Mohon tunggu...
JAYA ERIYANTO E SIBORO
JAYA ERIYANTO E SIBORO Mohon Tunggu... -

Menulis untuk belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

BINUKA, Menjaga Pancasila dengan Toleransi dan Demokrasi

14 September 2016   21:25 Diperbarui: 14 September 2016   21:28 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di akhir masa kepengurusan saya sebagai Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Bengkulu, sahabat saya yang juga mantan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Bengkulu, Firman Tobing, datang menghampiri. Ia ditemani aktivis PMII, Dedy Mardiansyah (ketua KNPI Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan) dan Fery (ketua umum PMII Cabang Bengkulu). Malam itu PMII memang (selalu) diundang hadir dalam acara pelantikan ketua presidium PMKRI Cabang Bengkulu periode 2002-2003, Leny Veronika.

Di teras Gereja Katolik St.Yohannes, malam itu, kami lalu duduk. Dia langsung to the point, “Bagaimana selanjutnya, Pak?” Saya agak lama diam. Masih berpikir sebab tak menduga pertanyaan tersebut, beliau sudah menawarkan gagasan agar kami melanjutkan forum-forum diskusi yang sering kami selenggarakan.

Saya masih mengira-ngira maksud Firman. Tapi malam itu saya menangkap pesan, ia mengajak saya dan teman-teman eks fungsionaris PMKRI membentuk lembaga baru yang bisa dijalankan bersama-sama oleh aktivis PMKRI dan PMII yang sudah purnabakti di masing-masing organisasi mahasiswa ekstra-kampus itu.

Meski awalnya saya tak langsung menyambut karena pikiran saya sudah menjurus ke urusan menyelesaikan studi, ajakan Firman dan teman-teman PMII itu akhirnya kami wujudkan dengan mendirikan sebuah organisasi berbadan hukum. Namanya BINUKA Institute. Kami pilih badan hukum perkumpulan, bukan yayasan. Alasannya, kami tak punya duit. Swadaya. Maklum masih mahasiswa.

Tidak ada prestasi istimewa yang diraih BINUKA. Karena setelah launching perdana dengan seminar soal kebangsaan, kebhinekaan,toleransi dan demokrasi, masing-masing pendiri tak kuasa melawan tuntutan diri sendiri: menuntaskan studi, pulang kampung (karena sebagian adalah anak kost), atau mencari kerja demi kelangsungan hidup dan tanggung jawab keluarga.

Tulisan ini tak bermaksud apa-apa, kecuali mencatat pengalaman pribadi bersama- kawan-kawan/sahabat saya di masa kuliah dulu. Pun tak berlebihan rasanya jika saya boleh berharap pengalaman ini bisa bermanfaat bagi adik-adik kami yang masih aktif belajar, baik di PMKRI maupun PMII.

Secara kelembagaan,BINUKA memang belum berbuat apa-apa. Namun kelahiran lembaga ini yang bagi saya menjadi pencapaian tersendiri. Sebab untuk sampai ke titik dimana kami bisa leluasa, tanpa beban bicara soal agama an sich, adalah pencapaian yang tak terjadi dalam tempo yang singkat.

Bisa dibilang, pencapaian itu terwujud setelah kami secara periodik dan intens menggelar diskusi dengan tema-tema demokrasi, keberagaman, dan kebangsaan. Meski Bengkulu relative sepi dari kasus kekerasan atas nama SARA, tapi justru itu yang membuat kami mau Bengkulu tetap sepi dari kekerasan apalagi kerusuhan berdasar SARA.

Nama BINUKA, misalnya, tak muncul serta merta. Itu sebuah nama sarat makna. Di antaranya, yang masih saya ingat dari hasil diskusi kami kala itu, adalah bisa singkatan dari Bhineka Tunggal Ika; atau dalam Bahasa Rejang bisa diartikan sebagai ‘telah dibuka’ (asal kata bi nuka (k), bi nukok), yang maknanya telah dibuka suatu wadah…

Kami juga (tak sengaja) memplesetkan BINUKA sebagai wadah Barisan Indonesia, orang-orang muda NU dan KAtolik. Plesetan ini yang membuat kami terbahak-bahak seolah tak percaya ini bisa ada. Kami yang masih belia, usia rata-rata di bawah 25 tahun, seolah tak menyadari bahwa kami tengah meneruskan cita-cita the founding fathers and mothers, yakni menjaga semangat Pancasila dan NKRI.

Tak bisa dipungkiri, di masa itu kami memang mengagumi pemikiran dan perjuangan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kiprah Gus Dur membangun demokrasi lewat Prodem-nya dan memelihara toleransi itulah yang menjadi teladan bagi kami untuk turut serta membangun bangsa ini lewat kajian,studi dan aksi bersama perkumpulan BINUKA tadi. Kami juga kerap mendiskusikan tulisan-tulisan Ulil Abshar Abdalla dan teman-temannya dari Jaringan Islam Liberal, pemikiran Islam Cak Nur (Nurcholis Madjid) atau karya-karya Romo Mangun Wijaya dan Frans Magnis Suseno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun