan teknologi memang membuat media menjadi salah satu cara anak belajar bersosialisasi. Kegemaran anak menonton film dibandingkan bersosialiasi dengan keluarga membuat anak menyerap secara mentah nilai-nilai yang diajarkan oleh film, termasuk nilai kekerasan. Akhirnya, nilai-nilai kekerasan yang diserap tidak seimbang dengan minimnya nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan, sehingga ia tidak ragu-ragu untuk melakukan kekerasan dalam pergaulan dan kehidupan sosialnya.

Apabila dikaji dari segi faktor penyebab meningkatkan kekerasan oleh remaja atau degradasi moral remaja maka sangatlah kompleks dan beragam serta sarat akan perdebatan dan multi asumsi dan arumen. Namun secara umum faktor yang dapat meningkatkan terjadinya kekerasan remaja, antara lain

Pertama, faktor dari diri remaja sendiri yang meliputi sifat hiperaktif, impulsif, agresif, kontrol perilaku yang buruk, kurang perhatian, keterlibatan awal atau kecanduan alkohol, obat-obatan dan rokok, keyakinan aneh, dan sikap antisosial, keluarga, dan komunitas atau negara.

Kedua, faktor kecerdasan dan prestasi pendidikan yang rendah, rendahnya minat dan kegagalan di sekolah, yang berasal dari orang tua tunggal atau rumah tangga kurang harmonis, perceraian orang tua, dan praktek kekerasan dalam keluarga.

Ketiga, faktor risiko dalam hubungan dengan orang dekat dalam keluarga atau teman yang meliputi kurangnya pemantauan dan pengawasan remaja oleh orang tua, pendidikan disiplin orang tua yang terlalu keras, kendur atau bahkan tidak konsisten, keterikatan dan keterlibatan antara orang tua dan remaja yang rendah, dan keterlibatan orang tua dalam penyalahgunaan obat atau kriminalitas.

Keempat, faktor pendapatan keluarga yang rendah dan bergaul dengan remaja lainnya yang sejenis yang dapat dikatakan sulit mendapatkan pendidikan institusi/sekolah yang mengajarkan cara berkompetisi secara sehat, jujur, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan? bukan malah mengajarkan untuk berkompetisi sekuat tenaga dan menghalalkan segala cara?.

Kelima, faktor risiko dalam komunitas dan masyarakat yang lebih luas meliputi rendahnya tingkat kohesi sosial dalam masyarakat atau geng remaja dan pasokan senjata atau obat-obatan terlarang, tidak adanya alternatif nonkekerasan untuk menyelesaikan konflik antar remaja, ketimpangan pendapatan yang tinggi, perubahan sosial dan demografi yang cepat, urbanisasi, serta kualitas pemerintahan suatu negara.

Keenam, faktor pendapatan negara, pada rentang tahun 2000 – 2012, tingkat pembunuhan remaja menurun di sebagian besar negara, penurunan lebih besar terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Perilaku degradasi moral yang disebabkan oleh banyak faktor tersebut, baik internal maupun eksternal, seperti tidak mendapatkan kebahagiaan di dalam keluarga, mencari kebahagiaan di luar dan lain sebagainya. Karena apapun faktornya tidak dapat dipungkirii bahwa mentalitas seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan dan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang sehat tentunya akan memberikan “positive mindset”. Selain itu para remaja juga harus bisa selektif terhadap masuknya arus informasi secara bebas melalui media internet, tidak salah bila kita mengadopsi budaya atau teknologi dari luar terlebih untuk tujuan menambah ilmu dan pengetahuan, namun semestinya kita selektif, apabila budaya asing tersebut menyimpang dari kearifan lokal serta nilai-nilai dan norma bangsa hendaknya tidak diadopsi. Sehingga budaya dan norma ketimuran yang menjadi ciri bangsa tidak pudar.

Orang tua juga hendaknya selalu menjaga hubungan dengan anak. Anak-anak membutuhkan kasih sayang dan perhatian.”Quality time” penting buat mereka, anak tidak hanya membutuhkan uang, sandang dan papan semata. Orang tua selain perannya sebagai pelindung, harus bisa berperan sebagai mentor, sekaligus teman bagi mereka sehingga anak merasa nyaman menyampaikan masalahnya.kepada Orang tua. Bila perlu menyampaikan nasihat carilah momen yang tepat. Melarang anak saja belumlah cukup, namun juga memberikan gambaran resiko serta solusi. “Punishment” bila diperlukan hendaklah yang mendidik, bukan kekerasan fisik atau psikis. Bekali anak dengan pendidikan agama dan norma sosial. Anak tidak perlu dikekang, namun pastikan mereka berada di lingkungan yang sehat. Sebab peneltian membuktikan bila pengaruh sosial lebih dominan dalam membentuk karakter seseorang. Tentu saja orang tua harus lebih dulu menjadi contoh bagi anak-anak agar bisa menjadi model atau panutan.

Pemerintah juga hendaknya sudah mulai menanggapi dengan serius permasalahan remaja ini dengan melakukan program-program pencegahan dan pembinaan seperti keterampilan dan pembangunan sosial untuk membantu remaja mengelola kemarahan, menyelesaikan konflik, dan mengembangkan keterampilan sosial yang diperlukan untuk memecahkan masalah, kurikulum sekolah berbasis program pencegahan antiintimidasi, dan kurikulum prasekolah agar anak memiliki kemampuan akademik dan sosial sejak usia dini. Dalam tataran hukum dan aspek keamanan, dapat berupa program untuk mengurangi akses remaja ke alkohol, obat, dan rokok, yaitu melalui peningkatan pajak dan pengurangan jumlah gerai penjualan. Pemerintah juga dapat melakukan peningkatan pengelolaan lingkungan, misalnya mengurangi kesempatan remaja berkerumun dan mengurangi angka kemiskinan, membantu keluarga miskin pindah ke lingkungan sosial yang lebih baik, bantuan pendidikan, sosialisasi, maupun penyuluhan bagi anak-anak dan orangtua yang taraf hidupnya berada dibawah garis kemiskinan. Serta peningkatan pendapatan negara serta pengelolaan dan pembinaan gelandangan, geng motor, dan lain sebagainya, bila perlu diatur dalam undang-undang.

Remaja adalah generasi muda penentu kekuatan dan ekonomi bangsa ini kelak, karena itu generasi muda adalah tanggung jawab bersama, baik keluarga, para pendidik, masyarakat dan pemerintah serta yang tak kalah penting adalah para remaja itu sendiri. Sangat penting bagi pemerintah, orang tua dan para pendidik untuk mengontrol perilaku remaja dengan pendekatan yang sesuai karakter mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun