Masa 1965-1970 ini adalah masa keterbukaan dalam budaya Indonesia,  seiring tumbangnya pemerintahan Sukarno. Meskipun produk musik ketika itu hanya berupa piringan hitam yang tidak semua orang mampu membelinya, tapi musik tetap terdengar secara luas melalui radio. Dan siaran radio tidak lagi jadi monopoli RRI. Banyak sekali radio non RRI yang muncul di masa ini. Elshinta dan Prambors (Jakarta), Mara (Bandung), Geronimo (Jogja), Strato dan Suzana (Surabaya) adalah beberapa diantaranya yang masih eksis sampai hari ini. Radio Swasta yg jaman itu disebut Radam (Radio Amatir) itulah yang paling bertanggung jawab menyebar luaskan virus musik di jaman itu. Berbeda nasib dengan Film Indonesia yang hanya mampu bertahan dengan proteksi, musik Indonesia tidak pernah merasa 'inferior' untuk beradu dada menantang serbuan musik asing.  Mungkin juga hal ini karena jasa Bung Karno yang berhasil dengan program  'nation character building' nya. Generasi yang lahir pasca kemerdekaan ('baby boomers', istilah di Amrik), meskipun faseh berteriak "...............my faaaather was a gaaaaambling maaaan, down in New Orleans" (The Animals-House of Rising Sun), atau nyanyi menya-menye  "Feel ......, I'm going baaaaack to Maaaassachusetts...." (The Bee Gees-Massachusetts), tapi tetap meng'amin'i saja ajakan bang Muchsin kepada mbak Titiek Sandhora ".........bagaimana kalau kita ke Bina Riaaaaa, banyak pengunjung yang melantaaai disana ..." (Muchsin/Titiek Sandhora-Ke Bina Ria). Tapi yang jelas, musik rock 'n roll 'resmi' diterima di Indonesia sejajar dengan genre musik yang lain dan para musisi Indonesia dengan cepat belajar memainkannya. *
Dara Puspita.
Sulit untuk menuliskan musik Indonesia di masa itu tanpa menyebut kehadiran sebuah supergrup perempuan asal Surabaya ini.  Dibentuk tahun 1964, dengan beranggotakan Titiek Adji Rahman (lead-guitar) dan adiknya Lies AR (bass), Susy Nander (drum) dan Anni Kusuma (rhythm guitar). Grup ini baru mulai dikenal ketika pindah ke Jakarta (1965) dan posisi Anni Kusuma digantikan Titiek Hamzah yang memainkan bass. Meskipun album pertama mereka "Jang Pertama" (1966) tidak sepenuhnya mencerminkan gaharnya musik mereka diatas panggung, tapi album ini membuat nama grup ini semakin berkibar. [caption id="attachment_241155" align="aligncenter" width="396" caption="kaskus,us"][/caption] Mereka adalah singa-singa (betina) di atas panggung. Tidak ada lagu mereka yang sendu atau bernada sedih putus cinta. Semua lagu bernada riang, yang memungkinkan mereka berteriak, menjerit, melompat dan berjingkrak. Mereka melakukan distorsi pada gitarnya hingga meraung-raung, bahkan membantingnya di atas panggung. (Meskipun si gitar tidak sampai hancur berkeping-keping seperti kelakuan Pete Townshend, gitarisnya The Who itu). Meskipun busana panggung mereka cukup sensual (biasanya mereka memakai rok mini atau hotpants) namun tidak ada aksi panggung mereka yang menyerempet  erotisme.  Mereka cuma bermusik dan tampilannya mirip anak-anak mami yang teriak jutek karena dilarang begini-begitu.  Dan musik mereka memanglah dahsyat!. Dara Puspita kemudian melakukan tour panjang ke Eropa 1968, pulang 1971 dan mendapat sambutan sangat meriah di bandara Kemayoran.  Setahun penuh mereka kemudian tour keliling Indonesia dengan konsep musik yang lebih sempurna dan ...................bubar tahun 1972 di puncak kejayaannya.  Bisa dibayangkan posisi mereka pada tour terakhir itu, kalau yang menjadi band pembuka adalah Rollies asal Bandung,  yang ketika itupun juga sudah menjadi sebuah supergrup. Selama mereka di Inggris, mereka sempat merekam 2 single untuk CBS dan sebuah lagi untuk Philips di Belanda. Lagu Ba-Da-Da-Dum ini adalah salah satu diantaranya. Kesuksesan Dara Puspita membuat banyak grup perempuan lain bermunculan. The Female, Beach Girls, The Candies dan salah satu yang cukup sukses,....... The Singers.  Dinamakan The Singers karena semua anggotanya adalah para penyanyi perempuan yang 'nyambi' bermain musik. Neneng Salmiah (gitar), Tuty Thaher (bass),  Sally Sardjan (organ), Shinta Dungga (gitar) dan Henny Purwonegoro (drums). Tapi tidak ada satupun yang mampu menyamai pencapaian sang Dara Puspita....... *
Titiek Sandhora.
Penyanyi kelahiran Brebes yang besar di Solo, yang bernama asli Oemiyati ini memang berhak untuk 'memiliki' era itu.  Banyak lagunya menjadi hits dan jadi sajian utama di berbagai radam.  Si Boncel, Si Djago Mogok, Tante Tjerewet,  Gunung Fujiyama,  Di Batas Kota adalah beberapa diantaranya. Suaranya yang bening, lantang dan 'childish' ditopang oleh lagunya yang mudah dicerna melambungkan namanya ke tempat teratas deretan penyanyi paling ngetop di jaman itu. [caption id="attachment_241157" align="aligncenter" width="200" caption="djadoelantik.bogspot.com"]
Bob Tutupoly.
Namanya sebenarnya sudah beredar jauh sebelumnya.  Bersama The Jazz Riders,  Bob mengisi acara tetap di restoran mewah (ketika itu) Nirwana Supper Club di Hotel Indonesia. [caption id="attachment_241158" align="aligncenter" width="266" caption="driwancybernuseum.wordpress"]
Ida Laila.
Namanya sudah tercatat ketika tahun 60an menyanyikan lagu ciptaan Achmadi,  Siksa Kubur. Sayangnya lagu ini lebih terkenal ketika didaur ulang oleh Rita Sugiarto, dan terutama setelah PSP membawakannya secara slenge'an. [caption id="attachment_241159" align="aligncenter" width="180" caption="iyaa.com"]
Koes Plus.
Seusai lepas dari penjara di masa pemerintahan Sukarno, Â grup Koes Bersaudara masih eksis dan masih aktif rekaman (To The So Called Guilties, 1967). Â Tapi album ini jeblok di pasar. Â Karena itu Nomo Koeswoyo sang drummer, memutuskan untuk berhenti bermain musik. Â Untunglah, Â sang kakak, Tonny Koeswoyo tetap ngeyel dan mengajak Kasmuri asal Jember untuk menggantikan posisi Nomo. Â Lahirlah Koes Plus, 1969. [caption id="attachment_241160" align="aligncenter" width="300" caption="last.fm"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H