Di lipatan memori, ada kata-kata Â
Yang belum sempat terucap, terperangkap dalam bisu, Â
Mengendap di ujung lidah, terkunci dalam dada, Â
Menunggu waktu untuk meluncur bebas, berlabuh pada telinga yang tepat.
Kata-kata itu berdenyut, menari dalam keremangan, Â
Seperti bintang yang berkelip di langit malam yang mendung, Â
Berharap cahayanya menembus kegelapan, Â
Menyapa dunia yang tidak tahu ia ada.
Setiap hari mereka bergulat dengan keheningan, Â
Berusaha keras untuk tidak hilang, tenggelam oleh kata lain, Â
Mereka adalah pesan dari hati yang terdalam, Â
Saksi bisu dari perasaan yang paling jujur.
Mereka ada di sana saat senja mereda, Â
Ketika hujan turun membasahi bumi, Â
Dalam kehangatan cangkir kopi, dalam dekap erat pelukan, Â
Selalu ada, selalu merindukan kesempatan untuk terdengar.
Kadang-kadang kata-kata itu mendesak, keras, Â
Berusaha menerobos tembok kebisuan yang kuat, Â
Tapi seringkali, mereka hanya bisik, Â
Lembut dan malu, takut akan penolakan.
Oh, berapa banyak cinta yang belum diakui? Â
Berapa banyak maaf yang tak terkatakan? Â
Berapa banyak selamat tinggal yang tertunda? Â
Berapa banyak terima kasih yang masih terpendam?
Di ruang antara apa yang kita rasa dan apa yang kita ucapkan, Â
Banyak kata yang belum sempat terucap bersemayam, Â
Mengharap suatu hari nanti, dalam keberanian atau keputusasaan, Â
Mereka akan terlepas, terucap, dan akhirnya---terdengar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI