Gegar Budaya alias "Culture Shock" kata den baguse Alvin Toffler.
Itulah yang terjadi pada saya ketika pertama pindah ke Jakarta (atau Pinggiran dari Pinggiran yang sangat Pinggir dari Pinggiran Jakarta tepatnya hehehe) dari domisili saya sebelumnya. Â Semuanya sebenarnya tidak saya perhatikan sungguh-sungguh, sampai suatu saat saya harus terbentur (atau membenturkan diri?) pada perbedaan budaya yang kelihatannya sepele ini.
Benar, hanya masalah Pedagang Keliling!
Di tempat domisili saya sebelum ini, waktu rasanya tak perlu dikejar. Kekinian haruslah dinikmati. Besok biasa dilafalkan sebagai 'mbesok',  yang bisa berarti kapan-kapan.
Para pedagang keliling dalam menjajakan dagangannya pun teriakannya jelas, ga terburu2, malah kadang sangat melodius.  Penjual Nasi Liwet berteriak "Nasiiiii" dengan cara membunyikan 'iiiiiiii' yang mirip banget dengan teriakan bung Hyde, vokalisnya grup bandL'Arc en Ciel itu, ketika menyanyikan refrain lagu Jiyuu e No Shotai. Penjual Pecel melantunkan "Pecel, peceeeel" dalam cengkok keroncong yang indah khas mbak Waljinah. Tengah malam? Ada penjual minuman hangat dan makanan ringan, yang sabar menanti pembelinya menghabiskan kopinya, biar cuma senilai 3 ribu saja. Teriakannya yang berat, serak, tidak kencang tapi menggetarkan dada, seperti mbah Louis Armstrong, "heeeeeeek".
[caption id="attachment_259208" align="aligncenter" width="507" caption="teng, teng, teng, topraaaaaaaak! (terkonyol.com)"][/caption] Suatu pagi di hari kerja, saya harus menyelesaikan pekerjaan di rumah saya yang di pinggiran dari pinggiran yang sangat pinggir dari pinggiran Jakarta ini. Â Anak2 ke sekolah dan istri pergi menengok keluarga di Rumah Sakit. Â Sebelum pergi istri berpesan jelas, mantab, dan instruksional. "Tolong beli tahu basah 10 biji buat makan siang. Beli aja di tukang tahu yang biasa. Â Sekalian digoreng, untuk makan siangmu dan anak2. Â Sayur ada di kulkas, tinggal dipanaskan!". Nah! Urusan menggoreng mungkin ga jadi masalah, (sekadar menggoreng tahu saja buat seorang chef seperti saya, Â mestinya bukan masalah besar kan?). Tapi beli tahunya ini. Dimana? Bagaimana? Tukang tahu yang biasa itu siapa?. Karena saya tergolong suami yang sayang isteri (istilah premannya "Suami takut Isteri"), bulatlah tekad ini untuk menghadang jalan pedagang tahu dan membeli dagangannya 10 biji. Apapun yang terjadi!
Kebulatan tekad saya diuji untuk pertama kalinya, ketika sadar bahwa tidak ada satupun pedagang keliling yang berteriak "tahuuuuu". Yang lewat cuma berteriak  Aaa, Eee, Iii, Ooo, Uuu. Efisien, tapi menjengkelkan! Karena saya dianugerahi kejeniusan ala Einstein ketika menemukan rumus E=mc2, maka saya mampu menurunkan rumus berdasarkan logika bahwa pedagang tahu seharusnya berteriak "Uuuuu".
Ketika ada yang berteriak di jalan "Uuuu", dari dalam kamar saya balas berteriak kencang "Uuu" ala supporter Jakmania ketika meneriaki wasit, hanya untuk menemukan Penjual Abu Gosok di pintu pagar.
Setelah itu saya mungkin berlari secepat mas Suryo Agung Wibowo ketika memecahkan rekor lari 100 m, kemudian menunggu di pintu pagar dan menemukan yang berteriak "Uuu" berikutnya adalah Tukang Sol Sepatu.
Masih banyak pelantun "Uuuu" berikutnya, dan yang saya temukan pagi itu hanyalah Tukang Sayur, Penjual Kasur, Pedagang Bubur Ayam, dan Pedagang Sapu.
Kesal, frustasi dan overheating, saya tumpahkan seluruhnya untuk peneriak "Uuu" berikutnya yang ternyata adalah Pedagang Roti.  Sambil kacak pinggang, ngos-ngosan, saya teriak sambil tunjuk-tunjuk si Tukang Roti "Yang bener dong, masa jualan roti teriak uuuu. Jaka Sembung piara kucing lu! (maksud saya: Kagak nyambung Cing!)" Sambil pasang muka 'innocent' si Tukang Roti bilang, simpel, santai, anggun, namun bikin saya mati berdiri.  Sambil nunjuk gerobaknya dia bilang: "Saya jual roti merknya Lawu, pak".