Sebagai mahasiswa yang tengah menempuh program magister, ulah Boby Febri Krisdiyanto, sungguh tak mencerminkan dirinya sebagai orang yang terpelajar, kaum intelektual. Kampus yang terbiasa dengan hal-hal logis, ilmiah, akademik, dialektik malah dinegasikan dengan ulah Boby. Ah, kau Bob!
Sebagai warga yang tak mungkin memberikan hak suara di DKI Jakarta, saya tak punya pretensi apa-apa. Mau pilih Ahok atau bukan, itu urusan warga DKI Jakarta. Saya dan mungkin sebagai besar warga luar Jakarta hanya tertarik saja dengan Pilkada Jakarta.
Mengapa? Karena Pilkada Jakarta banyak disorot media, baik cetak, elektronik maupun online. Pilkada Jakarta, kata elit, pakar dan politisi senayan, adalah barometer politik nasional. Taruhannya Pileg dan Pilpres yang akan datang. Apa iya? Entahlah.
Sebagai penikmat berita politik, saya tak habis pikir mengapa pertarungan politik di Jakarta masih mengedepankan cara-cara murahan, primordial dalam menarik perhatian dan dukungan. Sudah jelas-jelas dilarang bawa-bawa SARA, kok masih bebal saja.
Tengoklah pernyataan-pernyataan penolak Ahok sebelum si Boby ini. Musisi sekelas Ahmad Dani justru tampil bak badut politik dengan sikap-sikap dan statemennya. Tak ada isinya, makin sering disorot media makin ketahuan dia tak nalar bicara politik.
Contohlah Zulkifli Hasan, Ketua MPR RI. Ia menolak Ahok dengan argumen yang pas. Masuk akal dan logis. Dan mestinya Sandiaga Uno atau calon penantang Ahok pun harus bisa menyampaikan alasan yang nalar mengapa dia lebih layak memimpin DKI Jakarta.Â
Parpol penolak Ahok juga harus ingat bahwa salah satu tanggung jawab partai adalah melakukan pendidikan politik. Batasannya jelas, apa visi, misi dan program kandidatnya. Bukan ikut bikin gaduh dengan menggiring opini dan sentimen primordial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H