Ini dianggap sebagai persoalan yang muncul sejak lahirnya UU tentang perlindungan anak. Guru yang biasanya 'keras' dalam mendidik murid berangsur mengambil sikap acuh dan akhirnya tak mau tahu apakah si anak didik akan bisa berlaku baik, disiplin, rajin atau sebaliknya.
Batin guru makin prihatin tapi lebih baik masa bodoh! Guru yang biasanya risau melihat anak yang suka bolos, malas bikin PR, atau sering bikin gaduh di kelas dan sekolah, memilih jalan aman: masuk kelas sesuai jadwalnya, mengajar, selesai, lalu pulang.
Seorang guru, teman saya, kakak kelas satu SD, SMP dan SMA, mengaku tak berani berlaku keras kepada muridnya yang jelas-jelas bandel, lantaran berkaca pada sejumlah kasus dimana guru justru dilaporkan ke polisi oleh wali murid lantaran cara mendidik guru yang tak diterima si murid.
Orang tua/wali murid yang tak pandai menelaah pengaduan anaknya malah ikutan memperkeruh. Datang ke sekolah, lapor kepala sekolah. Kalau tak puas, kakinya melangkah ke ranah pidana. Guru divonis salah, si murid bisa jadi musuh bersama di sekolah. Mungkin lantaran tak mau larut dalam dilema itu, teman saya ini kini memilih jalur struktural di Dinas Pendidikan Nasional Pemkab Lebong. Jabatannya sudah pelaksana tugas kepala bidang.
Kalau dulu...
Jaman saya sekolah, mulai SD sampai SMU, guru adalah sosok yang memang bisa disukai, dikagumi, diidolakan, panutan. Sekaligus juga ada sosok yang kita tak sukai, kita takuti, kita kata-katai cepat pindah. Tapi ketika guru marah, tak pernah sampai ada pikiran mengadu ke orang tua. Kalau lapor orang tua, bukan pembelaan yang kita terima. Yang dapat adalah nasehat bagaimana merubah sikap supaya tak lagi dimarah di sekolah.
Anak-anak sekolah sekarang kalau jumpa gurunya di jalan, di luar jam sekolah, mereka sangat ramah. Saking ramah, cara menegurnya pun terkesan si guru teman seumuran, sebayanya. "Halo pak," sapa si anak sembari melambai tangan.
Saya dan teman seangkatan dulu, kalau melihat guru dari jauh saja sudah susun rencana mengelak, jangan sampai papasan. Kalau bisa, guru tak sempat melihat kita di jalan. Keluyuran tak jelas tujuan. Â Guru adalah sosok yang bisa membuat kami tak berani keluar malam apalagi nongkrong di perempatan, di pinggir jalan.
 Masih teringat waktu kelas 4 SD. Saya berkelahi dengan teman sekelas sepulang sekolah. Adu fisik kami mulai setelah melewati gerbang sekolah. Paling baru sekitar 25 meter jauhnya. Besoknya di kelas, kami disuruh maju ke depan. Tanpa bicara, kami berdua makan tangan alias ditampar guru olahraga yang melihat kami berkelahi.
Waktu di SMP, ada guru yang paling kami takuti dibanding yang lain. Beliau guru agama. Beliau seringkali menampar, menjewer kalau anak-anak bikin ulah apalagi masalah. Tapi seingat saya, ulahnya tak pernah sampai diprotes orang tua. Saya yang juga pernah merasakan amarah beliau tak sedikitpun dendam. Cara beliau mendidik kami justru menjadi cerita yang asyik dan menggelitik atau sekedar bahan mengejek diri sendiri dan teman kala bersua setamat sekolah.
Di SMA, saya mengalamai dua cara memimpin kepala sekolah yang sangat berbeda. Yang pertama disiplin tingkat dewa. Tak cuma siswa/siswi yang ditindak, guru yang tak disiplin juga bisa dia semprot. Tak pernah pakai kekerasan fisik. Cuma pakai kata-kata yang bikin kita tak berkutik. Kata-katanya menusuk, pedas. Â Tapi SMA saya di masa beliau justru bisa raih prestasi tingkat provinsi dan nasional kala itu. Peringkat keselas nasional untuk kategori wiyatamandala. Di masa itu (sekitar tahun 1995-an), masuk hitungan nasional untuk sekolah di kecamatan sungguh membanggakan.