Berbicara tentang korupsi tidak akan pernah ada habis-habisnya di negeri ini. Ini bagaikan norma adat istiadat yang sudah tercipta di negeri ini, seolah mendarah daging dan menjadi kebiasaan yang selalu akan terjadi dan terjadi lagi. Mulai dari hal yang paling kecil hingga ke paling besar, bahkan menjadi “lintah” di bidang pemerintahan dan korporasi yang sulit untuk congkel . Baik kalangan orang tua, pemuda dan anak-anak juga terserang gulma ini. Tidak mengeherankan timbul lelucon yang mengatakan tidak akan mungkin KKN bisa dihanguskan dari bumi negeri ini.
Telah menjadi angin segar bagi khalayak, di tengah terpaan gelombang banyak kasus korupsi yang telah berhasil di usut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua tahun terakhir ini, hingga ada koruptor berujung bui, mendapat kostum khusus dan penghuni hotel prodeo. Tidak dipungkiri, bommingnya kasus ini di satu sisi menunjukkan tren positif yaitu menggugahkan hati masyarakat, bahwa sistem pemerintahan dan kemasyarakatan kita sudah akut dengan penyakit KKN yang sudah membudaya, baik di pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan di sisi lainnya, anak-anak muda sebagai generasi penerus dan agen perubahan malah menjadi pesimistis terhadap pejabat sekarang ini yang cenderung dipersepsikan sebagai koruptor dan kurang mempercayai program pemerintahan yang ada. Mereka masih merindukan pemimpin pemerintahan yang berani, jujur, bersih dan berintegritas di semua bidang.
Kebetulan penulis seorang pengajar muda di sebuah sekolah swasta yaitu mata pelajaran IPS dan Pendidikan Kewarganegaraan, ada hal yang sangat menarik dan menantang bagi saya sebagai guru, ketika pertama kalinya masuk kelas dan sebagai guru baru dan perdananya juga terjun ke dunia pendidikan yang sebenarnya, setelah menyelesaikan studi keguruan di kampus biru FKIP Universitas Riau. Sebelum memaparkan materi yang akan diajarkan, penulis selalu penasaran, seperti apa pemikiran siswa mengenai dirinya, visi hidupnya dan tentang pandangannya terhadap negaranya. Sebagian besar dari mereka adalah tidak tahu apa tujuan hidupnya dan hanya mengikuti alurnya saja, seperti air sungai yang mengalir dari hulu sampai ke hilir dan hanya mengikut arus itu. Namun, ada hal yang menarik ketika pertama kali masuk kelas pada masa orientasi siswa SMP penulis menanyakan tiga pertanyaan ini, yaitu :
- Apakah yang kamu ketahui tentang Indonesia?
- Apakah kamu mencintai Indonesia?
- Apa harapanmu tentang Indonesia di masa depan?
Dengan mengajukan pertanyaan sederhana ini, penulis ingin mengetahui sejauh mana wawasan kebangsaan dan tanggapan terhadap negaranya sendiri. Sebab saat seperti inilah momentum yang sangat baik untuk mengetahui dan memasukkan paham nasionalisme, kejujuran dan integritas kedalam sanubari seorang siswa. Pada awal semester itu, saya mengajar sekaligus juga wali kelas di kelas 7 SMP dengan jumlah siswa 16 orang. Di sekolah ini masa orientasi siswa dibimbing langsung oleh wali kelas. Selain alasan belum ada kelas senior karena masih sekolah baru, guru lebih tepat untuk melakukan orientasi agar tehindar dari hal-hal yang bersifat kekerasan dan bullying. Dari pertanyaan yang pertama tadi, 14 siswa mengatakan bahwa negara Indonesia terkenal dengan korupsinya dan kemiskinannya. Selain dikenal negara yang korup, ada juga mengatakan Indonesia adalah bangsa multi kultural atau kaya akan kebudayaan dan kemajemukan sosial. Beberapa siswa lainnya mengenal Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kenampakan alam yang Indah dan melimpah yang patut disyukuri.
Kemudian jawaban untuk pertanyaan yang kedua, hal ini yang membuat penulis sangat terkejut, Lima (5) orang dengan lugas menyatakan mereka tidak mencintai Indonesia, “seolah mereka tidak ingin terlahir di negeri ini”. Dari kelima siswa tersebut 4 orang siswa mengatakan tidak cinta Indonesia dengan alasan Indonesia negara yang terkenal korupsinya dan terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Kemudian satu orang lagi berkata bahwa dia tidak mencintai Indonesia dengan alasan Indonesia tidak pernah masuk Piala Dunia sepak bola (ini karena siswa yang satu ini sangat menyukai olahraga sepak bola). Walaupun ini pertanyaan sederhana dan jawaban ini masih sangat polos. Menurut penulis pemahaman mereka merupakan deskripsi nyata apa yang mereka lihat dan toton di negeri ini setiap harinya.
Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut, penulis berhipotesa bahwa anak-anak Indonesia saat ini nasionalismenya rendah dan kasus korupsi bagi mereka sudah menjadi hal biasa dan tontonan lumrah. Mungkin ini karena pemberitaan korupsi itu terlalu heboh di media massa terutama media elektronik. Sehingga di benak mereka Indonesia itu adalah negera yang korup. Pemerintah itu identik dicap dengan tukang korupsi. Kondisi ini menjadi tantangan berat bagi setiap guru untuk menanamkan jiwa nasionalisme yang benar dan jiwa anti korupsi kepada setiap anak. Namun, tidak bisa juga dipungkiri bahwa pengawasan orang tua di Indonesia sangat lemah dalam mendampingi anaknya pada saat menonton televisi.
Namun, untuk pertanyaan yang ketiga, jawaban para siswa ini membuat saya lega dan merasa senang adalah ketika semua siswa punya impian yang sama yaitu mengharapakan Indonesia di masa depan menjadi negara yang sejahtera, makmur dan bebas dari korupsi. Dengan harapan besar itu, walaupun mereka ada yang berkata tidak cinta negeri ini, mereka tidak ingin negeri ini di kuasai oleh koruptor dan kebohongan. Bangsa Indonesia yang sejahtera, makmur dan tidak ada lagi kesenjangan sosial yang tinggi antara yang miskin dan kaya, semua warga negara mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil survei UNDP (Program Pembangunan PBB), yang menyatakan bahwa proritas utama masyarakat Asia Pasifik di masa depan, termasuk Indonesia menginginkan pemerintahan yang jujur dan bersih, dibandingkan prioritas lainnya seperti, fasilitas kesehatan yang baik, fasilitas pendidikan yang baik dan pekerjaan yang baik (dikutip, harian Kompas, kamis 10 september 2015).
Setiap anak tahu bahwa korupsi itu adalah tindakan salah dan dosa yang menyebabkan berbagai kekacauan di negeri ini. Korupsi di bidang pendidikan mengakibatkan banyak orang tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak dan seperti yang seharusnya. Korupsi perijinan di bidang kehutanan, mengakibatkan banyak satwa liar yang punah bahkan mengakibatkan musibah kabut asap di beberapa provinsi di Indonesia, termasuk provinsi Riau. Oleh sebab itu, kekacauan yang terjadi sekarang ini akan tetap terjadi selamanya mengerogoti negeri ini jika tidak segera di obati. Caranya adalah dengan memutus lingkaran setan korupsi tersebut. Generasi muda ini adalah penerus masa depan bangsa dan agen perubahan negara, anak-anak muda ini harus menjadi pejuang anti korupsi mulai dari sekarang. Akan tetapi menjadikan mereka pribadi yang berintegritas, jujur dan bertanggung jawab tidaklah hal yang mudah. Apakah ini hanya tanggung jawab seorang guru ?
Jika kita sepakat untuk memutus budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mendarah daging ini, mari memulainya melalui anak-anak ini, remaja pemuda yang ada saat ini. Menanamkan nilai kehidupan dan kebenaran yang sesungguhnya. Guru dan orang tua harus saling bergandengan tangan dan bahu-membahu mendidik anak-anak negeri ini dengan benar baik di desa maupun di perkotaan. Kelak, jika mereka berhasil menjadi pribadi-pribadi yang berintegritas, jujur dan berkomitmen. Merekalah yang akan mampu mengubah negeri ini, menjadi bangsa yang bermartabat, sejahtera dan makmur sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sehingga nanti mereka berkata, “Kami adalah generasi pertama yang dapat menghapuskan kemiskinan dan KKN dan generasi terakhir yang dapat menyelamatkan negeri ini”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H