Paus terus diburu. Ancaman kepunahan membuntuti mamalia terbesar sejagat ini
INGAT cerita Pinokio yang tercebur ke laut dan kemudian “diselamatkan” ikan paus? Atau kisah persahabatan bocah laki-laki dengan ikan paus pembunuh (Orcinus orca) dalam film Freewilly? Kedua kisah fiksi itu menceritakan betapa “harmonis” hubungan antara paus dan manusia. Bagaimana kisah di dunia nyata? Hubungan paus dan manusia ternyata diwarnai cerita perburuan yang miris dan menyedihkan.
Perburuan paus sudah berlangsung sejak zaman neolitik. Berdasarkan sebuah penelitian arkelogi di situs petroglyps (ukiran batu) Bangu-Dae, Korea Selatan, perburuan paus diperkirakan sudah berlangsung sejak 6000 SM. Paus diburu dengan alat dan cara sederhana. Tombak, yang diikat tali, ditancapkan ke badan paus. Setelah lemas dan mati, paus kemudian ditarik dan diikat ke kapal.
Dr Robineau dan Sang-Mog Lee dari Museum Universitas Nasional Kyungpook di Bukgu Daegu, Korea Selatan, mengatakan bahwa paus memainkan peranan penting dalam kohesi sosial kehidupan masyarakat pembuat petroglyps. “Paus merupakan sumber makanan terpenting bagi masyarakat prasejarah saat itu,” ujar kedua peneliti itu seperti dikutip news.bbc.co.uk, 20 April 2004.
Bukti lain mengenai perburuan paus juga terdapat dalam Kojiki (kronik tertua Jepang) yang ditulis pada abad ke-7 M. Diceritakan daging paus merupakan makanan Kaisar Jimmu (507-571 M). Dalam Man'yōshū, antologi puisi tertua Jepang abad ke-8, kata “paus” sering digunakan untuk menggambarkan laut atau pantai.
Sejak zaman prasejarah, perburuan ikan paus terdapat di berbagai wilayah. Dengan ukuran tubuh yang raksasa, daging ikan paus menjadi bahan pangan, sementara lemaknya digunakan sebagai bahan bakar. Populasinya terancam ketika perdagangan ikan paus menjadi bisnis menguntungkan di Amerika.
Paus diburu karena beragam manfaat. Lemak dalam tubuh paus sejak abad ke-10 hingga 17 digunakan manusia sebagai bahan baku pembuatan lilin, produk tekstil, dan pelumas mesin. Tulang dan giginya bisa dijadikan sebagai barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti korset, piring, sisir, dan hiasan rumah. Minyaknya digunakan sebagai sumber penerangan yang tak menimbulkan bau dan asap. Tak heran jika sampai 1850 banyak orang di Amerika rela mempertaruhkan nyawa di tengah laut demi mendapatkan ikan paus.
Spesies paus yang paling sering diburu untuk diambil minyaknya yaitu paus sperma(catodon macrocephalus). Paus ini memiliki kandungan zat yang disebut spermatic di kepalanya. Zat inilah yang pada masa itu dijadikan sebagai bahan utama pembuat lilin. Diperkirakan pada abad ke-19 antara 184.000 dan 236.000 paus sperma mati diburu. Nasib mengenaskan dialami ikan paus abu-abu (Eschrichtius robustus) di Atlantik Utara yang dinyatakan punah sejak abad ke-18 –meski tahun lalu spesies ini menampakkan diri di Laut Mediterania.
Di Nusantara, paus sperma pula yang diburu penduduk pulau Lewoleba, Lembata. Satu dokumen anonim Portugis tahun 1624, seperti dikutip lembaga C2O, http://c2o-library.net, mencatat penduduk pulau Lewoleba, Lembata, memburu ikan paus dengan tombak. Penduduk juga mengumpulkan dan menjual ambergrisnya (cairan yang dihasilkan dari usus ikan paus, digunakan untuk bahan parfum, meski jarang didapatkan) di Larantuka. Catatan kuno itu mengkonfirmasi eksistensi sejarah lokal perburuan ikan paus yang sudah ada kira-kira dua abad sebelum kemunculan kapal-kapal perburuan ikan paus milik Amerika dan Inggris di kawasan perairan tersebut.
Perburuan ikan paus kian menggila ketika muncul teknik dan peralatan moderen. Pada 1864, Svend Foyn, pria berkebangsaan Norwegia, melengkapi kapal uapnya dengan harpoon, senjata khusus berburu paus biru (Balaenoptera musculus) yang terkenal besar namun gesit dan sulit ditangkap. Penemuan ini menandai bencana bagi populasi paus biru.
Pada 1903, orang Norwegia Christen Christensen menggunakan kapal uap kayu seberat 737 ton berhasil membawa 1.960 barel minyak yang dihasilkan dari tangkapan 57 paus; 40 di antaranya paus biru. Terhitung sejak 1930-1931, setidaknya 29.400 paus biru di Antartika mati diburu. (Sebuah laporan pada 2002 menyebutkan populasi paus biru sangat mengkhawatirkan, yakni 5.000 hingga 12.000 di seluruh dunia. IUCN Red List, daftar status konservasi berbagai jenis makhluk hidup yang dikeluarkan Badan Konservasi Dunia (IUCN), menempatkan paus biru sebagai hewan yang terancam punah.
Pasca-Perang Dunia II ancaman nyata terhadap populasi paus menimbulkan keprihatinan. Pada 2 Desember 1946, sebanyak 15 negara menandatangani Konvensi Internasional untuk Regulasi Perburuan Paus (ICRW) di Washington DC, Amerika Serikat. Tujuannya antara lain untuk melindungi semua spesies ikan paus dari penangkapan berlebihan dan membuat regulasi internasional.
Sayangnya, banyak negara tak mengindahkan seruan ICRW karena ketiadaan pembedaan setiap spesies membuat mereka kebingungan dan akhirnya spesies langka pun diburu. Pada 1970-an perburuan paus biru ilegal oleh Uni Soviet, yang mencapai 330.000 di Antartika, 33.000 di Belahan Selatan, 8.200 di Pasifik Utara, dan 7.000 di Atlantik Utara, mulai menarik perhatian dunia untuk serius melindungi populasi paus biru. Jepang, Islandia, dan Norwegia juga menjadi negara terbesar pemburu ikan paus. Perdebatan akhirnya menghasilkan pembentukan Komisi Perburuan Paus Internasional (IWC) pada 1982, yang dibentuk berdasarkan ICRW.
IWC memberlakukan penangguhan sementara penangkapan semua jenis ikan paus untuk tujuan komersial, dan mulai berlaku sejak 1986. Penangguhan sementara itu tak mengikat secara hukum negara anggota, karena IWC belum melakukan penilaian yang merupakan prasyarat keberlanjutan pemberlakuan penangguhan setelah tahun 1990.
Yang mengejutkan para aktivis lingkungan, pada April 2010, IWC mengajukan usulan yang melegalkan perburuan ikan paus demi tujuan komersial untuk Jepang, Islandia, dan Norwegia. Dengan catatan, ketiga negara itu harus mengurangi secara signifikan pembunuhan ikan paus selama 10 tahun ke depan. Para aktivis lingkungan menganggap keputusan itu merupakan langkah mundur.
Di Indonesia, warga Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, sampai saat ini masih melakukan perburuan ikan paus, umumnya jenis paus sperma. Sebelum melakukan penangkapan, mereka melakukan upacara atau ritual untuk meminta restu nenek moyang mereka. Proses perburuan paus di Lamalera sepenuhnya menggunakan peralatan tradisional sehingga menurut aturan internasional masih diperbolehkan.
Kenapa ikan paus mesti dilindungi? Penelitian yang dilakukan ahli oseanografi Steve Nicol, sebagaimana dikutip www.newscientist.com, menemukan fakta bahwa kotoran paus berperan dalam mengurangi jumlah karbon dioksida di dalam laut. Hal ini karena kotoran paus mengandung zat besi yang merupakan makanan utama fitoplankton, sementara fitoplankton berfungsi untuk menyerap karbondioksida. Jika paus punah, ekosistem laut menderita. Peningkatan karbon dioksida di laut menyebabkan peningkatan keasaman air laut. Peningkatan keasaman merusak perkembangan kerang dan menimbulkan hujan asam.
Dalam bayang-bayang ancaman pemanas global saat ini, bagaimana jadinya kalau semua spesies ikan paus punah?Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H