Mohon tunggu...
JAYA ERIYANTO E SIBORO
JAYA ERIYANTO E SIBORO Mohon Tunggu... -

Menulis untuk belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Perempuan yang Meratap

5 Desember 2014   00:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:02 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan itu masuk. Berjalan sembari menunduk ia lalu duduk di pojok kursi kiri sofa di ruang tamu rumah kakek-neneknya. Siang itu Ia datang bersama sang ayah. Si ayah masuk rumah dengan raut wajah memerah, tampak sekali dia masih menyimpan amarah. Lelaki yang kutaksir berumur kepala tiga itu duduk di kursi tunggal di sebelah kananku. Duduknya berhadapan dengan putrinya tadi. Di antara mereka, duduk kakek si perempuan.

"Dalam menghadapi masalah ini, jangan terbawa emosi. Tenang! Kalau emosi, masalah tidak akan selesai," ujar si kakek tanpa melirik kepada anak lelakinya, ayah si perempuan yang dia maksud. "Ini sudah terjadi. Nasi sudah jadi bubur," tambah paman si perempuan yang kutaksir masih berumur kepala dua.Si ayah rupanya tak bisa mengendalikan diri. Amarah masih merajainya. Usai mengutarakan kekecewaannya, ia tiba-tiba melempar anak perempuannya dengan gelang serupa jam tangan yang sejak masuk rumah tadi digenggamnya. Hampir saja benda itu menghujam muka cantik si perempuan.

Aksi si bapak belum usai. Ia bangkit memungut benda yang dilemparkannya barusan. Lalu tiba-tiba lagi tangan kanannya menghujam, seperti pukulan jep. Karena terhalang si paman perempuan, saya tak melihat di bagian mana kepalan si bapak mendarat. Sang nenek bergegas bangkit dari duduknya. Mengepal tinju, dia memisahkan si bapak cucunya. "Baru saja diingatkan! Jangan main pukul. Apa tidak malu?!" katanya. Si bapak yang masih dikuasai amarah lantas menjauh, ia meninggalkan ruang tengah, ia keluar rumah pergi entah kemana.

Perempuan muda itu terisak. Pipinya basah oleh air mata. Ia diam saja mendengar semua saran, nasehat dan peringatan yang disampaikan keluarga besarnya. "Kalau sudah melapor ke polisi, jangan banyak ulah lagi. Setelah hari ini kalian pasti akan dimintai keterangan lagi," pesan kakeknya. "Kalau bisa, jangan biarkan dia pulang ke rumah orang tuanya. Nanti malah kena pukul lagi," pesan pamannya. "Makanya kalau dinasehati orang tua, dengarkan! Dulu sudah enak tinggal di rumah pejabat kok minta pulang karena cuma mau bebas. Inilah hasilnya," sesal si nenek.

Kisah di atas mengingatkan saya atas berbagai peristiwa yang pernah saya laporkan melalui tulisan di media harian. Cerita kehidupan yang kini bisa kita dengar atau lihat hampir tiap hari. Tak cuma di televisi, ditulis di koran, tapi juga di sekitar kita. Ceritanya, perempuan di atas diketahui sudah melakukan hubungan suami-istri dengan pacarnya. Perbuatan keduanya diketahui kakak lelaki si perempuan. Dalam perjalanan kemudian, si lelaki tak mau menikahi si perempuan sekalipun orang tua si lelaki sudah menyangggupi kepada pihak keluarga si perempuan. Karena tak mau menikahi, keluarga si perempuan membawa masalah itu ke pihak kepolisian. Keluarga perempuan sadar, upaya itu bakal terhambat dengan bukti. Sebagai seorang janda, keluarga perempuan tak yakin visum bisa membuktikan perbuatan si lelaki. "Kita serahkan saja prosesnya ke polisi. Biar mereka yang bekerja," ujar si kakek.

"Ini dilematis. Kalau pun si lelaki mau menikahinya, rasanya tak akan lama. Keponakanku mungkin tak bakal dinafkahi. Kalau diteruskan ke jalur hukum, kita lemah bukti. Hanya ada pengakuan," keluh si paman perempuan kepadaku.  "Yah, apalagi hubungan itu didasari suka sama suka," tambahku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun